22 | Bunuh Diri

3K 629 190
                                    

ALFY

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ALFY

Aku memandangi layar ponselku dengan tatapan tak percaya. Riwayat panggilan teratas yang terlihat pada layar memanglah nama Riki. Itu berarti di panggilan kedua aku salah memanggil orang, bukan Pak Rafka yang kutelepon melainkan laki-laki yang sedang bersamaku saat ini.

"Mohon maaf, Mbak dan Masnya, saat ini ruangan rumah sakit sedang penuh. Mohon ditunggu sebentar, ya?" seorang perawat menghampiri aku dan Riki yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit.

Riki terlihat ingin berkomentar tapi langsung kusela dengan cepat. "Nggak papa, Sus. Luka saya nggak parah kok. Dahulukan pasien lain yang lebih urgent saja."

Perawat itu pun meninggalkan kami dan membuat Riki mengomel setelahnya.

"Luka kamu parah, Al! Kalau nanti jadi infeksi gimana?" sungutnya yang kujawab dengan ulasan senyum. Dia menghela napas. "Kamu baik hati bukan pada waktunya, Al."

Aku meraba pelipisku dan menunjukkannya pada Riki. "Udah nggak berdarah lagi, kok. Aman."

Laki-laki itu mengelus kepalaku sekilas. "Terus kamu yakin nggak mau laporin pelakunya ke polisi?" tanya Riki kemudian. "Aku takut suatu saat kamu dicelakain lagi sama mereka."

Kepalaku menggeleng pelan. Aku anggap luka yang aku dapat saat ini adalah bayaran atas satu bulan waktu yang mereka habiskan di penjara. Jujur, fakta itu menggangguku. Mereka pasti tidak memiliki uang untuk membayar uang damai dan memilih untuk di penjara.

Kami berdua terinterupsi dengan kedatangan perawat yang tadi meminta kami untuk menunggu. "Terima kasih telah menunggu. Mbak dan Masnya bisa masuk ke ruangan 105 yang ada di sebelah sana setelah pasien di dalamnya keluar. Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan layanan yang kami berikan," ucapnya dengan penuh sopan santun.

Aku dan Riki mengangguk lalu perawat itu pun pergi setelah tersenyum ramah pada kami.

Tak lama kemudian pintu ruangan yang dimaksud oleh perawat tadi terbuka. Aku bisa melihat ada dua orang yang baru saja keluar dari ruangan itu.

"Ayo, Al," Riki membantuku untuk bangun dan aku pun berpegangan pada lengannya. Tubuhku masih sangat lemas karena energiku sudah terkuras habis untuk menjalani hari yang berat ini.

Dan sepertinya memang tidak ada nasib baik yang mendatangiku hari ini. Karena apa yang aku lihat sekarang lebih melukaiku daripada luka yang ada di pelipisku. Langkahku terhenti sempurna saat melihat orang yang ada di hadapanku. Ternyata orang yang baru saja keluar dari ruangan itu adalah ...

"Alfy?" Dia tampak terkejut setelah melihatku. "Kamu di sini? Tunggu, kepala kamu—"

Aku refleks memundurkan badan saat dia mendekat padaku. Riki yang terlihat bingung hanya bisa membiarkan lengannya kupegang kuat-kuat. Aku tidak akan merasa sesakit ini jika hanya melihatnya sendiri namun faktanya ada sosok lain di sebelahnya. Sosok yang begitu kubenci meski ada senyum bak malaikat di wajah penuh lebamnya itu.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang