d u a p u l u h l i m a

61.7K 4K 63
                                    

.: 25. Cemburu? :.

Nalana merasa asing dengan situasi ini. Ia berjalan agak sedikit pelan dan memberi jarak di belakang Mikael yang menggendong Lano--adiknya. Di tangannya, terdapat kantong plastik berisi bubur ayam. Pagi hari yang cerah di hari Minggu ini niat awal Nalana ingin jalan-jalan di sekitar alun-alun kota bersama Reni. Namun, tiba-tiba gadis itu menghubungi dirinya tidak bisa datang karena sang ibu tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi. Jadilah, Nalana mengiyakan saja.

Saat ingin kembali pulang, tiba-tiba saja ia bertemu Mikael dan adiknya yang kebetulan Nalana tolong kemarin.

Suara tangis seorang anak kecil mengalihkan perhatian Nalana dari ponselnya. Kepalanya menoleh mencari sumber suara tangisan itu. Merasa tak menemui, ia bergidik ngeri mengingat hari sudah semakin petang. Nalana mempercepat langkahnya agar cepat sampai di rumah.

Namun, ketika suara tangis itu kembali terdengar, Nalana menghentikan langkahnya. Terdengar jelas suara bocah laki-laki yang menyebut 'bunda' dan 'abang' dengan cukup keras diiringi isak tangis yang memilukan.

Nalana memberanikan diri mencoba mencari. Hingga matanya menyipit menemukan sumber suara yang sedari tadi membuatnya penasaran. Tepat! Di seberang jalan sana-- di depan kios buah yang sudah tutup, anak kecil itu menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan.

Nalana menoleh ke kanan-kiri, dirasa tidak ada kendaraan yang melaju, dirinya segera menyebrang dan menemui anak itu. Daerah sini memang cukup sepi dan sebentar lagi Maghrib jadilah mereka memilih untuk beribadah.

"Hai, kok kamu sendiri?"

Bocah laki-laki itu mendongak kaget. Ia tampak melotot kecil lalu berusaha memundurkan tubuhnya, ketakutan menganggap Nalana adalah seorang penculik.

Nalana terkekeh kecil menanggapi. "Kenapa sendirian di sini? Orang tua kamu mana?"

Diam. Bocah itu enggan menjawab. Nalana paham, ia hanya tersenyum tipis.

"Jangan takut, Kakak cuma mau bantu kamu, kok."

"B-bantu apa?"

"Nah, itu dia. Kamu kenapa nangis? Kalau Kakak nggak tau kenapa kamu bisa nangis, Kakak nggak bisa bantuin kamu, dong?"

"A-aku ... nggak bisa pulang."

Ah, sepertinya Nalana tau anak ini nyasar atau paling tidak orang tuanya telat menjemput. Lalu ke mana perginya guru-guru yang mengajar? Mengapa mereka membiarkan anak sekecil ini berjalan sendirian tanpa pengawasan orang dewasa?

"Nama kamu siapa? Kamu sekolah di mana?"

Bocah laki-laki itu mengerjap, mulai nyaman dengan kehadiran Nalana. Lalu ia menggelengkan kepalanya. "Nama aku Lano. Kalau nama sekolah aku lupa."

Lucu banget, sih, batin Nalana.

"Mau Kakak bantu cariin?" tanyanya.

Lano menggeleng. "Nanti Kakak culik Lano. Lano nanti nggak bisa ketemu bunda sama abang."

Nalana terkekeh. "Enggak. Kakak bukan penculik, kok. Kakak pengen bantuin kamu ketemu sama bunda sama abang. Mau? Emang Lano mau sendirian di sini terus?"

Lano sontak menggeleng. "Enggak mau!"

Nalana mengusap lembut kepala anak itu. "Ya udah, ikut Kakak, ya? Lano kasih tau Kakak sebisanya. Oke?"

Lano mengangguk polos. "Oke! Nama Kakak siapa?"

"Nalana."

"Na ... yana?" Lano tampak sulit mengucapkan membuat Nalana terkekeh gemas.

MASA REMAJA KITA [End]Where stories live. Discover now