9 | Hotspot

5.7K 763 152
                                    

RAFLI

Di bawah lampu taman yang temaram dengan sinar jingganya, perempuan itu duduk sendirian di sebuah bangku kayu, menghadap pada pepohonan rindang yang tertanam di sekelilingnya. Sesekali ada bias senyum di wajahnya saat sisa-sisa cahaya senja tertangkap irisnya. Saya mendekat, membuat senyum indah itu tertuju pada saya.

"Sudah shalat?" tanya saya sambil memposisikan diri duduk di sebelahnya.

Dia mengangguk.

Dua cup berisi teh hangat yang saya bawa, salah satunya saya ulurkan untuknya. Dia menerimanya, lagi-lagi dengan senyuman yang ia pamerkan. "Jadi, sebenarnya Rafka yang nolong kamu atau kamu yang nolong Rafka?"

Tanpa menatap saya, dia tersenyum. Matanya bergerak menerawang. "Kami saling tolong, sih, lebih tepatnya."

Saya jelas bingung ketika Alfy menelepon saya tiba-tiba. Perempuan itu juga mengatakan Rafka sudah tak sadarkan diri karena kena hajar preman. Saya pun datang ke tempat kejadian setelah Alfy menelepon. Dan benar, setibanya di sana saya melihat adik saya satu-satunya itu sudah terkapar dengan banyak luka memar dan bekas pukulan. Alfy terlihat panik saat itu dan kami pun membawa Rafka ke klinik terdekat. Hingga berakhirlah kami di sini. Menikmati sisa-sisa senja di taman klinik dengan duduk berdampingan.

Tanpa sadar saya menghela napas. Membuat perempuan itu menilik saya penuh tanya.

"Maaf ya, Pak," ujarnya tiba-tiba.

Saya balik menatap Alfy dengan heran. "Untuk apa?"

"Bikin adik Bapak bonyok. Hehehe."

"Saya nggak keberatan. Sekali-kali dia harus ngerasain punya muka jelek," sahut saya membuat Alfy terkekeh pelan.

Hening. Desah angin bahkan terdengar jelas saat menabrak dahan-dahan pohon.

"Pak?"

"Alfy?"

Kami bicara bersamaan, membuat tawa kami menguar. "Kamu dulu," ucap saya.

"Nggak. Bapak dulu aja."

Dia kembali menyesap tehnya lambat-lambat. Saya tersenyum. "Saya baca cerita kamu di Wattpad."

Dia tersedak detik itu juga. Saya menatapnya risau, dia hanya menggeleng dan mencoba tersenyum baik-baik saja sambil menepuk-nepuk dadanya pelan. "Bapak kok tahu saya punya Wattpad?" tanyanya setelah menormalkan napas.

"Tahu, dong!"

"Ish! Kok bisa, sih?" Alfy menatap saya kesal. "Jangan dibaca lagi! Saya nggak mau tau!"

Saya terkekeh melihat tingkahnya yang tidak pernah berubah itu. Merajuk saat dibuat kesal. "Sayangnya saya sudah baca sampai ending. Kamu telat melarangnya."

Dia menutupi wajahnya. "Ish! Malu."

"Gapapa. Saya justru senang karena abadi dalam tulisan kamu."

Malu yang dia bilang tadi langsung berganti dengan tatapan tajam. "Dih, pede banget! Emangnya tokoh cowok di cerita saya itu Bapak? Sok tau!" elaknya kemudian, membuat saya tertawa.

"Lah? Memang benar, kan?" tanya saya balik. "Emangnya ada lagi guru di sekolah yang suka kamu selain saya?"

"Oh, jadi Bapak suka saya?"

"Dulu."

"Sekarang?"

"Sayang."

Dia terkejut. Saya pun melanjutkan, "Sayang sebagai adik. Boleh, kan?"

Senyum di wajahnya menjadi jawaban yang menyenangkan.

• • •

Usai kepergian Alfy, saya kembali masuk ke ruangan Rafka dirawat. Saya menawarkan untuk mengantar perempuan itu pulang namun dia menolak dengan alasan dia membawa Jagur. Saya pun mengiyakan dan membiarkannya pulang setelah berbincang-bincang cukup lama di taman.

IneffableWhere stories live. Discover now