t i g a p u l u h t u j u h

54.3K 3.4K 33
                                    

.: 37. Arga Bohong? :.

Takkan Terganti - Marcell

Nalana.
online.

| Listriknya mati lagi, Ga. Airnya juga. Kayaknya kita telat bayar jadi dimatiin dari sananya.

| Stok susunya Bian juga udah mau hampir habis. Keperluan rumah juga, Ga. Aku mau belanja tapi uang bulanan juga udah mulai habis. Aku bingung mau gimana.

Iya, nanti biar aku pikirin gimana ke depannya. |

Setelah mengirim pesan itu, Arga memilih mematikan ponsel. Helaan napas terdengar panjang dan melelahkan. Arga mengusap wajahnya kasar. Memilih duduk dan menyandarkan tubuhnya. Arga menengadah, menatap langit-langit gudang dengan tatapan kosong. Apa yang akan ia lakukan sekarang? Kebutuhan semakin membludak sedangkan ia belum gajian.

"Ga?"

Sebuah suara lembut menginterupsi Arga dari keterdiammannya. Cowok itu menoleh dan langsung bangkit berdiri saat melihat Mbak Diana, kepala kasir di supermarket ini sekaligus adik pemilik supermarket berdiri di hadapannya.

"Ya, mbak? Ada yang bisa saya bantu?" balas Arga sopan.

"Kenapa sendirian di sini? Stok barang-barangnya gimana?"

"Oh, udah saya cek kok tadi. Lengkap. Baru saya beresin juga."

Mbak Diana manggut-manggut saja. "Mau temenin saya makan siang?"

Arga tampak melirik ke arah jam tangannya. Ia tampak menimang-nimang. Mbak Diana yang menyadari hal itu tersenyum tipis.

"Ada hal yang ingin saya bicarakan ke kamu. Sekalian makan siang, ayo."

Arga akhirnya mengangguk menyetujui. Keduanya memilih makan siang di salah satu restoran dekat supermarket.

"Kamu ada lagi masalah, ya?" tanya Mbak Diana yang lagi-lagi menyadari Arga sedang melamun.

"Ga," tegur Mbak Diana membuat Arga gelagapan.

"Eh iya-iya, mbak. Gimana tadi? Maaf, saya nggak denger."

"Jangan kebanyakan ngelamun. Kamu kenapa? Ada masalah? Akhir-akhir ini kok saya lihat kamu banyak melamun."

Arga menggeleng canggung. "Nggak, mbak. Saya cuma lagi ada sedikit masalah aja."

Mbak Diana tersenyum tipis. "Sebenarnya, yang ingin saya bicarakan di luar pekerjaan kamu. Begini, teman saya baru saja membeli rumah, rumah itu masih baru dan belum dicat. Kebetulan rumah itu belum ditempati. Kamu bisa membantu teman saya untuk mengecat rumah itu? Tenang, ini tidak gratis, kok. Ada bayarannya. Kamu mau, 'kan?"

"Maaf-maaf, saya tidak bermaksud apapun, tapi saya lihat kamu orangnya pekerja keras, jadi mungkin saya bisa minta bantuan kamu." Mbak Diana menyela melihat keterdiaman Arga.

"Eh, enggak, kok, mbak. Saya justru senang ditawari pekerjaan, kalau boleh tau kapan ya, mbak, saya bisa kerja?"

"Hari ini boleh, nanti malam kamu juga sudah boleh mulai. Lebih cepat, lebih baik."

Arga tersenyum tipis. "Siap, mbak. Makasih atas tawarannya."

"Santai aja sama saya." Mbak Diana tersenyum tipis. "Saya temani beli cat sekarang saja, ya."

Arga mengangguk antusias. Selalu ada jalan emang kalau gue lagi butuh sesuatu, batinnya.

Arga menatap Nalana yang masih menatap Bian sembari mengelus rambut bayi yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit itu. Arga menjadi merasa bersalah, bahkan di saat Nalana benar-benar membutuhkannya, ia tidak ada di samping perempuan itu. Arga tidak tau betapa repotnya Nalana mengurus ini itu sendirian.

MASA REMAJA KITA [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora