-|Suspicion|-

542 140 15
                                    

Junkyu berdiri di depan istana, menyambut kedatangan Raja Harles yang sudah berdiri di depannya. Junkyu membungkuk, lalu mempersilahkan Raja masuk ke dalam― tepatnya ke ruang rapat.

Ruangan yang besar dan megah. Terdapat banyak rak dokumen, meja panjang beserta kursi kerajaan. Raja duduk di kursinya begitu juga Junkyu.

"Apakah anda sudah membaca dokumennya, Put― Pangeran?" Raja Harles bertanya, tersenyum. Sengaja memplesetkan nama Putra Mahkota menjadi Pangeran.

Junkyu balas tersenyum, "Tentu. Kedatangan Raja kemari tentu ingin memberikan kesempatan berbincang sebelum mengibar bendera perang." Junkyu terkekeh, di balas kekehan juga oleh Raja.

"Aku adalah Raja yang baik. Karena itu aku akan berbincang tentang kesepakatan." Kata Raja serius, menghentikan tawaan Junkyu.

Suasana ruangan berubah hening dan sepi. Atmosfir terlalu tegang bagi keduanya yang menjabat sebagai pemimpin. Raja hanya tau cara bermain Putra Mahkota dalam kesepakatan, tapi.. Kim Junkyu, pasti berbeda bukan?

Raja menaruh sebuah kertas di atas meja dan menyodorkannya jauh ke Junkyu. Pangeran sulung itu diam sebentar, sebelum akhirnya mengambil kertas itu dan membukanya.

"Aku akan membatalkan perang antara Negeri kita, asalkan.. rakyatmu menjadi budak-ku. Bagaimana? Kesepakatan yang bagus bukan?" Raja tersenyum miring, melihat ekspresi Junkyu.

Tapi tak lama, ekspresi Junkyu berubah. Pangeran sulung itu meletakkan kertasnya dan menatap Raja sepenuhnya.

"Aku akan terima. 10 persen rakyat akan ku kirim untuk menjadi pelayanmu."

***

"Kau gila Nak?!" Teriak Yang Mulia Ratu marah. Matanya memerah, juga tangannya mengepal di depan meja Putra sulungnya. "Beraninya kau mengambil keputusan seorang diri."

"Lalu aku harus meminta pendapat pada Ratu yang hanya diam di dalam kamarnya?"

"Kim Junkyu!"

Junkyu membuang wajahnya malas. Dokumen di tangannya dia taruh di meja. Junkyu berdiri, berjalan ke depan meja. "Kenapa? Bukankah aku menghindari peperangan?" Junkyu mendecak kecewa, "Hanya 10 persen, itu tidak akan sebanding jika kita melakukan perang. Ibu bisa fikirkan, berapa kerugian yang akan kerajaan keluarkan?"

"Junkyu, dengarkan Ibu." Yang Mulia Ratu menahan amarahnya dengan suara tegas. "Peperangan pantas terjadi, karena Raja Harles tidak pantas menjadi pemimpin." Ucap Yang Mulia Ratu.

Junkyu memiringkan wajahnya, kemudian terkekeh. "Perlukah kita memperdulikan kerajaan disana? Ibunda hanya perlu pikirkan kerajaan ini, hanya itu." Junkyu membalas, lalu kembali duduk di kursinya dan sibuk dengan dokumennya.

Yang Mulia Ratu menghela nafasnya. "Kau sudah kirim prajurit untuk mencari Pangeran bungsu?"

Junkyu melirik Ibundanya kemudian mengangguk. Yang Mulia Ratu akhirnya keluar dari ruangan meninggalkan Junkyu yang diam dengan senyum miring tercetak.

Di luar, Yang Mulia Ratu berada di area gerbang. Matanya menatap jauh ke arah gerbang dengan hembusan nafasnya.

"Ampun Yang Mulia Ratu."

Tatapan Ratu teralih ke bawah, tepatnya ke arah ketua prajurit. "Bangkitlah." Ucap Ratu membuat Prajurit itu bangkit. "Ada apa? Kenapa kau masih di sini?"

"Maaf Yang Mulia Ratu, tapi Pangeran sulung Kim tidak memberikan hamba tugas apapun kecuali mengasah pedang beliau."

Ratu mengernyit keningnya tipis. "Lalu, siapa yang mencari Pangeran bungsu kalau bukan kau?"

Ketua prajurit menelan salivanya kemudian membungkuk hormat. "Maaf Yang Mulia Ratu, tapi Pangeran sulung sama sekali tidak memperingatkan siapapun untuk mencari keberadaan Pangeran bungsu."

Yang Mulia Ratu membuang nafasnya berat. Wanita itu kembali masuk ke dalam istana dan berjalan dengan langkah berat ke ruangan Junkyu. Ketika di dalam, Yang Mulia Ratu langsung memberikan tatapan tajamnya pada putra sulungnya. "Apa yang kau lakukan Pangeran?"

"Hum? Ada apa?" Junkyu bertanya polos, tapi tak lama, Pangeran itu terkekeh. "Kenapa kita harus membawa pulang dia jika dia sudah berada di tempat seharusnya?"

"Kim Junkyu, perhatikan bicaramu." Tegur Ratu tajam. "Dia adikmu, secara resmi dia pewaris raja."

"Tapi aku yang lahir terlebih dahulu! Aku keturunan Raja yang pertama!" Bentak Junkyu membanting dokumennya ke lantai. Lelaki itu bernafas memburu. "Dan perlu ku tekankan, dia bukan adikku. Aku anak tunggal, dia lahir bukan dari rahim Ibunda."

Yang Mulia Ratu mencengkeram kuat gaunnya. "Junkyu, Ibunda harap kamu tidak lupa, siapa kita di hadapan Pangeran bungsu dengan Ibundanya." Peringat Ratu berhasil membuat Junkyu skakmat dengan tangan mengepal. Darahnya panas mendidih, kembali di ingatkan fakta yang dia benci.

"Bukankah Ibunda membencinya?" Junkyu tersenyum miring. "Ibunda harusnya senang, hari ini kerajaan ada di atas tangan kita. Ibunda tidak perlu takut jika turun tahta karena dia. Benar bukan?"

"Junkyu, membalikan nama Putra Mahkota tidak semudah itu. Raja sudah memberikan cap kerajaan di atas surat kepemilikan tahta sebelum beliau mati. Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain membawa Kim Doyo―"

"AGH!!" Jerit Junkyu memukul kencang meja. Tatapannya seperti frustasi menatap kaca meja yang memantulkan wajahnya. Tampak berantakan dan penuh kebencian.

Kemudian Junkyu berjalan ke arah pintu, tapi sebelum itu, dia berdiri di sebelah Ibundanya dalam posisi beda arah.

"Aku akan membawanya kembali, tapi tidak untuk menjadi pemimpin kembali."

***

Belum Junkyu pergi, Yujin sudah berdiri di depan gerbang membuat prajurit berbondong-bondong membuka pagar dan menghampiri Tuan Putri mereka.

"T-tolong.." lirih Yujin memegangi tangan pelayannya. Tatapannya tertuju ke arah Junkyu dalam dan memerah. "Aku mohon, tolong bawa Pangeran kembali." Bisik Yujin lirih, meminta sambil merundukkan kepala.

Junkyu hanya diam di atas kudanya. Kemudian Pangeran itu mengangguk sekali. "Aku akan pergi ke perbatasan, dia di sana bukan?"

Yujin langsung mengangguk. Wajahnya terangkat, kembali menatap Junkyu dengan senyuman kecil. "Terima kasi―"

"Jangan berterima kasih," sela Junkyu dengan tatapan kosong. "Kau tidak akan menyukai apa yang aku lakukan." Ucapnya sesaat sebelum pergi membawanya kudanya keluar dari dalam gerbang bersama dengan puluhan prajurit.

Yujin diam, jantungnya berdetak cepat. Gadis itu menoleh ke belakang, dengan salivanya yang dia telan. Lama-lama tangannya mencengkeram kuat tangan pelayannya dengan air mata jatuh setetes.

"Pangeran akan baik-baik saja kan?"

***

"Bagaimana keadaan Pangeran? Dia tidak apa-apa kan?"

Yujin hanya diam, tidak membalas pertanyaan Cadenza. Tatapan gadis itu tajam, meskipun datar.

"Ahn Yujin, jawab aku."

"Apa? Ahn Yujin?" Gadis Kim itu menggertakkan giginya sambil berdiri dari kasur. "Kim Yujin, takdir Pangeran Kim Doyoung jika kau tidak tau, Nona Lee." Balas Yujin sengit.

Cadenza membuang wajahnya. "Pangeran seperti ini karena dirimu, tau?" Cadenza menyalahkan, menatap nyalang wajah Yujin yang hanya diam dengan kepala merunduk.

Melihat Yujin seperti itu, membuat Cadenza tersenyum miring. "Kau penyebab Pangeran seperti ini. Kalau saja Pangeran tidak menyelamatkanmu, Pangeran tidak perlu pergi jauh ke Negeri sihir."

"Tunggu," Yujin menyela, menatap wajah Cadenza dengan kernyitan dalam. "Dari mana kau tau jika Pangeran menyelamatkanku di Negeri sihir?"

Skakmat.

Prince(ss)Where stories live. Discover now