-|Selfish|-

781 160 20
                                    

Doyoung masuk ke dalam kamar, kemudian menemukan Cadenza duduk di sisi ranjang. Perempuan itu seperti tau jika Pangeran akan datang. Cadenza berdiri, tersenyum lembut ke arah Pangeran.

"Ada apa? Kau ingin menemaniku mencari gaun?" Cadenza tertawa kecil, "Atau kau mau merencanakan malam pertama kita?"

"Diam." Desis Doyoung. Kakinya bergerak mendekat, dan Cadenza tidak mundur sama sekali, justru menunjukkan senyum lebar di depan Pangeran.

Tangan Cadenza terangkat, menyentuh pundak Pangeran dan mengusapnya pelan. "Jangan membentak-ku. Pangeran tau bukan adat-nya?"

Doyoung menyentak tangan Cadenza dari bahunya, memberikan tatapan tajam pada gadis di depannya yang hanya menunjukan senyuman. "Katakan yang sebenarnya pada tetua kerajaan, sebelum aku memperlakukan-mu kasar." Ancam Doyoung justru membuat Cadenza tertawa.

"Pangeran tenang saja. Lee Cadenza ini sudah terbiasa di perlakukan kasar." Bisik gadis Lee itu terkekeh manis.

"Aku tidak main-main dengan perkataan-ku."

"Aku pun sama Pangeran." Balas Cadenza tersenyum, "Aku tidak masalah kau perlakukan aku kasar. Yang terpenting, segera aku menjadi istrimu."

Tangan Pangeran terkepal kuat. Ingin dia menampar gadis di depannya, namun Doyoung hanya membuang nafas menahan kesal.

"Malam hingga fajar, aku akan berada di luar untuk menyelesaikan masalah di Ahnalon."

Cadenza terkekeh sinis, "Aku tidak akan membiarkannya Pangeran. Malam ini juga, tetua akan mengurung anda agar tidak bepergian ke manapun." Desis gadis itu kemudian melewati tubuh Pangeran namun Doyoung lebih dulu menahan bahunya kuat.

"Kau tidak bisa bersikap egois. Ahnalon bukan Negeri asing, dia Negeri takdir-ku dan kau tidak bisa menghentikan aku untuk pergi ke sana."

Cadenza berbalik badan, menatap Pangeran. "Jadi?" Dia tertawa kecil. "Pangeran, aku ini manusia. Aku bersikap egois, itu manusiawi. Lagipula, pernikahan kita memang sudah di tentukan tetua supaya dosa anda tidak terlalu berat."

"Aku tidak melakukannya denganmu." Balas Pangeran mendesis marah, sedangkan Cadenza tertawa tidak perduli.

Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, meninggalkan Doyoung yang diam saja dengan dua tangan di kepalkan kuat. Amarah seperti mengalir dalam darahnya, dan dia tidak suka di perlakukan seperti dalam permainan drama.

Kakinya bergerak ke arah pintu, membukanya kemudian terdiam begitu melihat Yujin di depannya. Gadis itu berkedip sekali lalu memilih melanjutkan jalannya ke kamar di sebelah.

Tapi tangan Doyoung lebih dulu menahannya dan membawanya kembali ke hadapan takdirnya sampai tubuh keduanya menempel. Sejenak Yujin hanya diam, merasakan harum yang keluar dari tubuh Pangeran, juga rasa nyaman atas sentuhan Pangeran di pinggangnya.

Yujin tidak ingin melepaskannya, Yujin ingin terus dan terus.

"Aku ikut denganmu ke Ahnalon." Bisik Pangeran memejamkan mata, sembari menguatkan pelukannya.

"Pernikahan anda besok."

Doyoung menghela nafas, lalu merundukan kepala sehingga wajahnya tepat di depan wajah takdirnya yang mendongak.

"Ahnalon lebih penting dari pada pernikahan ini."

"Tapi dosa an―"

Yujin diam, tidak bisa berkata-kata begitu dirinya mendapatkan kecupan singkat di bibirnya.

"Aku lebih baik di cambuk 1000 kali, dari pada harus menikahi gadis lain." Bisik Pangeran dengan suara lemah. Tatapannya yang sayu, seakan meminta Yujin untuk percaya padanya.

