t i g a b e l a s

59.8K 4.2K 35
                                    

.: 13. Jalani Bersama. :.

"Kamu masih muda, Nalana. Mengandung di usia muda seperti kamu ini risikonya besar. Bukan maksud saya untuk menakut-nakuti kamu, tapi saya hanya mau kamu waspada. Saya ada beberapa vitamin untuk kamu minum. Jaga pola makan kamu dan jangan terlalu sering beraktivitas, ya."

"Nalana," tegur Tami membuat Nalana mendongak kaget.

"Fotokopi KTP kamu mbak simpen, ya."

"Iya."

"Mbak mau ngomong sama kamu. Sebelumnya, maaf sekali kalau Mbak nyinggung kamu, kamu ... udah nggak sekolah, Nal?"

Nalana menipiskan bibirnya, lalu mengangguk singkat. Rasa penyesalan selalu menyerangnya tiba-tiba ketika ada seseorang yang membahas tentang sekolah. Terkadang, ketika Nalana melihat Arga belajar pun, Nalana juga rindu ingin kembali pusing akan PR yang diberikan gurunya.

"Emmm ... kamu?" Tami menatap Nalana ragu-ragu.

Menatap raut wajah Tami yang seakan tau ia alasannya berhenti sekolah, Nalana mengangguk lagi. Ia tidak mengeluarkan suara sama sekali. Dadanya terasa sesak mengingat keadaanya sekarang.

"Maaf, ya. Mbak nggak bermaksud. Walaupun kamu diterima kerja di sini, mbak juga perlu tau latar belakang kamu supaya nggak terjadi hal yang diinginkan."

Nalana mengangguk mengerti. "Oke, mbak, santai aja."

Tami mengelus rambut Nalana. "Kamu tau, Nal? Mbak lihat kamu sekarang ingetin mbak sama seseorang. Dulu, adik mbak juga sama kayak kamu, hamil di luar nikah waktu dia kelas 12, hampir lulus SMK waktu itu. Pacarnya nggak mau tanggung jawab. Mbak rasanya sedih, kecewa, marah lihat adik mbak satu-satunya jadi kayak orang frustasi."

"Badan dia jadi kurus banget, setiap hari mbak selalu denger dia nangis di kamar sendirian. Sembilan bulan berlalu, waktu itu waktunya adik mbak buat lahiran. Tapi apa, Nal? Hari itu juga hari terakhir mbak ketemu sama adik, mbak. Dia ... meninggal karena melahirkan anaknya."

Nalana tampak diam. "A-adik mbak itu m-mbak Mila?"

Tami menggeleng sembari tersenyum tipis. "Bukan. Mila adik sepupu mbak yang mbak rawat karena orang tuanya kecelakaan. Dari kecil, Killa, anak adik mbak lebih deket sama Mila. Dulu waktu Killa belajar ngomong, Killa selalu sebut 'bunda' kalau lagi sama Mila. Mbak juga nggak tau kenapa bisa gitu."

Nalana mengangguk paham.

Tami mengelus rambut Nalana yang tergerai. "Mungkin, jadi orang tua nggak semudah yang kamu bayangin, Nal. Jadi seorang ibu juga bukan cuma mengandung sembilan bulan habis itu udah. Jadi orang tua itu gimana caranya kamu bisa lihat tumbuh kembang anak kamu dari bayi sampai dewasa. Gimana kamu bisa mendidik anak kamu nanti buat jadi pribadi yang baik, Nal."

Mendengar nasihat Tami, Nalana menunduk. "Nalana nggak yakin soal itu, mbak."

"Kamu hidup nggak selalu di masa sekarang, Nalana. Ada saatnya kamu akan ngerti kenapa kamu bilang gini sekarang. Ada saatnya kamu bakalan ngerti kesalahan yang kamu lakuin sekarang akan buat kamu belajar banyak hal. Nggak semua yang kamu takutkan akan terjadi. Kamu cukup belajar dari kesalahan kamu dan nggak mengulangnya."

"Kamu berbuat kesalahan bukan berarti kamu nggak punya masa depan lagi. Ingat satu hal, hidup untuk masa depan, bukan masa lalu. Kalau kamu cuma mikirin yang lalu, hidup kamu akan sia-sia. Masa lalu emang berdampak besar buat masa depan, tapi bukan berarti kamu nggak perbaiki itu di masa depan. Ingat itu. Okey?"

Sorot mata Tami yang teduh membuat Nalana terenyuh. "M-makasih, mbak. N-Nalana nggak tau harus ngomong apalagi."

Tami terkekeh. "Cukup ingat itu aja. Jalani, nggak semua ketakutan kamu akan terjadi. Semuanya bakal baik-baik aja. Okey?"

MASA REMAJA KITA [End]Where stories live. Discover now