13 | Mr. Sastra II

4.2K 630 155
                                    

ALFY

Awalnya aku berpikir bahwa ulang tahunku tahun ini adalah ulang tahun yang terburuk. Ternyata tidak. Ulang tahunku kali ini justru membuat paradigmaku berubah. Aku tidak akan lagi membenci hari ini. Sebab di hari ini aku sadar bahwa aku memiliki orang-orang yang begitu menyayangiku, orang-orang yang dengan hadirnya mereka bisa menciptakan tawa dan bahagia di dada.

Selain ibu dan ayah, aku mempunyai sahabat-sahabat koplak yang ada di setiap kesempatan dan momen penting yang ada di hidupku. Mereka hadir benar-benar untuk menciptakan kehangatan, memberi isi pada kekosongan dan kesedihan yang kadang membunuhku berlarut-larut.

Seperti hari ini. Mereka baru saja mengerjaiku dengan mengatakan ayah kecelakaan. Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak menentu dan nyaris membuatku yang betulan kecelakaan. Namun saat sampai rumah mereka malah menyambutku dengan nyanyian lagu ulang tahun yang falsnya bukan main. Terlebih suara Roy.

"Gue balik, ya. Jangan kangen!" pamit temanku yang memiliki nama paling maco itu.

"Najis. Sana lo pulang!" balasku dengan mengusirnya dari ambang pintu rumah.

Roy, Via, dan Syifa pun undur diri setelah dengan tidak tahu dirinya menumpang makan di rumahku. Tidak sepenuhnya salah sih, sebab ibu memang sengaja memasak banyak untuk berjaga-jaga jika teman-temanku ingin datang berkunjung hari ini.

Aku pun membersihkan badan usai kepulangan mereka. Berniat untuk tidur awal karena hari ini begitu melelahkan, rupa-rupanya niatku harus tertunda karena tiba-tiba saja seseorang mengirimiku pesan.

Taman komplek? Untuk apa aku harus ke sana?

• • •

Dengan berkostum baju tidur yang kubungkus dengan jaket tebal, aku mendatangi taman komplek dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana aku melihat punggung seseorang yang tengah duduk di salah satu bangku taman. Meski dia membelakangiku, aku tidak pernah keliru dalam mengenali punggungnya. Punggung seseorang yang dulu sempat menjadi tempat ternyaman dalam bersandar.

Aku menghampirinya dan langsung memilih duduk di sampingnya tanpa mengeluarkan suara apapun. Suasana begitu sunyi, bahkan aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Aku merutuki kebodohan ini. Kenapa juga aku harus berdebar karenanya?

"Selamat ulang tahun," ucapnya tiba-tiba.

Aku langsung menoleh ke arahnya yang membuat mata kami saling bertatapan. Saat aku menurunkan pandangan, sudah tergeletak sebuah kotak dengan hiasan pita di atasnya yang sebelumnya tidak terlihat di sana. Jantungku berulah lagi.

"Te-terima kasih, Pak." Aku belum menerima kotak itu dan memutuskan untuk tersenyum canggung lalu mengalihkan tatapan darinya.

Astaghfirullah, ini laki orang, Alfy. Jaga mata, jaga hati!

"Kamu nggak mau lihat isi kotaknya?" tanyanya kemudian.

Aku menoleh agak kaget. "Eh? Sekarang?"

Kepala laki-laki itu mengangguk.

Dengan penuh ragu aku pun mengambil kotak itu. Sebelum benar-benar membukanya, aku menatap pemberinya dengan penuh selidik. "Isinya bukan hal yang aneh-aneh, kan?"

Pak Rafli tertawa singkat. "Segitunya kamu nggak percaya sama saya? Bukan hal yang aneh, kok. Tenang aja."

"Bukan binatang kaki seribu, kan?"

"Bukan."

"Bukan kecoa, kelabang, dan sejenisnya, kan?"

"Bukan, Alfy."

IneffableWhere stories live. Discover now