EXTRA PART I

1.7K 272 47
                                    

"Gimana kata dokternya, By? Operasinya gagal, ya?"

Alfy memutar bola matanya malas. Kalau gagal, tidak mungkin laki-laki itu dapat bernapas dan berbicara selancar itu. Ingin rasanya dia menampol laki-laki prik yang naasnya adalah suaminya sendiri. "Iya, kata dokter umur kamu nggak lama lagi."

Rafka terlihat memucat. "Be-berapa lama?"

"Sepuluh,"

"Sepuluh bulan?"

"Sembilan,"

Laki-laki itu semakin panik. "Hah?"

"Delapan, tujuh, enam—"

Rafka langsung merengek karena sadar telah dikerjai oleh istrinya. "By, aku seriuuuuus!"

"Ini aku serius," Alfy melanjutkan hitungannya. "Lima, empat, tiga, dua—"

Cup!

Ciuman singkat tanpa aba-aba itu berhasil membuat hitungan Alfy terhenti. Dengan wajah menahan gemas, Rafka menatap wajah istrinya yang tengah memerah karena tersipu. "Bumil gemesin banget, sih?"

Alfy mendorong tubuh Rafka menjauh. "Modus banget sih!"

"Ya Allah, suami sendiri dikatain modus. Itu barusan aku kasih pahala lho."

Ah, Alfy lupa kalau menikah dengan laki-laki ini adalah ibadah seumur hidupnya. "Makasih ya, Pak Misua, atas pahalanya. Saya sangat terkesan."

Rafka terkekeh. "Mau pahala yang lebih gede nggak?"

"Nggak, terima kasih. Saya mau ngerjain skripsi."

Melihat Alfy sibuk dengan tugas akhir dalam kondisi hamil kadang membuat Rafka merasa bersalah. Dia pernah menyarankan agar mereka mengambil program menunda kehamilan tapi Alfy menolak mentah-mentah dan bahkan istrinya itu marah besar saat Rafka memintanya untuk mengambil cuti kuliah. Perempuan itu bilang kehamilan bukanlah keterbatasan apalagi halangan untuk melanjutkan pendidikan. Dia bertekad besar untuk mewariskan otak pintarnya pada anak-anaknya kelak. Konon kecerdasan diturunkan dari ibu dan rupa didapat dari sang ayah. Soal good looking, gen Rafka tentu tidak bisa diragukan lagi, jadi Alfy hanya perlu mengasah otaknya untuk menghasilkan bibit-bibit superior.

Kalau sudah seperti itu, Rafka hanya bisa mendukung semaksimal yang dia bisa dan berharap bisa mengurangi beban istrinya tapi yang terjadi sekarang justru kebalikannya. "Maafin aku, ya?"

Alfy mengangkat kepalanya dari layar laptop, menatap Rafka bingung.

"Harusnya aku jaga kesehatan biar nggak sakit kayak gini dan berakhir bikin kamu repot."

Perempuan itu berdecak. "Kamu cuma usus buntu, Rafka."

Menemani Rafka operasi usus buntu adalah kejadian tak terduga yang menimpa Alfy hari ini. Pagi tadi dia tidak sengaja terpeleset di kamar mandi, tapi yang berteriak perutnya kesakitan justru Rafka, bukan dirinya. Saat diperiksakan ke dokter, ternyata suaminya itu mengalami usus buntu dan harus segera dioperasi.

"Usus buntu kamu bilang cuma?" Istrinya memang terkenal sangat sadis, Rafka harusnya tidak merasa heran lagi. "Ini bisa mengorbankan nyawa, By! NYA-WA!"

Alfy menjulurkan lidahnya, meledek. Melihat hal itu Rafka semakin kesal. "Lagian ini juga kan gara-gara kamu yang ngidam seblak pedes mulu!"

"Dih, kok nyalahin ngidam aku?" elak Alfy, tidak terima.

"Iya! Kamu ngidam seblak pedes mulu, tapi aku yang disuruh ngabisin. Gimana nggak radang usus buntu kalau tiap tiga hari sekali ngidam seblak?"

"Ya kan karena kamu sendiri yang ngelarang nggak boleh makan banyak-banyak!"

"I-iya juga sih," Rafka skakmat. "Aku hampir lupa, kamu udah ngecek kandungan, kan?" tanya laki-laki itu kemudian.

Alfy mengangguk. "Baik-baik aja kok."

"Syukurlah. Pokoknya besok aku bakal renovasi kamar mandi kita. Aku nggak mau kamu kepeleset lagi kayak tadi pagi," ujar Rafka sedikit kesal mengingat tragedi yang menimpa istrinya hari ini. Dia akan pastikan untuk mengganti semua lantai kamar mandi yang ada.

