2 | Iklan KB

12.3K 996 61
                                    

ALFY

"Hei!"

Aku mengerjap, beralih menatap Riki yang sudah memandangku dengan heran. Belum sempat aku membuka mulut, dia sudah melanjutkan.

"Hei, Alfy. Hei, Alfy. Dia si cewek ramah. Mengupil, menggosip, Alfy selalu senang!"

Demi apapun, Riki baru saja bernyanyi dengan suara falsnya. Meski kesal karena keabsurdannya itu, aku tetap tersenyum menahan tawa. Lengan laki-laki itu kupukul, membuat dia meringis.

"Ish, aku salah apa sih, Al?" protesnya sambil mengusap-usap bekas pukulanku.

"Salah banyak!" Aku menyahut cepat. "Dengan lo lahir ke dunia aja itu udah salah!"

"Aku-kamu, Al sayang. Kan kita pacaran," ralatnya dengan wajah sok manisnya itu. Agak gemas, sih. Tapi tetap saja aku selalu mual melihatnya.

"Berangkat, yuk! Nanti telat," alihku sambil membenarkan tali tas di bahu. Hari ini Riki menjemputku untuk pergi sekolah bersama. Cowok aneh itu melarangku untuk membawa motor. Alasannya dia tidak mau melihatku yang selalu digodain Pak Enjun saat diparkiran. Padahal, itu hanya ada dalam pikirannya saja. Pak Enjun hanya tersenyum padaku sudah dianggap ganjen oleh laki-laki itu. Riki memang selalu menjadi pacar posesif sejauh yang aku tahu. Meski hubungan kami sempat buruk dan putus, tapi akhirnya kami balikan. Dan bahkan kami sudah bertunangan, hal yang malas sekali untuk kuakui.

Riki menaiki motornya, menyarungkan helm ke kepala.

"Rik, terbalik," tegurku saat dia memakai helm dengan posisi kacanya di belakang kepala.

Dia terkekeh dan kemudian membalikkan posisi helmnya. "Pantes gelap, Al."

Aku naik ke boncengan Riki, membenahi rok abu-abuku agar menutupi sebagian kaki meski sebenarnya aku memakai celana panjang. "Yuk!"

Riki menghidupkan mesin motornya. Sebelum benar-benar meninggalkan rumahku, dia membunyikan klakson dan menganggukkan kepala kepada ayahku yang sedang memberi makan ayam kesayangannya di perkarangan rumah. Ayahku balas mengangguk dan tersenyum. Pemandangan indah yang akhirnya bisa menghiasi setiap pagiku.

"Jangan pergi lagi ya, Al?" ucap Riki tiba-tiba saat kami masih di perjalanan menuju sekolah.

Aku merasakan tanganku yang berada di samping jaketnya digenggam hangat oleh laki-laki itu. Riki menatapku lewat spion motor. "Kamu selalu dideketin guru Bahasa Indonesia. Aku trauma banget, Al."

Kalimat serius Riki membuatku terhenyak. Aku tahu alasan kami putus waktu itu ada hubungannya dengan guru Bahasa Indonesia. Lebih tepatnya adalah dia, Pak Rafli. Laki-laki yang dulu mengalihkan perasaanku dari Riki tapi berujung menyakiti. Bahkan hanya dengan mengingat namanya saja dadaku sesak. Lalu sekarang adik dari laki-laki itulah yang menggantikannya, Pak Rafka. Aku tidak mengerti kenapa dunia jadi sesempit ini. Gara-gara hal ini aku jadi benci mempelajari bahasa negaraku sendiri.

"Kalau guru baru itu godain kamu, tunjukin aja cincin tunangan kita, Al. Biar dia sadar kalau kamu itu udah ada yang PUNYA." Riki menekankan kata terakhirnya sebagai bentuk kekesalan yang ia rasakan. "Aku jadi benci kenapa ada pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah."

Aku terkekeh. Jemariku balas menggenggam tangannya. Adegan yang kami lakukan sekarang ini memang sangat sinetron. Riki mengendarai motornya dengan satu tangan karena tangan lainnya sudah hangat dalam genggamanku. Tinggal nunggu aja nyungsep ke selokan berdua.

"Kamu mah emang nggak suka semua pelajaran. Alesan aja."

Giliran dia yang terkekeh. "Pokoknya jangan mau dideketin dia lagi! Cukup kemarin aku melihat kalian di kantin. Panas aku rasanya. Pengen banget maju buat bogem dia tapi si Via nahanin."

IneffableWhere stories live. Discover now