EP - 1

74.1K 3.8K 110
                                    

.: Ekstra Part 1 - Tahun Baru. :.

ARGA POV.

"Ndak, ah. Bian ngambek."

Anak laki-laki berumur 4 tahun 5 bulan itu melengos melewatiku begitu saja ketika tau aku telat menjemputnya. Aku hanya diam melihat Bian membantu Bi Jum--asisten rumah tangga di rumah mama yang sering sekali membantuku dan Nalana menjaga Bian ketika kami berdua sama-sama sibuk memberesi mainan-mainannya yang berserakan. Anak itu menggendong tas Spiderman miliknya. Ia berdiri di hadapanku.

"Ayah mau pulang, ndak?" tanyanya dengan nada galak.

"Iya-iya, itu pamit dulu."

Bian berbalik badan dan menyalami Bi Jum. Setelah berpamitan, kami memilih pulang ke rumah berhubung nanti malam kami akan mengadakan acara kecil-kecilan menyambut tahun baru di rumah papa.

"Bian ngambek sama ayah?"

Bian terdiam, ia mendongak menatapku. "Ayah nyebelin. Masa Bian ditinggal sama Bi Jum telus ayah enak-enakan makan es klim sama bunda."

Aku menahan senyum. "Bian ngambek gara-gara itu?"

"Ndak. Bian ndak ngambek."

"Terus kenapa ngomongnya sama ayah gitu?"

"Apa?" Bian mendongak lagi, mungkin tidak mengerti dengan apa yang aku tanyakan.

"Itu, ngomongnya sama ayah galak banget. Kalau nggak ngambek apa coba?" tanyaku memancing.

"Bian ndak ngambek, Bian cuma malah."

"Bedanya apa, dong?"

"Ih beda, ayah! Kalau ngambek itu ..."

Dan sepanjang perjalanan anak itu masih terus mengoceh membahas perbedaan ngambek dan marah sesuai pendapat Bian. Terkadang aku bersyukur Bian lahir tanpa cacat. Aku sangat takut perkembangan Bian tidak sesuai anak seumurnya karena ibunya mengandung Bian ketika masih remaja. Namun, aku bersyukur sekali lagi karena Bian itu pintar. Ya, walaupun terkadang membuat telingaku berdenging ngilu karena ia terus mengoceh sesuka hatinya. Setidaknya, itu lebih baik daripada dia bermain-main lumpur di depan rumah dan membuat Nalana mengomel.

🍑🍑🍑

Aku mencuri kecupan dari seorang perempuan yang tengah bercermin sembari menyemprotkan parfum di bajunya. Perempuan itu menatapku dengan tatapan jengkel. Aku terkekeh kecil, mencuri lagi kecupan di hidungnya ketika ia lengah.

"Arga!"

"Iya, sayang?" sahutku membuat dia bertambah kesal.

"Kamu bau rokok. Habis ngerokok?" tanyanya galak.

Aku menyengir. "Iya. Sekali doang, suer, deh."

"Ga." Tatapannya mulai meluluh. "Aku ngelarang kamu bukan karena aku nggak sayang sama kamu. Aku cuma nggak mau kamu kecanduan sama rokok. 'Kan ada permen karet yang udah aku sediain kalau kamu tiba-tiba pengen ngerokok," nasihatnya sembari mengerucutkan bibir.

Aku mengecup bibirnya dan menarik pinggang Nalana mendekat. "Aku tau, Nal. Aku kelepasan semalam."

"Kalau kamu kelepasan berarti kamu lagi ada yang dipikirin. Iya, 'kan?"

Dia selalu tau apa yang terjadi padaku walaupun aku tidak bercerita sekalipun. Aku mengelus rambutnya. "Maaf."

"Jadi bener? Kamu mikirin apa?"

"Sesuatu. Nggak apa-apa, bukan hal penting, kok. Cuma kemarin aku lagi bener-bener capek aja." Aku mencoba meyakinkan Nalana. Bukan tanpa sebab aku begini, aku rindu apa yang aku lakukan ketika remaja.

MASA REMAJA KITA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang