17 | Grup Sepak Bola

3K 430 39
                                    

ALFY

"Mamang Rossi?" Aku membeo.

Laki-laki itu mengangguk. "Kayak pernah denger itu sebelumnya. Tapi dimana, ya?"

Tidak mungkin jika Pak Rafka tahu perihal Mamang Rossi dan tragedi yang melatarbelakangi nama tersebut. Jelas, karena tragedi itu hanya aku dan Pak Rafli yang tahu detailnya. Aku tidak pernah membahas Mamang Rossi kepada Pak Rafka sebelumnya. Jadi mungkin saja kalau Mamang Rossi dalam ceritaku dan dalam ingatan Pak Rafka itu berbeda cerita.

"Oh, aku inget! Dulu tuh aku pernah dikejar-kejar cewek SMA di jalan raya, diteriak-teriakin gitu sama dia. Dan waktu itu dia sempat panggil aku 'Mamang Rossi'. Nggak jelas banget, kan?"

Apa telingaku tidak salah dengar? Kok ceritanya sama?

Tiba-tiba saja aku teringat dengan Pak Rafli, waktu itu dia tidak mau mengaku saat aku menuduhnya sebagai Mamang Rossi yang kebut-kebutan denganku di jalan raya. Jadi selama ini aku salah menyimpulkan semuanya? Mamang Rossi itu bukan Mamang Rafli?

Melihat aku terdiam di tempat, Pak Rafka pun heran. "Kamu kenapa?"

Wajahku memerah karena malu. Demi mie ayam, kenapa fakta penting ini baru kuketahui sekarang, sih?!

Aku menutup wajahku untuk menyembunyikan rona merah yang sudah menguasai wajah. "Cewek SMA yang barusan kamu bilang nggak jelas itu aku!"

Laki-laki di depanku terdiam beberapa saat, setengah terkejut. Lalu tidak lama dia sudah tertawa keras. "Akhirnya aku ketemu juga sama cewek bar-bar itu. Pacar aku pula orangnya!"

Rasa maluku berubah menjadi kesal karena melihat dia tertawa sepuas itu. "Nggak usah ketawa! Nggak ada yang lucu!"

"Utuk utuk, sayang." Pak Rafka meledekku sambil mencoba untuk menyolek pipiku tapi langsung kutepis dengan cepat. "Harusnya kamu seneng dong ketemu sama Mamang Rossi lagi," ujarnya dengan nada menyebalkan.

"Nggak! Mana ada."

Pak Rafka terkekeh. Laki-laki itu masih terus menatapku sambil menopang dagu. "Kalau aku tahu cewek itu kamu, mungkin hari itu aku nggak akan kesal."

Aku menatapnya dengan tatapan bertanya. Kesal?

"Hari itu aku lagi libur, tapi si Rafli minta tolong aku buat jemput dia di tempat temannya. Udah gitu dia minta aku buat pake motor dia, bawain tas dia, pake sepatu dia. Terus aku pulangnya disuruh naik angkot sama dia, ditambah aku nyeker karena nggak dikasih sandal."

Gantian, sekarang aku yang tertawa karena ceritanya.

"Yang bikin aku tambah kesel, ada cewek bar-bar nggak jelas yang ngajak aku gelut di jalan raya. Udah tau orang lagi buru-buru, tapi malah diajak ngobrol. Kamu waktu itu kenapa sih ngejar-ngejar kayak gitu? Kurang kerjaan banget."

Aku tidak terima dibilang kurang kerjaan olehnya. "Kamu juga kenapa nyerobot jalan sambil klakson kenceng banget? Kesel tau nggak!"

"Ya namanya juga orang lagi buru-buru." Pak Rafka tiba-tiba menggenggam tanganku. "Tapi aku seneng kalau ternyata kita dipertemukan lagi setelah momen itu. Tuhan baik banget, kan?"

Kepalaku mengangguk. Tuhan memang baik. Aku tidak tahu seperti apa cerita hidupku sekarang kalau tidak dikirimkan laki-laki ajaib ini. "Tapi kok Pak Rafli tau ya kalau hari itu aku nggak pakai helm?"

"Mungkin dia lihat kamu juga hari itu dan kebetulan momennya pas sama tragedi Mamang Rossi. Lagian kamu emang selalu nggak pakai helm, kan?" tanyanya yang aku jawab dengan cengiran.

"Pake helm itu ribet tau."

"Lebih ribet usaha aku buat jadiin kamu pacar aku, ketimbang pake helm."

IneffableМесто, где живут истории. Откройте их для себя