e m p a t p u l u h d u a

56.2K 3.4K 48
                                    

.: 42. Tetap Bertahan? :.

"Nal, kok belum pulang?"

Nalana mendongak, menatap Mas Anhar--Kakak Reni sekaligus pemilik restoran di mana ia bekerja sekarang. Nalana tersenyum canggung, mengumpati ponselnya yang mati dalam hati.

"Oh, ini mas, nggak dapet ojek online," alibinya.

Mas Anhar ber-oh ria. "Pulang sama saya aja, udah malem ini. Nanti kamu telat pulang ke rumah. Lagian kamu cewek, takutnya nanti di jalan kenapa-kenapa. Ayo."

Nalana menggigit bibir bawahnya. Perempuan itu melihat langit yang mendung malam ini. Tidak ada pilihan lain selain ikut Mas Anhar. Akhirnya, Nalana mengangguk. Duduk di jok belakang. Mas Anhar memberikan Nalana helm. Pria itu tersenyum tipis. "Biar aman."

Nalana balas tersenyum. "Makasih, Mas."

Motor milik Mas Anhar membelah dinginnya udara malam itu. Nalana menikmati setiap waktu yang ia punya. Sudah terhitung sebulan ia bekerja di restoran Mas Anhar, dan sudah terhitung sebulan juga ia tidak bertemu dengan Arga. Arga memang selalu menanyakan keadaannya lewat pesan, tetapi ia tidak pernah membalasnya. Untuk apa kembali mengulangi kesalahan yang sama?

Mas Anhar dapat melihat Nalana di kaca spion. Pria berumur 26 tahun itu tersenyum tipis. "Saya denger dari Reni kamu sudah punya anak, ya? Kalau boleh tau, umur berapa, Nalana?"

"14 bulan, Mas."

"Sudah agak besar, ya?" Mas Anhar tertawa membayangkan.

Tawa itu menular. Nalana mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui. "Iya, Mas. Usil banget lagi. Nggak bisa diem."

"Anak umur segitu emang lagi lucu dan aktif-aktifnya. Kamu harus banyak-banyak bikin momen sama anak kamu. Percaya sama saya, kalau anak kamu beranjak dewasa, kamu bakalan kangen masa-masa ini. Semuanya bakalan nggak kerasa deh, Nal."

"Gitu, ya, Mas? Kok mas tau? Mas udah pernah punya anak, ya?" goda Nalana. Nalana tau Mas Anhar belum menikah.

Mas Anhar terkekeh mendengarnya. "Kamu mau tau sesuatu yang orang-orang nggak tau?"

Nalana mengerutkan keningnya bingung. "Maksudnya?"

"Saya sudah pernah menikah. Saya menikah di usia 23 tahun dengan kekasih saya. Kami mempunyai anak, perempuan. Sekarang usianya dua tahun. Istri saya meninggal akibat kecelakaan. Saya membenci apapun yang ada dalam diri saya semenjak istri saya tidak ada.

Malam hari itu, kami sempat bertengkar hebat. Saya pergi dari rumah karena saya tidak ingin melampiaskan emosi saya ke istri dan anak saya. Saya tidak tau kalau istri saya menyusul saya, dia nekat mengendarai mobil sendiri. Saya nggak tau ... atau justru saya ingin melupakannya. Dia tertabrak truk malam itu. Saya berharap setidaknya dia selamat, tapi takdir berkata lain. Satu yang saya sesali adalah tidak ingin mendengarkan penjelasannya. Saya ... saya menyesal mengikuti kata hati saya."

Nalana terpaku. "M-maaf, mas. Saya nggak bermaksud kayak gitu."

Mas Anhar tertawa. "Saya hanya ingin berbagi cerita, cerita yang tidak pernah orang-orang tau."

"Ah, ini, ya, rumahmu?"

Nalana mengangguk. Perempuan itu menengadah. Buliran-buliran kecil mengenai wajahnya. "Mas, mau hujan. Mampir dulu, ya?"

"Tidak perlu. Saya langsung saja."

"Tapi ini lumayan deras, Mas. Masuk aja, ya? Hitung-hitung tanda terima kasih saya."

Mas Anhar mengangguk pada akhirnya. Mereka masuk ke dalam rumah disambut pekikan kecil dari Bian. Bayi itu merangkak mendekati Nalana. Nalana berjongkok.

MASA REMAJA KITA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang