e m p a t p u l u h

59.5K 3.8K 107
                                    

.: 40. Invisible Tears. :.

Nalana terus merutuki dirinya sendiri karena bangun kesiangan. Alhasil semua pekerjaan rumah yang harus ia lakukan malah Arga yang melakukan. Perempuan itu menatap Arga yang menggendong Bian membuatnya mengernyit. Bukankah Arga akan ke kampus? Lalu mengapa laki-laki itu membawa Bian?

"Ga?" panggil Nalana parau. Akibat menangis semalaman membuat suaranya sedikit serak.

Arga melirik menunggu Nalana melanjutkan ucapannya.

Nalana yang ditatap seperti itu menjadi sedikit gugup. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "I-itu, kamu 'kan mau kuliah, kenapa Bian kamu bawa? Siniin, biar aku aja."

"Gue mau bawa Bian ke kampus."

"Tap--"

"Hidup lo nggak melulu tentang gue dan Bian, 'kan? Gue tau lo capek. Biar gue yang jagain Bian." Arga kembali fokus pada perlengkapan Bian yang akan ia bawa tanpa memperhatikan raut wajah Nalana yang berubah.

"Ga, nggak gitu," lirihnya, "Kemarin aku emosi, jadi aku ngomong gitu. Siniin Bian, Ga. Biar aku yang jaga dia. Nanti kamu repot," lanjutnya.

"Rata-rata orang yang emosi suka ngomong jujur dari dalam hati. Biarin gue tau repot-nya lo saat ngurus Bian. Gue pergi."

Nalana menatap nanar punggung Arga yang semakin menjauh. Bukan, bukan ini yang ia mau. Ia ingin membicarakan masalahnya pada Arga. Namun, mengapa laki-laki itu malah seolah-olah menghindarinya?

Nalana duduk di atas ranjang. Ia menutup wajahnya dan kembali menangis.

Gue capek.

🍑🍑🍑

Hari ini Arga hanya ada satu kelas, setelah kelasnya selesai, Arga segera menghampiri Bian yang sedang bersama-sama dengan teman-temannya karena ia menitipkannya tadi. Lagipula, tidak memungkinkan untuk Arga membawa Bian untuk ikut kelas pagi ini. Cowok itu merentangkan tangannya ketika tau Bian menyadari kehadirannya.

Arga beralih menggendong Bian yang tadi digendong Karina. Arga menciumi pipi Bian gemas. "Anak ayah nggak rewel, 'kan?"

"Nggak dong, Bian 'kan anak pinter, ya, sayang, ya?" balas Karina sembari ingin mencubit pipi gembul Bian.

Liam yang duduk tak jauh dari tempat Karina berdiri menepuk pelan tangan perempuan itu. "Heh, elo dari tadi mau nyubit Bian mulu, gue ketekin ya lo lama-lama."

Karina mengerucutkan bibirnya. "Padahal lucu, liat, dia dari tadi sama gue ketawa mulu."

Carlos menyesap kopinya lalu beralih menatap Bian yang tampak kegirangan melihat kendaraan lewat. "Anaknya Arga emang murah senyum kali. Tuh anak ntar gedenya mesti receh."

Arga menggelengkan kepalanya lalu menarik satu kursi untuk duduk. Diikuti Karina yang duduk di sebelah Liam. "Janganlah, Bian kalau gede harus cool kayak ayahnya."

"Cool-nya ngikutin bapaknya boleh, kalau brengseknya jangan, ya." Carlos mengelus rambut Bian. Bian yang dielus seperti itu menoleh, merentangkan tangannya minta digendong membuat Carlos tertawa.

"Gue nggak brengsek padahal."

"Kalau lo nggak brengsek mah lo nggak bakalan buat dua cewek tersakiti, Ga. Kadang, lo mikir nggak sih perasaannya cewek lo dulu, siapa namanya? Anara, ya? Eh sapa? Oh, iya, Agatha. Lo kadang mikir nggak perasaan dia? Dia udah percaya sama lo, tapi lo malah tidur sama cewek lain. Terus, soal istri lo sekarang, dia emang suka lo dari dulu, ya?

Gimana ya ngedeskripsiin perasaan dia sekarang? Dia pasti sakit hati banget waktu tau lo masih suka inget-inget si Agatha Agatha itu. Makanya, Ga, kalau lo udah percaya sama satu perempuan, mata jangan lirik-lirik yang lain," oceh Karina membuat Liam menyenggol kaki perempuan itu.

MASA REMAJA KITA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang