3 | Dasi

10.2K 962 43
                                    

ALFY

Berulang kali aku menatap jam yang menempel di dinding kelas. Berulang kali juga aku menghela napas kasar.

Kapan istirahatnya dah?

Sebelum berangkat sekolah aku lupa sarapan. Hal biasa, sih. Jangan kan untuk sarapan, untuk baca doa sebelum makan saja sering khilafnya. Hal yang menjadi alasan mengapa aku makannya banyak tapi badanku tetap kurus kerontang yang kalau tertiup angin langsung terbang.

Apapun yang ada di papan tulis dan ocehan guru sejarah hanya menumpang lewat dari telinga kanan lalu ke telinga kiri dan mengabur. Tanganku menumpu wajah, menatap malas guru mata pelajaran sejarah.

Kasihan guru sejarah, susah buat lupain masa lalu.

"Al?"

Kudengar Via memanggilku. Tanpa repot-repot menoleh, aku hanya bergumam menjawab panggilannya itu.

"Gue lapar banget," keluhnya dengan berbisik.

"Sama kali."

Percakapan terputus sampai di situ karena Pak Dodi-guru pelajaran masa lalu-meminta murid sekelas untuk menulis apa-apa yang telah dia jabarkan di papan tulis. Suasana kelas hening banget. Bodohnya, perut kurang ajarku mengaum panjang.

Kruk kruk

Bagus sekali. Seisi kelas sekarang tertawa dan mencari pemilik dari suara perut lapar yang kedengaran nyaring tadi.

Pak Dodi ternyata turut mendengar amukan cacing di perutku, dia tersenyum lebar setengah terkekeh pelan. "Sepertinya cukup sampai di sini pertemuan kita hari ini. Saya merasa kasihan dengan pemilik suara perut yang keroncongan tadi."

Aku hanya tertawa garing mendengarnya.

Tidak lama setelah itu keberadaan Pak Dodi menghilang dari kelas, disusul ledakan anak sekelasku yang berlomba-lomba sampai duluan ke kantin atau toilet. Begitu pun juga dengan aku, yang langsung melesat meninggalkan tempat duduk. Baru sampai pintu kelas, aku malah tertimpa tragedi menyebalkan.

Harus banget ya Author bikin aku ketabrakan sama orang?

Sekarang tubuhku sudah sempurna mendarat di lantai dalam posisi terduduk. Aku meringis, sibuk mengusap bokongku yang lumayan nyeri. Selang beberapa detik, sebuah tangan terulur di depanku. Spontan aku langsung mendongak, menatap pemiliknya.

Pak Rafka?

Astaga, dari sekian banyaknya cogan, kenapa harus dia sih yang kutabrak?!

"Maaf," ucapnya dengan mata yang menyorot ke arahku sepenuhnya.

Aku hampir takjub dengan laki-laki di depanku. Dia meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dia perbuat. Tapi, mengingat sikapnya kemarin, hampir menampar seorang perempuan, ketakjubanku menguap tak bersisa. Aku langsung bangkit, menolak uluran tangannya dengan telak.

Peduli setan dengan sopan santun, aku langsung meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Seperti biasa aku dan Riki pulang sekolah bersama. Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Tidak lupa pula lengan Riki yang durhaka itu menyekik leherku sambil menggesek-gesekkan ketiaknya. Aku mencoba memberontak. Dia itu hobi sekali pamer wangi ketiak.

"Bau, Rik!" omelku sambil berusaha mengenyahkan lengannya dari leherku.

"Bau apanya? Wangi gini." Riki malah semakin gencar menyodorkan lipatan ketiaknya ke wajahku. Astaga, aku bahkan bisa merasakan ada sesuatu yang basah dari sana.

"Minggir, nggak?!" ancamku.

Riki memasang wajah tengil. "Nggak mau!"

Aku semakin menekuk wajah. "Sadar diri kenapa! Ketiak kamu basah gitu!" Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. "Abis main basket kan tadi? Aish, jorok banget!"

IneffableWhere stories live. Discover now