5 | Friendzone

10.7K 929 96
                                    

MOHON MAAP LAHIR DAN BATIN ATAS KE-NGARETAN-KU UP PRINCESS SASTRA:(

WRITER'S BLOCKKU KAMBUH NGGAK KETOLONGAN:(

MIANHAE, SARANGHAE :*

SARAN AKU KLEAN BACA LAGI DEH CHAPTER SEBELUMNYA SIAPA TAU UDAH LUPA EHEHE



***

Rafli

Tepukan pelan mendarat di bahu saya. Wajah Ratna langsung menyapa saya saat kepala saya terangkat. Entah hanya perasaan saya saja atau memang benar, wajah Ratna sedikit berbeda dari biasanya.

Ratna terlihat pucat.

"Kamu sakit?" tanya saya yang langsung ia jawab dengan gelengan pelan.

Dia mengamati meja kerja saya yang penuh tumpukan kertas dan satu laptop yang menyala. Pemandangan yang sudah lumrah setiap harinya. "Lagi nugas apa, Bapak Guru?" tanyanya dengan nada bercanda.

Saya tersenyum. "Nggak ada. Cuma lagi rapiin berkas di laptop." Tiba-tiba saya teringat jam yang menempel di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Tidur sana. Jangan bergadang terus. Nanti kantong mata kamu bisa ngalahin kantong belanja supermarket."

Ratna menepuk lengan saya. Dia menekuk bibir bawahnya, tapi tak urung tertawa juga. Saya baru sadar, ekpresi tertawanya itu menjadi ketenangan bagi saya setiap kali melihatnya. "Kalau ceramah tuh ngaca. Kayak Mas nggak suka bergadang aja," protesnya kemudian.

"Mas sukanya kamu."

Blush!

Pipinya langsung berubah kemerahan. "Apaan, sih?! Malu sama umur bikin gombalan kayak gitu!"

"Lho?" Saya mengerutkan dahi. "Mas masih tujuh belas tahun."

"Satunya diganti sama dua!" ucapnya sambil menyentil hidung saya pelan. "Nggak usah sok narsis gitu, deh. Geli lihatnya."

"Sensi banget, sih, Ibu Negara," Saya menatap Ratna geli. Dia masih saja menampakkan wajah cemberutnya. "Lagi singa betina mode-on, ya?"

Di setiap tanggal tamu bulanan Ratna, saya selalu menyebutnya sebagai singa betina mode-on. Karena siapapun tahu, galaknya perempuan PMS itu tidak main-main. Apapun yang dilakukan saya, selalu salah di matanya. Ratna akan berubah menjadi singa betina dan saya adalah daging segar yang kapan saja bisa diterkamnya.

Pertanyaan ledekan saya ternyata malah membuat Ratna terdiam. Wajah pucatnya tiba-tiba memunculkan awan mendung yang tidak bisa saya tangkap maknanya.

Apa saya salah bertanya?

Tunggu, jangan-jangan Ratna ...

"Hei," Saya menangkup sebelah pipinya, menatapnya hangat. Ratna balas menatap saya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Dia selalu seperti ini.

Empat bulan pernikahan belum dititipi momongan tentu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Tapi bagi Ratna itu adalah hal yang selalu membangkitkan kesedihannya. Setiap kali dia datang bulan, yang saya dapati selalu wajah kecewa dan penuh rasa bersalahnya. Juga kata maaf yang tidak pernah absen ia ucapkan.

"Semuanya hanya tentang waktu. It's no problem. Melihat kamu sehat, kita bahagia, itu sudah lebih dari cukup," ucap saya setenang mungkin, agar dia tidak tersinggung. Saya bangkit dari kursi yang saya duduki, lalu membawa tubuh Ratna dalam dekapan. Puncak kepalanya saya usap lembut.

"Maaf," ucapnya.

Isakan kecil terdengar. Jantung saya mencelos.

Andai saja saya bisa merubah takdir atau memaksa Tuhan memberikan kami keturunan secepatnya, maka tanpa berpikir dua kali pun saya akan melakukannya demi Ratna.

IneffableWhere stories live. Discover now