-|fight|-

1K 242 8
                                    

Sring!

Tang!























"Baiklah Pangeran, cukup."

Doyoung mengangguk, memasukan pedangnya ke dalam sabuk. Kepalanya menoleh ke arah kanan, dan melihat takdirnya yang berdiri, sedang bertepuk tangan heboh. Pangeran itu tersenyum tipis.

"Pangeran."

"Ya?" Saut Pangeran menoleh ke arah ketua prajurit dengan wajah kembali di set datar.

Ketua prajurit itu mendekat, kemudian membisikan sesuatu di telinga Pangeran membuat Yujin yang berada di sebrang, menatap keduanya dengan kening mengernyit.

"Mereka bicara apa?"

"Biasanya sesuatu yang rahasia, Tuan Putri." Jawab dayang di belakangnya. Yujin mengangguk mengerti, tidak jadi kepo.

Selesai berbincang dengan ketua Prajurit, Doyoung bergerak ke arah Yujin kemudian langsung mencium kening takdirnya membuat gadis itu terkekeh pelan.

Sementara dayang di belakang Yujin menelan ludah mereka takjub. Pangeran berubah 180⁰ di depan takdirnya, pantas Tuhan menjadikan mereka pasangan.

"Hari ini aku harus pergi, tidak apa?" Doyoung bertanya, mengusap pipi takdirnya lembut dengan jari. Yujin menganggukan kepala, membuat Doyoung tersenyum kecil. "Yasudah, aku pergi."

Pangeran berjalan melewati tubuh gadisnya bersama ketua prajurit. Sedangkan Yujin masih diam di tempatnya, dengan senyum manis. Euphoria pagi ini, sangat membuatnya semangat.

"Tuan Putri, jadwal anda untuk perawatan wajah." Peringat salah satu dayang, membuat Yujin menggelengkan kepala.

"Hari ini, lewati saja. Aku tidak mau mencuci wajah hari ini." Ujar Yujin terkekeh sembari pergi dari area latihan dengan langkah semangat. Sementara para dayang-nya, mengernyitkan kening bingung.

"Tidak biasanya Tuan Putri melewati jadwal perawatan."

"Ah aku tau, pasti Tuan Putri tidak ingin ciuman di keningnya hilang." Kekeh salah satu dayang tersenyum. "Aku senang, takdir Tuhan di negeri kita bisa akur."

***
Di luar istana, Pangeran menunggangi kudanya paling depan. Pikirannya kosong, namun tetap bisa menunggangi dengan stabil kudanya. Bukan Yujin yang dia fikirkan saat ini, tapi permasalahan kerajaan tetangga yang mulai mengibarkan bendera persekutuan dengan kerajaan musuh.

"Menurutmu, apa yang membuat kerajaan tetangga memilih jalan persekutuan musuh?" Pangeran bertanya, pada ketua prajurit yang menunggangi kuda di belakangnya.

"Informasi yang kita dapat hanya sebatas mereka mendapatkan tanah kekuasaan lebih." Jawaban ketua prajurit membuat Pangeran membuang nafas.

"Dasar manusia, gampang sekali berhianat." Decih Pangeran kesal. "Kalau begitu, ajukan saja surat pemblokiran 21% wilayahnya. Jika tidak mau, berikan surat penangkapan karena berhianat."

"Baik."

Doyoung mendesis tertahan, dengan kedua tangannya yang mencengkeram tali kekang juga pandangan mata yang dalam dan terlihat dendam tak berkesudahan.

"Tahta adalah suatu pangkat, dan Harta adalah suatu kondisi." Doyoung menelan salivanya sendiri, "Jika tidak ada Harta, tidak ada tahta."

***
Di dalam kediaman besar itu, tepatnya di dalam ruangan gelap yang besar namun hanya di isi oleh dua makhluk Tuhan yang saling berhadapan, sedang membicarakan persoalan kerajaan.

"Jadi, kau memintaku untuk menyerang kerajaan Ahnalon?" Yang Mulia Ratu itu tertawa, "Apa keuntungan-ku?"

"Simple, Putrimu bisa menikah dengan Putra Mahkota Orlankim." Jawab tamu itu tersenyum tipis melihat wajah penuh ketertarikan wanita di depannya. "Anda pasti sangat tau jika Putri anda, menginginkan Putra Mahkota untuk di jadikan pasangan."

"Tapi," Yang Mulia Ratu menumpukan dagunya di dua tautan tangannya. "Putra Mahkota dengan Putri Ahnalon di pasangkan oleh Tuhan, mereka tidak bisa pisah semudah itu." Wanita itu menjeda, membuang nafas. "Apapun yang terjadi, pasangan yang di takdirkan Tuhan tidak bisa berpisah."

