t i g a p u l u h e n a m

54.7K 3.9K 40
                                    

.: 36. Menjadi Orang Tua Muda. :.

5 bulan kemudian.

Nalana menghembuskan napasnya pelan ketika Bian di gendongannya menangis kencang. Perempuan itu melirik kompor yang tiba-tiba saja mati membuat helaan napas kembali terdengar. Kembali beralih pada Bian, Nalana merasa tidak ada yang salah dengan bayi itu. Setelah Nalana cek tadi, Bian tidak panas. Bayi itu juga tidak pup. Biasanya jika setelah diberi susu, Bian akan diam dan tertidur tenang. Namun, entah mengapa hari ini bayi itu rewel sekali.

"Cup cup, sayang, kenapa, sih? Bian pengen apa? Bunda bingung kalau gini jadinya."

Pengalaman Nalana mengurus bayi hanya sekali ini, itupun Bian masih jarang menangis. Sekalinya rewel seperti ini Nalana jadi kalang kabut sendiri.

"Ck, ini kenapa juga nggak diangkat sih teleponnya?" dumel Nalana.

Ini sudah ketiga kalinya Nalana menelepon Arga, Aruni dan Ratna. Dan, di antara ketiga orang itu belum juga ada yang menjawab.

Nalana duduk di kursi, mencoba untuk menimang-nimang Bian dan memberi bayi itu susu lagi. Nalana tersenyum tipis melihat Bian mau kembali meminum susu dan menghentikan tangisnya. Jantungnya rasanya seakan ingin berhenti berdetak saat Bian menangis seperti tadi.

"Sampai keringatan gini," gumam Nalana pelan sembari mengusap dahi bayi laki-laki itu.

Nalana menghembuskan napasnya lega ketika Bian sudah tertidur lagi. Matanya beralih menatap masakannya yang belum matang, bahkan Arga tidak sempat untuk sarapan karena Nalana kerepotan mengurus Bian tadi.

"Belum masak, cucian juga numpuk, air mati. Ck, gini banget, sih," keluh Nalana.

Meski mengeluh, perempuan itu tetap mengambil gas elpiji dan beranjak pergi ke luar rumah untuk ke warung dengan Bian di gendongannya. Tidak memungkinkan untuk Nalana meninggalkan Bian di rumah sendirian.

"Eh, Nalana," sapa sang pemilik warung.

Nalana membalasnya dengan senyuman. "Gas nya udah dateng, mbak?"

"Waduh, belum, Nal. Ini orangnya mbak telpon nggak diangkat."

"Duh, gimana, ya? Nalana butuh banget soalnya."

"Coba ke warung depan sana aja."

Nalana tampak menimang-nimang. "Warung di depan 'kan jauh banget, mbak. Di seberang jalan."

"Kamu beli gas aja biar Bian mbak yang bawa. Gimana?"

Nalana menatap Bian. "Makasih mbak, tapi Bian lagi rewel. Takutnya ngerepotin, mbak. Makasih, ya, mbak, Nalana duluan."

Pemilik warung itu tampak mengangguk, menatap Nalana yang berjalan semakin menjauh. "Kasian banget, emang bocah harus dikasih edukasi biar nggak seks sembarangan."

🍑🍑🍑

Nalana tampak panik ketika Bian kembali menangis di saat ia baru saja keluar dari minimarket. Perempuan itu tampak menepi dan mencoba menenangkan Bian. Namun, hasilnya nihil. Bayi itu masih tetap menangis membuat Nalana kalang kabut. Bodohnya lagi, Nalana tidak membawa botol susu yang sudah ia siapkan di rumah. Memang teledor, batinnya merutuki dirinya sendiri.

"Bian, kenapa sih, dek? Duh, cup cup itu dilihatin loh bunda bingung."

Panik, itu yang Nalana rasakan saat ini.

Nalana menatap sekitar dengan pandangan berkaca-kaca. Ia tidak pernah berada di posisi seperti ini. Nalana panik, tetapi ia tidak tau harus berbuat apa-apa. Di sisi lain Nalana takut Bian kenapa-kenapa, tapi di sisi lain juga ia tidak bisa menenangkan Bian karena ketika ia panik, Nalana akan bingung akan berbuat apa.

MASA REMAJA KITA [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora