d u a p u l u h e m p a t

57.2K 4.1K 73
                                    

.: 24. Sebuah Pilihan. :.

Mengendarai motor di jalanan yang sepi adalah kesenangan tersendiri bagi Arga. Ia bebas melajukan motornya dengan kecepatan sedang dan menikmati semilir angin yang menerpa. Helaan napas terdengar panjang dan melelahkan. Dari tadi pagi dirinya bangun tidur hingga sekarang, ia tidak berhenti memikirkan perihal mabuk dan kata 'makasih' dari Mikael untuk Nalana.

Ayolah, Mikael bukan tipe laki-laki yang mudah mengucapkan kata makasih mengingat sifat angkuh yang laki-laki itu punya.

Gue kenapa sih anjir mikirin itu terus? batin Arga heran.

Motor matic Arga berbelok di sebuah rumah mewah. Saat Arga turun dari motor, satpam rumah tersebut menyapa membuat Arga tersenyum.

"Den Arga," sapanya.

Arga menyalimi tangan Pak Yanto. "Gimana kabarnya, Pak? Anaknya udah sehat?"

"Alhamdulillah sehat, den. Aden gimana? Bapak tinggalin rumah ini lama juga, ya."

Tawa Arga terdengar. "Nggak apa-apa, Pak. Yang penting anaknya sehat. Bapak nggak kangen Arga?"

Pak Yanto ikut tertawa. "Kangen atuh, den. Kangen banget malem-malem bukain den Arga gerbang, sekarang mana ada yang kayak gitu."

Arga tersenyum. Jauh di dalam hatinya ia juga rindu suasana rumah yang beberapa bulan ini ia tinggalkan.

"Ya udah, Pak. Arga ke dalem dulu, ya. Bunda udah tungguin soalnya."

"Siap, den."

Tadi Ratna mengirimi Arga pesan meminta cowok itu agar pulang ke rumah sebentar dengan alasan ada hal penting yang harus dibicarakan.

Saat masuk ke dalam rumah, suara adu mulut antara Gema dengan seorang cowok memasuki pendengaran Arga.

"Ngapain lo berdua?" tegur Arga membuat keduanya mendongak.

"Berak," jawab Gema ketus.

"Lo adiknya Nalana, ya?" tanya Arga mengabaikan Gema yang bersungut-sungut.

Cowok itu mengerutkan kening. "Lo siapa kok tau gue adiknya Kak Nalana?" tanyanya songong.

Arga mendecih melemparkan kulit kacang ke arah cowok itu. "Gue suaminya."

"Ah, masa? Kok gue nggak yakin, ya? Muka lo brengsek banget soalnya. Kakak gue mana mau."

Arga mendelik, ia melengos sembari mengacungkan jari tengahnya membuat cowok yang tak lain adalah Vian itu tergelak.

"Baru pulang, Ga?" tanya Wijaya.

"Iya."

Arga melepas topi miliknya dan menyalami Wijaya serta Ratna yang sedang menonton televisi. Arga mendudukkan dirinya di antara Wijaya dan Ratna lalu mencomot kue kering yang sepertinya baru Ratna buat.

"Resep baru, Bun?"

Ratna mengangguk. "Enak?"

"Enak. Bunda buat apa sih yang nggak enak?" tanya Arga membuat Ratna tertawa.

Wijaya menggeleng melihat Arga. "Buatin kopi sana buat Arga, Bun."

"Jangan, nanti biar Arga yang buat sendiri aja."

"Nggak apa-apa. Bunda buatin dulu."

Arga tidak lagi protes. Entah perasaannya atau bukan, sejak masuk dan menemui Wijaya, pria itu tampak gelisah dalam duduknya. Enggan menatap Arga, seperti ingin ada yang dibicarakan tetapi ragu. Mungkin begitu. Namun, Arga juga tidak tau mengapa Ratna menyuruhnya tiba-tiba ke sini.

MASA REMAJA KITA [End]Where stories live. Discover now