12 | Mr. Sastra

5.2K 633 121
                                    

Punten, ini bayangan Pak Rafka di otak Author:)

Punten, ini bayangan Pak Rafka di otak Author:)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy reading!!!

• • •

ALFY

Usai berpamitan dengan ayah dan ibu, aku segera melesatkan diri ke luar rumah. Di sana Pak Rafka sudah menungguku di atas motornya. Hari ini kami berangkat ke sekolah bersama. Tiba di depan laki-laki itu, dia malah menertawaiku.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa?"

"Kalau penampilan kamu begitu, aku berasa mau antar orang meriang ke rumah sakit." Dia masih saja tertawa sambil menunjuk masker, kaca mata, serta jaket tebal yang membungkus tubuhku.

"Apanya yang salah?" tanyaku lagi. "Aku nggak mau kalau sampai ada orang di sekolah yang lihat kita boncengan. Ini cara paling aman biar nggak ada yang ngenalin aku."

Akhirnya dia berhenti tertawa dan mengangguk paham. "Iya-iya. Tapi lucu ya backstreet gini. Seru dan menantang."

"Menantang palamu belang!" Aku mengambil helm di tangannya. "Ayo, cepet. Nanti telat!"

Setelah aku naik ke boncengannya dan sempat ada drama yang memaksaku untuk berpegangan pada pinggangnya, kami pun berangkat. Sebenarnya acara berangkat bersama ini sangat tidak efisien waktu bagi Pak Rafka. Pasalnya dia harus berangkat lebih awal untuk menjemputku karena jarak yang ditempuh dari rumahnya ke sekolah justru lebih dekat ketimbang jarak untuk sampai ke rumahku. Mungkin ini yang dimaksud dengan bucin.

"Kalau kamu pegangan pundak gitu, aku berasa tukang ojek, Al," gerutunya saat kami berhenti di lampu merah.

"Lho? Emang tukang ojek, kan? Fungsi cowok dalam hubungan pacaran kan emang jadi tukang ojek ceweknya."

"Awas aja kalau nggak dibayar," ancamnya kemudian.

"Dih, perhitungan nih ceritanya?" Aku menatap laki-laki itu dari spion motornya. "Tapi nggak apa-apa juga, sih. Mau dibayar berapa?"

"Dibayar pake cinta dan kasih sayang," sahutnya sambil cengengesan.

Aku memutar bola mata dengan malas. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Setelah menghabiskan hampir lima belas menit lamanya, kami akhirnya sampai. Tidak, tidak sampai tepat di gerbang sekolah. Karena aku meminta untuk diturunkan di jarak dua ratus meter sebelum sampai ke sekolah.

Pak Rafka memberhentikan motornya di pinggir jalan. Aku turun dari boncengannya setelah mengamati sekitar dan memastikan tidak ada murid sekolahku di sekitar kami.

"Kenapa nggak sampai sekolah aja, sih?" gerutu laki-laki itu.

"Bapak mau kehilangan fans karena ketahuan pacaran sama saya?" tanyaku.

"Kok logatnya berubah jadi formal lagi?" kritiknya saat menyadari bahwa aku kembali memanggilnya dengan sebutan Bapak. "Lebih baik kehilangan fans dari pada kehilangan kamu."

IneffableWhere stories live. Discover now