Gadis Kim itu merundukan kepalanya namun tangan Pangeran lebih dulu mengangkatnya kembali. "Aku mohon, aku tidak ingin menikahinya.." pinta Pangeran lemah, menatap sayu kekasihnya.

"Ak-ku tidak bisa berbuat apa-apa.." cicit Yujin meremas tangannya sendiri. "Aku tidak memiliki hak―"

"Kau punya. Kau berhak atas diriku." Sela Pangeran membuat Yujin mengangkat wajahnya. "Kau takdirku, dan aku milik-mu."

Bibir Yujin terkatup rapat.

"Aku mohon, biarkan aku ikut ke Ahnalon. Setidaknya aku bisa mengundur waktu untuk aku dan kau bisa menerimanya." Doyoung meminta lagi, dan Yujin menganggukan kepala pelan.

Pangeran tersenyum kecil kemudian mengecup kening takdirnya. "Kita bertemu di taman nanti malam."

***

Doyoung keluar dari dalam kamar mandi, kemudian terpaku melihat Cadenza di dalam kamarnya dan Yujin. Alis Pangeran mengernyitkan tipis, "Kau tidak boleh masuk ke dalam kamar pasangan."

Cadenza terkekeh, kemudian berdiri dan menghampiri Pangeran yang menatapnya tidak suka. "Aku hanya ingin menemani-mu, karena malam ini, Putri Ahn sedang pergi."

"Putri Kim, dia takdirku, kekasihku, dan istriku." Ralat Pangeran mengernyit tajam. Cadenza memperlihatkan senyuman paksa, dengan sedikit mencengkeram.

"Iya.. Tuan Putri Kim Cadenza." Ucap Cadenza berhasil membuat Doyoung mengepalkan tangan kuat.

Cadenza semakin maju hingga tangan Pangeran yang terbalut sapu tangan, menahan bahu terbukanya. "Jangan melewati batasan-mu. Kau bukan siapa-siapa."

"Iya malam ini. Tapi besok, aku istrimu."

Pangeran tidak perduli, dan memilih melewati tubuh Cadenza, meninggalkan gadis itu di dalam kamar yang tersenyum miring, memikirkan rencana licik.

"Kau akan terkena masalah jika berani kabur, Putra Mahkota."

***

Jam dua belas malam, Yujin keluar dari dalam istana dengan pakaian tertutup. Gadis itu menelan Saliva-nya kasar, merasa takut karena merasa kabur dari istana.

Hanya karena ingin bepergian dengan takdirnya sendiri, dia harus rela seperti ini.

Tapi Yujin tidak masalah. Jujur, hatinya belum siap menerima takdirnya menikahi Putri lain. Bersikap egois untuk malam ini, bagi Yujin tidak apa-apa. Karena dia hanya ingin bersama takdirnya untuk satu malam terakhir.

"Pangeran kemana.." cicit gadis itu sudah sampai di taman. Dia mengeratkan jubah hitamnya saat merasakan dingin yang luar biasa.

Kemudian tubuhnya berbalik ke belakang, menatap seseorang yang juga memakai jubah hitam. Gadis itu menerbitkan senyumannya.

"Pangeran." Panggil Yujin berbisik.

Seseorang itu pergi ke arah Yujin kemudian menggenggam tangan gadis itu dan membawanya pergi dari istana secepat mungkin. Yujin hanya tersenyum kecil, mengikuti langkah takdirnya.

Sementara Cadenza yang melihatnya di atas balkon kamar Yujin dan Doyoung, hanya terkekeh pelan sambil meminum teh di cangkirnya. Meneguk air manis itu, membiarkannya mengalir ke tenggorokan, sembari merasakan angin yang menembus kulitnya.

"Malam ini akan menjadi indah bukan, Pangeran?" Cadenza terkekeh pelan, memutar tubuh, menatap calon suaminya yang terbaring lemas―akibat ramuan.

Langkah Cadenza mendekat, kemudian duduk di sisi ranjang. Tangannya menyapu lembut poni Pangeran dengan senyum lembutnya.

"Terlebih esok fajar, saat kita resmi menjadi sepasang suami-istri."

Prince(ss)Where stories live. Discover now