21 | Dendam

2.7K 519 185
                                    

RAFKA

"Kamu pernah bilang kalau aku benar-benar muak, aku boleh pergi."

"Apa sekarang boleh?"

Suara Alfy terus berputar ulang seperti kaset rusak di kepala gue. Seakan sengaja ingin membunuh gue dengan rasa sesal atas semua kesalahan-kesalahan gue pada cewek itu. Iya, gue tahu kalau gue ini sangat bodoh. Tapi bisakah kali ini gue dimaafkan? Karena melihat Alfy pergi usai mengatakan kalimat perpisahan semacam itu membuat gue seperti terbunuh di tempat. Sampai tangan gue tidak sanggup lagi menahannya untuk tetap di sana.

Ya, itu adalah kebodohan terbesar dari seorang Rafka hari ini. Membiarkan Alfy pergi begitu saja seperti seorang pengecut.

Gue menendang asal botol plastik bekas yang ada di depan gue dengan sekuat tenaga.

"Shit!"

Tidak ada hal yang gue benci saat ini melebihi rasa benci gue kepada diri gue sendiri.

Gue sudah tiba di rumah, terlihat dari luar kalau lampu kamar kakak gue sudah padam. Kemungkinan besarnya dia dan Mbak Ratna sudah istirahat dan itu artinya gue bisa merokok dengan leluasa. Hal yang sudah lama tidak gue lakukan, yang biasa gue jadikan sebagai pelarian dari masalah-masalah yang datang merusuhi hidup gue.

Baru berniat ingin menyalakan korek, rokok yang telah gue selipkan di antara dua bibir gue dirampas oleh tangan durhaka seseorang. Tidak hanya dirampas, benda yang lebih mahal dari semangkuk mie ayam itu terlempar jauh dan jatuh di rerumputan teras.

"Seberat apa masalah kamu sampai nyentuh barang itu lagi?"

Rafli yang menjadi pelakunya gue tatap kesal. Sejak kapan dia berdiri di belakang gue? "Lo buang duit gue dengan sia-sia tau nggak!"

"Dengan kamu beli benda itu apa bukan buang-buang duit juga?"

"Gue lagi males denger ceramah lo," ujar gue datar.

Tidak ada yang mempersilakan laki-laki itu untuk duduk, tapi dia asal saja mendaratkan pantatnya di bangku teras yang gue duduki sekarang. "Ada masalah apa? Alfy?"

Kepala gue mengangguk. "Bukan dia yang bermasalah, tapi gue. Salah ya kalau gue posesif dan cemburuan?"

Si lembek itu mengangguk. "Banget."

"Gue nggak pernah ngerasain ini sebelumnya, ketakutan akan kehilangan seseorang sampai sebegini berlebihannya. Tapi gue emang bener-bener takut dia pergi. Lo kan tahu sendiri saingan gue itu banyak," Gue menatapnya dengan tajam. "termasuk lo."

"Nama Kakak coret aja," ucapnya kalem, membuat gue tertegun. Jadi, dia sudah menyerah dengan perasaannya itu? "Dengan kamu curigaan dan cemburuan, itu artinya kamu udah meremehkan dia soal kesetiaan. Kakak belum pernah menemukan cewek sesetia Alfy, asal kamu tahu aja."

Mengobrol dengannya tidak membuat gue merasa lebih baik, malah membuat gue semakin merasa bersalah. "Terus gue harus gimana?"

"Perbaiki sebelum terlambat. Yang nunggu kalian putus itu banyak."

Sial. Sudah dua orang yang mengancam gue dengan kalimat seperti itu tapi bodohnya gue selalu mengulang-ulang kesalahan yang sama. Mengecewakannya lagi dan lagi.

Ponsel di saku gue bergetar di waktu yang tidak tepat. Awalnya gue mengabaikan panggilan telepon itu sampai berhenti dengan sendirinya. Tapi tidak lama kemudian ponsel gue kembali bergetar dan tanpa melihat lagi siapa penelponnya, gue langsung menerima panggilan itu dan mendengar isak tangis seseorang setelahnya.

IneffableWhere stories live. Discover now