-|error|-

784 174 27
                                    

Suara derap langkah kuda terdengar di pertengahan malam. Ketika sampai di hutan, Doyoung turun dari kudanya, dan berjalan selangkah demi selangkah dengan tangan sudah memegang gagang pedang.

Karena tak kunjung melihat apapun, Doyoung berdesis marah, "Keluar sekarang."

"Di belakangmu, bodoh."

Doyoung berbalik badan, kemudian langsung menyingkir saat sebuah tombak terlempar ke arahnya. Berhasil menghindar, dengan tombak itu yang tertancap tegak di tanah.

Doyoung yang hendak menyerang, terdiam begitu melihat seorang sandera dengan wajah merunduk, membuat dia tidak tau pasti siapa sanderanya.

"Aku tidak akan memberikan perintah untuk kau tunduk, karena aku akan melawan-mu dengan adil."

Pria berjubah hitam itu langsung berlari dengan membawa sebuah tombak dengan ujung sangat runcing. Tombak itu di arahkan ke dada Doyoung, namun Pangeran itu menahannya dengan pedang.

Tidak mau ambil resiko dengan posisi dadanya yang menjadi sasaran, Doyoung menendang perut pria itu sampai jatuh karena serangan tiba-tiba. Pangeran langsung bergerak ke arah pria itu, kemudian mengangkat pedangnya tinggi hendak menusuk perut pria itu.

Namun ingat jika dia tidak boleh membunuh siapapun karena ucapan sesepuh, Doyoung mengurungkannya dan memilih menarik leher pria itu dan dia ikat di batang pohon dengan kuat.

Tangannya bergerak melepas topeng yang di gunakan kemudian mendesis. "Katakan dari mana asal-mu?"

"Bunuh aku, dan kau tidak akan mendapatkan satupun informasi."

Doyoung menarik tali itu membuat pria itu tercekik. "Katakan dari mana asal-mu?"

Pria itu terkekeh serak karena tenggorokannya di cekik. "Apa anda serius tidak ingin membantu sandera-ku dulu? Dia.. mengalami pendarahan di punggungnya."

Doyoung melepaskan tali di tangannya, kemudian menoleh ke belakang, melihat sandera itu muntah darah dengan kepala merunduk. Kaki Doyoung bergerak menghampiri sandera itu, kemudian bersimpuh di depannya.

Tanpa sepicik perkataan apapun, Doyoung membuka jubah hitamnya kemudian memakaikannya di tubuh wanita itu, baru dia memegangi luka di punggung perempuan itu. Hal ini bertujuan supaya tangan Pangeran tidak bersentuhan langsung dengan tubuh perempuan itu demi menjaga kesucian wanita.

Ketika hendak pergi ke kudanya, Pangeran terdiam begitu melihat kudanya sudah tergeletak di tanah dengan kondisi anak panah tertancap di perut. Kepalan tangan Pangeran mengerat, seiring dengan tatapannya yang menajam.

"Pangeran.. maaf." Perempuan sandera itu mengeluarkan kalimat dengan bibir bergetar.

Pangeran menggeleng. "Tidak apa."

Perempuan itu mengangkat wajah, melihat setiap lengkung wajah Pangeran dari samping. Agak terkejut karena Pangeran mau membantu yang bukan rakyatnya. Padahal dari rumor beredar, Pangeran bungsu yang akan menjadi Putra Mahkota tidak pernah ramah sama sekali.

"1 km dari sini, ada permukiman, jika kau mau kita jalan." Ucap Doyoung, di angguki perempuan itu.

Pangeran memegangi kedua bahu perempuan itu kemudian membantunya berjalan. Namun ketika sadar jika perempuan itu tidak memakai alas kaki, Pangeran membuka sepatunya kemudian berjongkok. "Angkat kakimu."

Kaki perempuan itu di angkat, kemudian Pangeran memasukan sepatu ke dalam kaki perempuan itu tanpa memegang kakinya. Setelah selesai, Pangeran kembali berdiri tegak.

"Apa tidak apa-apa?"

Doyoung mengangguk, kembali membantu perempuan itu berjalan.

