57| Childhood Wounds

487 79 27
                                    

Hailoo!
Maaf aku menghilang dua minggu:(
Keadaan tiba-tiba jadi lebih sibuk, pas udab gak sibuk lagi tiba-tiba ada info hiatusnya Bangtan yang cukup bikin kaget sampai beberapa hari sibuk mantengin sosmed untuk dapetin kabar mereka🥲

Jadi gimana ni, Army? Kalian siap untuk Chapter 2? Tetep support mereka ya!😍💜

Oke, selamat membaca!
Jgn lupa VOMENT ya, supaya aku bisa semangat nulisnya! Terimakasih♡


****


Bagian hidup yang sempat Shera anggap menjadi puing-puing berantakan itu perlahan mulai bersatu kembali. Cukup lama hingga harus mengorbankan perasaannya untuk sampai di titik ini, dimana kembarannya bisa kembali ke sisinya. Sudah genap sebulan Shena berada di Amerika, tepatnya di kota yang tak pernah tidur-New York.

Shera memiliki ekspektasi tinggi atas kebahagiaan adiknya saat tinggal di sini. Shena yang ia kenal itu memiliki gaya hidup yang tinggi, sehingga menurutnya akan cocok sekali menyatu dengan kota serba ada ini, mulai dari pusat bisnis, budaya, hiburan, dan mode. Melihat kemampuan Shena di bidang pastry, terlebih lagi ia sudah pernah menjadi orang kepercayaan dalam mengelola Kafe, seharusnya hal itu akan membuka peluang besar jika Shena ingin mencoba mengelola toko kue di sini. Tentu Shera akan berjuang membantu Shena dengan kemampuannya pula.

Namun sayang, sepertinya belum waktunya untuk menawarkan ide itu kepada Shena. Kedatangan Shena ke New York terkesan tanpa rencana dan terburu-buru. Dia bahkan masih merasa canggung dan asing saat bersama Shera dan ibu. Shena lebih sering mengurung dirinya di dalam kamar. Kendati begitu, Shera dan ibu sudah sangat bersyukur atas niat baik Shena untuk mencari dan datang ke rumah ini, rumah yang selalu menunggunya.

"Kalian harus mencoba ini. Ibu membuat dua jenis selai. Stawberry untuk Nana, dan Matcha untuk Lala." Ibu memberikan sepotong waffle ke dalam piring Shena dan Shera.

Pada meja makan kayu itu, Shena pun sempat membola dengan panggilan itu. Padahal nama itu adalah nama kecil mereka, ibu sengaja memberikan nama kecil agar tidak tertukar. Nana diambil dari nama belakang Shena, sedangkan Lala diambil dari nama belakang Shera yang sengaja diganti dengan huruf L karena pelafalan ibu sedikit cadel.

Nama kecil itu kini sudah terasa asing bagi Shena kendati ia sudah mendengarnya dari sebulan yang lalu setelah bertahun-tahun tidak lagi melekat untuknya. Bahkan ayah tidak memanggil Shena seperti itu.

Bukan hanya itu yang membuat Shena merasa asing. Seluruh yang ada di sekitarnya masih begitu asing, termasuk ibu yang saat ini menatap dirinya penuh binar. Shena sampai kesulitan untuk mengunyah makanan, lantas Shena menunduk setelah ia sempat berkontak mata dengan ibu.

Tatapan binar ibu menjadi sendu seketika. "Maaf jika ibu selalu membuatmu tidak nyaman ya."

Shena menggeleng ragu dengan tatapannya yang sedang mencoba berani menatap ibu. "Maaf ibu, aku masih belum terbiasa."

Shena tidak berbohong bahwa saat ini ia masih ragu dengan kebenaran yang terjadi di keluarganya. Apakah dia harus percaya bahwa ibu bercerai dengan ayah karena lelaki lain, lalu Shera lebih memilih ibu karena ayah mengidap kanker seperti apa yang ayah jelaskan saat dulu? Atau lebih baik ia percaya dengan penjelasan Shera? Dimana ayah hanya berpura-pura sakit dan ayah menceraikan ibu karena ayah selingkuh dengan mitra kerjanya?

Kendati sebenarnya penjelasan Shera mulai terbukti karena memang saat ini dia dan ibu hanya tinggal berdua tanpa lelaki yang menjadi suami baru ibu. Namun tetap saja Shena masih ingin mempercayai mendiang ayah yang begitu ia sayangi.

"Shena sepertinya butuh lebih banyak waktu lagi bu. Mari kita menunggu bersama sampai dia bisa membuka dirinya. Nanti, setelah hari itu tiba, ibu bisa bercerita apapun dan menghabiskan banyak waktu bersamanya." Shera mencoba untuk menenangkan ibu agar tidak terlalu memikirkan sikap Shena. Ibu pun tersenyum sambil mengangguk, seakan tidak kecewa atas sikap Shena yang terus menarik diri setiap kali ibu mencoba untuk mendekat.

AUGURYWhere stories live. Discover now