"Nggak usah diganti juga kali. Itu licin karena ada bekas sabun aja."

"Nggak. Pokoknya harus diganti!" kekeh Rafka. "Keamanan istri dan anak aku adalah yang utama, diskusi selesai."

"Iya-iya. Siap, Komandan!" Alfy akhirnya mengalah. "Oh ya, aku abis ini mau bimbingan skripsi. Nggak apa-apa kan kamu aku tinggal?"

Seorang perawat datang untuk mengecek kondisi Rafka pasca operasi. Laki-laki itu tidak mempedulikan hal itu dan fokus mengamati wajah istrinya dengan ekspresi tertekuk. "Yah, kamu mau pergi? Nanti kalau aku kangen gimana?"

Alfy melempar pelototan mata pada suaminya yang tidak tahu malu itu. Dia melihat perawat wanita itu menahan senyum karena mendengar celotehan suaminya. "Maaf ya, Sus, suami saya emang agak-agak jamet."

Perawat itu tersenyum lebar. "Saya pernah denger, kalau anak yang paling merepotkan itu justru bukan anak kita tapi anaknya mertua. Semoga si kecil nanti bisa bersaing dengan ayahnya ya, Bu."

Alfy mengelus perut buncitnya sambil terkekeh kecil, sedangkan Rafka hanya bisa menekuk wajahnya karena baru saja digibahi tepat di depan wajahnya sendiri.

Setelah selesai mengganti kantong infus, perawat wanita itu pun meninggalkan ruangan. Alfy menatap kepergian perawat itu sambil tersenyum tipis. "Perawatnya cantik ya? Wajahnya putih mulus, badannya juga bagus. Pantes sih, namanya juga perawat kan? Pasti suka merawat diri juga."

Rafka berdecak. "Kamu nggak pernah ngaca, ya? Dilihat dari ujung monas juga masih cantikan kamu kemana-mana kali."

"Justru karena aku sering ngaca jadi sadar diri, Rafka. Aku jerawatan dan gendut kayak gini, kalah jauhlah sama mbak-mbak tadi."

Semenjak hamil, postur badan dan kondisi kulit wajah istrinya memang mengalami banyak perubahan. Tapi Rafka tahu, itu semua karena hormon kehamilan, karena Alfy sedang mengandung anak mereka. Yang Rafka heran adalah, dimana letak kalah jauhnya? Jelas-jelas Alfy adalah perempuan paling sempurna karena di kakinya yang membengkak itu terdapat surga untuk anak-anak mereka nanti.

Cup!

Rafka mencium pipi kanan istrinya lama, sama sekali tidak menghiraukan keberadaan jerawat yang dikhawatirkan istrinya tadi. "Gimana? Masih insecure, nggak?"

Wajah Alfy merona karena perlakuan manis itu. Perasaannya menghangat dan kekhawatirannya sedikit terusir. Dia sering merasa takut dan berpikir bahwa Rafka akan kecewa pada perubahan dirinya meski yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Rafka tidak pernah memandangnya berbeda. Tidak pernah keluar satu komentar pun dari mulut laki-laki itu dengan keburukan dirinya.

Rafka kemudian mengelus kepala istrinya itu dengan penuh perhatian. "Nggak boleh insecure-insecure kayak gitu lagi ya, Cantik. Mau selama apapun kamu sama aku, mau setua apapun kamu nanti, kamu itu tetap Alfy si siswi SMA paaaling cantik yang aku temuin 5 tahun lalu. Si pemilik bangku barisan kedua, sebelah kiri, yang tidur di waktu pertama kali aku mengajar."

Alfy tersenyum. Rafka memang tidak pernah gagal membuatnya merasa spesial. Dia memang bukan martabak, tapi Rafka dengan perlakuan dan pengakuannya itu selalu membuatnya merasa dicintai lagi dan lagi.

Membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.

"Oh ya lupa, janda anak dua juga!" sambung Rafka lalu tergelak keras, tapi tidak lama karena laki-laki itu langsung mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Nah kan, ngetawain aku sih, langsung dibalas tuh sama Allah," omel Alfy sambil memeriksa jahitan di perut Rafka yang masih basah. Dia memberikan elusan lembut di sekitar balutan perbannya dan meniupinya pelan-pelan. "Mendingan, nggak?"

Rafka menutup matanya. Rasa sakitnya memang hilang, tapi rasa tersiksa justru datang menggantikan.

"Sabar ya, Otong," ucapnya, meringis dalam hati.

• • •
HAI HAI READERS TERCYNTA🔥
KANGEN SAMA AYY GA?
AWOWKWK
HIATUSNYA KELAMAAN
🐊🐊🐊

Mau extra part lagi ga nih?
Request ya, kalian mau angkat tentang apa?

IneffableWhere stories live. Discover now