"Oh iya Pangeran, saya sepertinya ingat jika di dekat sini ada pedesaan. Apa sebaiknya kita kesana terlebih dahulu?" Usul perempuan itu, menoleh menatap Pangeran.

"Kita tidak bisa asal masuk pedesaan. Lebih baik berjalan 1 kilometer, jika tidak kuat, berhenti sejenak." Balas Pangeran menatap lurus ke depan, tidak menatap sedikitpun wajah perempuan itu karena adat.

"Baiklah." Perempuan itu kembali merundukan kepala, melihat jalan yang dia tempuh juga kaki Pangeran yang berjalan di atas bebatuan. "Anda benar-benar tidak apa-apa Pangeran?"

"Iya."

Perempuan itu mengangguk pelan, kemudian tangannya tiba-tiba merangkak naik ke sisi perutnya. Dia menutupi luka itu dengan jubah Pangeran supaya Doyoung tidak melihatnya, namun terlambat karena Pangeran sudah menyingkirkan jubahnya dari sisi perutnya.

"Kenapa tidak mengatakannya?" Pangeran berdesis pelan, tidak tau harus apa. Ingin menghentikan pendarahan namun tidak bisa. "Tahan lebih dulu darahnya dengan tanganmu, kita ke pedesaan yang kau katakan."

Pangeran kembali memegangi dua bahu perempuan itu kemudian membawanya kembali berjalan. Diam-diam perempuan itu mendesis sakit dengan wajahnya yang memucat.

"Maaf Pangeran.. aku.. tidak kuat.."

Brukh!

***
Pesta di dalam aula di mulai pada pukul 9 malam. Keluarga kerajaan Ahnalon datang dengan Ratu dan Raja yang datang berdampingan di depan puluhan prajurit. Memasuki aula, berjalan ke arah Putri mereka di podium.

Ketika sampai, Yujin membungkuk di depan Yang Mulia Raja serta Ratu iemudian langsung memeluk Ayahnya yang sudah sangat tua dan kurus, serta Ibundanya.

"Aku rindu kalian."

"Kami juga rindu Yujin." Ibundanya mencium kening Putrinya dengan dua tangan yang menangkup dua pipi Yujin.

Gadis Kim itu terkekeh, mencium balik pipi Ibundanya dan Ayahandanya.

Yang Mulia Ratu Orlankim mendekat, kemudian saling berpelukan dengan Ibunda Yujin. Mereka tampak akrab karena besan-an.

"Dimana takdirmu Yujin?" Ayahandanya bertanya, mencari keberadaan suami dari putrinya. "Ayahanda ingin bertemu dengannya, sebelum memberikannya berkah."

Yujin gemeteran, tangannya diam-diam mencengkeram gaunnya. Sebelum berbicara, Yujin menelan Salivanya, "Pangeran.."

"Tuan Putri Kim!"

Prajurit masuk ke dalam aula dengan tergesa-gesa, membuat Kim Junkyu, para Yang Mulia serta sesepuh menatap ke arahnya.

Prajurit itu bersimpuh di depan mereka, dengan nafas tersenggal, "Pangeran di temukan di pedesaan wilayah Leeteuk, bersama Tuan Putri dari kerajaan Leeteuk."

Hening. Bahkan mangkuk di tangan sesepuh jatuh ke lantai membuat semua mata mengalihkan atensi ke arahnya. Bahkan Yang Mulia Raja terdiam, dengan tatapan tajamnya.

"Bawa Pangeran kemari, serta perempuan itu." Titah Yang Mulia Raja telak.

"Baik Raja."

***
Lee Candena masuk ke dalam kamar di dalam salah satu rumah rakyat. Matanya melihat ke arah Pangeran yang terbaring di atas ranjang sehabis meminum air yang di berikan salah satu rakyat.

Candena tersenyum, mendekati ranjang kemudian duduk di sisi. Tangannya terulur, memegang leher seputih susu itu, dan menuruninya pelan hingga berhenti di dada. Senyum Candena melebar, dengan beling hazelnya melihat ke arah wajah Pangeran.

"Sebentar lagi, tetua di kerajaan anda sendiri yang akan menghubungkan kita dalam tali pernikahan."

Prince(ss)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz