t i g a p u l u h d u a

58.1K 4K 190
                                    

.: 32. Araga Galang Bhagawanta. :.

"Buat apa lo balik? Mau buat hidup gue hancur lagi?"

Cowok yang berdiri di ambang pintu itu terdiam, senyumnya luntur melihat respons sang kembaran yang jauh di luar ekspektasinya. Namun, ia mencoba kembali tersenyum. Menyapa Arga sebagaimana menyapa seorang saudara yang sudah lama tak bertemu. Arga berdecih kembali, ia menghindari tatapan sang kembaran.

Raga-- cowok itu memilih untuk menyeret kopernya dan memilih untuk duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Arga, diikuti oleh Wijaya.

Keadaan yang seharusnya hangat dan bahagia itu malah sebaliknya.

Arga mendengkus jengkel, ia bangkit berdiri, tetapi perkataan Raga membuatnya terdiam dengan tangan terkepal di sisi baju.  

"Kamu nggak kangen aku, Ar?"

"Ngapain kangen sama pecundang kayak lo."

"Arga," tegur Wijaya.

Arga hanya diam. Ia menatap apapun yang bisa ia tatap, asalkan ia tidak menatap seorang remaja yang berwajah mirip dengannya itu. Merasa malas berada di sini, Arga beranjak menuju halaman belakang dan duduk di ayunan sangkar burung yang disediakan di sana. Arga menghela napas. Ia memilih merokok mencoba menenangkan dirinya sendiri. Walau ketenangan itu hanya beberapa saat sebelum seseorang datang dan kembali mengacaukan mood Arga.

"Kamu tau semuanya?"

"Ya lo pikir?"

Raga menghela napas. "Aku minta maaf."

"Minta maaf lo bisa buat hidup Mikaila ataupun gue balik, nggak?"

Raga memejamkan mata. Menahan setiap gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Aku ada alasan ngelakuin itu ke Mikaila. Dia pengganggu, selalu ngadu apapun yang aku lakuin ke guru dan berakhir Papa tau."

"Tapi caranya nggak gitu, 'kan, Ga? Dia ngelakuin kesalahan yang nggak seberapa tapi lo bales yang buat masa depan dan hidup dia hancur!"

"Nggak seberapa?!" bentak Raga. "Kamu mana pernah ngerti! Setiap aku mau ngelakuin ini itu aku selalu dilarang Papa. Aku dibandingin ini itu sama kamu lah. Kamu lebih pinter, lah. Walaupun kamu bandel kamu selalu nurut lah. Setiap aku ngelakuin kesalahan aku selalu dipukul, dikurung di gudang. Sedangkan kamu? Apa, Ar? Kamu pernah ngerasain itu? Nggak, 'kan? Ah, ya, aku lupa. Kamu anak kesayangan Papa. Mana mungkin Papa ngelakuin itu ke kamu, 'kan?" Raga tertawa sinis.

"Aku tau kesalahan aku di mana. Tapi waktu itu aku bener-bener takut dan milih ikut Opa ke Perancis. Aku mau tebus kesalahan aku, tapi emang apa yang bisa aku lakuin? Aku minta maaf kalau apa yang aku lakuin malah berdampak buruk buat kamu. Aku bener-bener nggak tau lagi harus gimana selain minta maaf."

Arga terdiam. Bukan fakta baru lagi jika Wijaya sering sekali memukuli Raga sebelum cowok itu melanjutkan pendidikan di Perancis. Wijaya memang lebih menyayangi Arga dibanding Raga. Entah karena alasan apa, Arga pun tak mengetahuinya.

Raga menghela napas ketika Arga tak menanggapi ucapannya lagi. "Aku tau kamu nggak mau maafin aku. Setidaknya aku udah berusaha minta maaf, Ar. Entah gimana respons kamu, aku nggak peduli. Aku abang yang bodoh buat adik-adik aku. Maaf."

Arga menatap Raga yang berlalu pergi. Arga menyayangi Raga. Mereka anak kembar. Tak jarang, di beberapa kesempatan Arga merasakan kepalanya pusing tanpa sebab, ternyata di sana Raga sedang sakit, begitupun sebaliknya. Ikatan batin mereka sangat kuat. Hanya saja, interaksi antara keduanya sangat jarang sekali dilakukan. Berkomunikasi lewat ponsel pun hanya dilakukan jika sempat.

Arga merindukan Raga. Ia ingin memeluk saudaranya itu. Bohong jika ia tidak merindukan Raga. Sialnya, apa yang cowok itu lakukan benar-benar membuat Arga muak.

MASA REMAJA KITA [End]Where stories live. Discover now