"Anda salah," Tamu itu tertawa renyah, "Ada caranya."

Alis Yang Mulia Ratu mengernyit, "Apa?"

Tamu itu tersenyum lebar, kemudian melangkahkan kaki lebih mendekat ke meja, dan mencodongkan tubuhnya sampai bibirnya tepat di sebelah telinga Yang Mulia Ratu.

Bisikan itu membuat Yang Mulia Ratu kaget namun tak lama, bibirnya mengukir seringai-an puas bersamaan dengan tamu itu yang memberikan senyum manis.

"Aku akan mempersiapkan Putriku sekarang juga."

***
Yang Mulia Ratu Orlankim itu saat ini duduk di bangku taman bersama dengan takdir putranya. Mereka meminum teh bersama, sebagai penyambut siang yang terik.

"Bagaimana dengan hubunganmu dan Pangeran? Ku lihat, kalian semakin dekat." Yang Mulia Ratu membuka suara, bibirnya tersenyum tipis.

Yujin menganggukan kepala, dengan senyumannya. Yang Mulia Ratu ikut tersenyum, "Aku harap, hubungan kalian tidak memudar seperti hubungan dulu."

"Apa?" Relfek Yujin bertanya, lalu menelan Saliva saat sadar, "M-maaf.. tadi aku reflek Yang Mulia."

Wanita paruh baya itu hanya tertawa kecil, "Tidak apa." Balasnya. "Oh ya, apakah kalian sudah tidur seranjang?"

"Uhuk!"

Yang Mulia Ratu berkedip beberapa kali melihat Yujin batuk-batuk. "Kau tidak apa-apa?"

Kepala Yujin mengangguk sambil menegak teh. Wajahnya memerah sempurna, membuat Yang Mulia Ratu tersenyum kecil.

"Belum ya?" Yang Mulia Ratu tertawa pelan, maniknya yang kosong menatap cangkir di tangannya. "Mungkin, Pangeran masih butuh waktu untuk menghilangkan memori buruk itu terlebih dahulu." Gumamnya pelan.

Yujin yang tidak mendengarnya memilih tetap diam, karena melihat raut wajah Yang Mulia Ratu, terkesan menyimpan banyak rahasia. Memang, Ibu dan Putra sama saja.

"Permisi Yang Mulia Ratu, Tuan Putri, saya lancang kemari." Dayang itu membungkukan punggung.

"Ada apa?" Yujin bertanya, fokus menatap dayang itu.

"Putra Mahkota sudah kembali tapi kondisinya tidak baik."

Yujin langsung berdiri, kemudian berlari cepat ke gerbang utama istana. Matanya kosong, namun tetap melihat arah sinyal takdirnya. Yujin tidak tau kenapa, tapi dia selalu merasa kesal dan benci dengan dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apapun untuk takdirnya.

Yujin ingin menjadi berguna, dan ingin terus mendampingi takdirnya di luar istana sekalipun.

Ketika sampai di gerbang utama, Yujin langsung memeluk tubuh Pangeran yang belum siap menerima pelukannya. Tangan Yujin mencengkeram kuat baju di punggung Pangeran, dengan kepalanya yang semakin dalam masuk.

"Ada apa?" Doyoung bertanya, tangannya terangkat, mengelus punggung Yujin yang bergetar.

Gadisnya tidak langsung menjawab, justru melepas pelukannya dan mendongak sedikit, menatap takdirnya dalam.

"Aku takut," Yujin menelan salivanya sendiri, "Aku takut setiap kali memikirkan Pangeran keluar dari istana. Aku takut setiap kali Pangeran pulang dengan keadaan luka." Yujin mengepalkan tangan dengan mata terpejam, "Aku takut, kau berjuang sendirian dalam hubungan kita."

Setelahnya Yujin kembali menangis. Doyoung hanya menatap takdirnya itu dengan tatapan kosong namun dalam. Kemudian kakinya bergerak mendekati takdirnya dan memeluk gadisnya erat.

"Hubungan kita ada karena takdir Tuhan. Aku ataupun kamu, adalah tentang perjuangan. Takdirmu ini, bukan seorang pejuang sendiri, tapi dia berjuang bersama takdirnya." Ibu jari Doyoung menghapus air mata gadisnya dengan wajah yang tepat berada di depan Yujin.

Pangeran tersenyum, kemudian mengecup kening takdirnya cukup lama dengan kedua tangan yang memeluk punggung Yujin sampai gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Mata Yujin terpejam, rasanya nyaman dan membahagiakan.

Ciuman kening itu Pangeran hentikan, sembari tangannya yang mengangkat wajah Yujin.

"Mau berjuang bersama, princess?"

Prince(ss)Where stories live. Discover now