43 | The Moon is Beautiful, isn't it?

1.6K 345 315
                                    

Update cepet setelah 300+ komen?
Siapa takut!

Btw,
Happy reading!

• • •

RAFKA

"Hasil tesnya akan keluar sekitar dua sampai empat minggu lagi. Kalian nggak apa-apa dengan itu?" tanya Gilang pada kami berdua yang baru saja selesai menyerahkan sampel tes masing-masing.

Gue mengangguk. "Gue serahin sisanya ke lo, Lang."

Alfy di sebelah gue hanya tersenyum kecil. Dia terlihat menutupi kecemasannya di balik wajah pucatnya itu. Gue segera mengeratkan genggaman tangan kami karena hanya itu yang bisa gue lakukan untuk menghiburnya.

"Aku takut, Rafka," ucapnya setelah kami berdua keluar dari ruangan. "Aku takut yang kita lakuin ini cuma bisa menunda semuanya, bukan untuk mengakhiri masalahnya."

Gue menghela napas pelan. Jujur, rasa takut itu juga ada di dalam benak gue. Tapi gue tidak ingin Alfy melihatnya karena kalau bukan gue yang meyakinkannya, siapa lagi?

"Hei, dengerin aku," Gue menangkup wajahnya. "Apapun hasilnya nanti, kalau berpisah dengan kamu adalah jalan terbaik, maka akan aku rusak jalannya."

Cewek itu malah terkekeh geli.

"Ih, serius, By! Bakal aku rusak jalannya. Mau pakai apa? Palunya Thor atau cobek andalan ibu kamu? Mana menurut kamu yang lebih kuat?"

Alfy menatap gue sambil mengusap kepala gue dengan tangannya. "Pakai kepala kamu aja gimana? Soalnya keras kepala kamu nggak ada lawan."

Gue terkekeh.

"Makasih, ya," ucapnya tiba-tiba.

"Untuk?"

"Keras kepala kamu selama ini. Cuma itu satu-satunya hal yang berhasil membuat hubungan kita bertahan sampai sejauh ini."

Alfy benar. Gue perlu berterima kasih dengan keras kepala yang gue miliki ini. Meski kadang menyebalkan, tapi dia sangat berguna bagi gue dalam melakukan hal-hal gila. Seperti tes DNA ini, gue harus melawan kewarasan semua orang dan mengorbankan uang yang tidak sedikit untuk melakukannya. Rafli, semua keluarga gue dan keluarga Alfy mengatakan bahwa kegilaan gue ini hanya akan berujung sia-sia. Tapi karena gue keras kepala, gue tidak peduli dengan itu semua. Gue percaya, bahwa selalu ada jalan menuju KUA.

"Kamu hari ini ada kuliah, kan? Aku antar, ya?"

Alfy tidak menyahut, dia diam sambil menatap lurus ke depan. Gue mengikuti arah pandangnya dan menemukan sosok Karin tengah menatap kami dari tempatnya berdiri. Perempuan itu mengamati genggaman tangan kami, lalu menatap gue dengan tatapan yang tak terbaca.

Di bawah sana, gue merasakan Alfy tengah berusaha melepaskan tautan tangan kami tapi gue cegah dengan menggenggam tangannya lebih erat.

Karin berjalan mendekat. Tidak perlu menghitung satu sampai tiga, layangan tamparan sudah mendarat di wajah gue lebih dulu.

Plak!

"Aku rasa tamparan ini cukup untuk mendeskripsikan sebrengsek apa kamu buat aku, Rafka," ucapnya dengan nada datar yang belum pernah gue dengar sebelumnya. "karena belum pernah ada laki-laki yang menerima itu sebelumnya."

Gue menatapnya dengan rasa nyeri menjalar di pipi. Tidak ada air mata atau gurat kesedihan di matanya, membuat gue tersadar bahwa gue telah melukai orang yang salah. Setelah itu dia tidak mengatakan apa-apa lagi lalu pergi begitu saja.

Alfy juga tidak mengatakan apapun, hanya menatap gue dalam diam. Gue memberanikan diri untuk bertanya sambil memegangi sebelah pipi gue yang berdenyut. "Kenapa?"

IneffableWhere stories live. Discover now