Bab 1

161K 5.8K 26
                                    

Aku ikut melihat ke arah pintu kantin saat mendengar suara berisik yang sibuk bisik-bisik di mejaku, tempat aku makan siang bersama ketiga rekan kerjaku dari bagian humas. Di pintu kantin aku melihat presiden direktur kami yang baru melangkah masuk bersama tiga orang direktur perusahaan. Direktur operasional, Direktur keuangan dan Direktur sumber daya manusia. Para petinggi perusahaan itu duduk di meja yang tidak jauh dari kami. Padahal di kantin ini disediakan ruangan khusus staf dengan level manager ke atas, tapi para petinggi itu malah duduk di ruangan untuk staf biasa macam kami.

Tentu saja pemandangan langka ini cukup menarik perhatian karyawan lainnya. Sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah ada petinggi kantor yang makan siang di kantin karyawan biasa. Mereka biasanya makan siang di ruangan kantin lantai 10, kantin eksekutif dengan koki dan pelayan sendiri.
Dan tentu saja hidangannya berbeda. Jadi melihat petinggi kantor selevel direktur makan di kantin merupakan pemandangan langka. Dan cukup menimbulkan keributan kecil.

"Itu Presdir yang baru kan? Siapa namanya? Oh ya, Leo Dewangga. Dilihat sedekat ini ganteng banget ya," bisik Aulia pelan, mungkin takut kedengaran oleh yang bersangkutan. Padahal meski meja kami dan meja para petinggi kantor itu cuma berjarak 4 meja, masa iya obrolan kami bisa kedengaran? Jarak antar meja juga gak terlalu dekat. Tapi seperti paham status, jadi kami ngobrol dengan suara lebih rendah.

"Ku dengar pak Presdir yang baru masih bujangan loh." Hanna mengedipkan matanya. "Baru kali ini ngeliat Presdir ganteng yang masih muda dan bujangan."

"Pak presdir pasti luar biasa, semuda itu sudah memangku jabatan presdir, gak main-main selevel Swara grup," kata Risa yang duduk disebelahku.

"Memang berapa usianya?" tanya Aulia.

"Dengar-dengar sih masih tiga puluhan gitu." Risa mencomot sekantong kerupuk udang diatas meja. Membukanya dan menawarkan pada kami. Diatas meja memang disediakan kerupuk dan rempeyek yang dikemas dalam kantong-kantong plastik seharga 10 ribuan. Yang bisa kami makan untuk pelengkap lauk atau dijadikan cemilan.

"Masih muda ya, kok belum nikah ya? Duda apa bujangan statusnya?" tanya Aulia lagi, sepertinya dia yang paling minat dan tertarik dengan presdir baru kami.

"Bujangan." Hanna yang menyahut. "Palingan juga udah punya gandengan."

"Sayang... kalo belum aku mau daftar," kata Aulia.

"Daftar apa? Jadi simpanannya apa gundiknya?" goda Hanna.

"Bukannya sama aja?" Aulia mengerutkan kening. "Kenapa semua bujangan paling menjanjikan di kantor ini pasti udah punya gandengan?Sedangkan yang biasa-biasa aja pada gak laku?"

"Yang biasa-biasa aja malah gak jadi beban pikiran. Emang mau punya pacar ganteng dengan jabatan mentereng tapi suka main cewek di luaran sana? Belum lagi jadi sasaran kecemburuan cewek-cewek sejagad," kataku sambil menyuap sesendok gado-gado lontong menu makan siangku hari ini. Ikut nimbrung pembicaraan mereka.

"Emang kamu gak tertarik, Ren?" tanya Aulia.

"Bukan gak tertarik. Cuma sadar diri aja," jawabku kalem. "Gak mungkin kan pria seperti presdir ngelirik staf rendahan kayak kita?"

"Ada sih. Di sinetron sama drama Korea," ucap Risa kalem. "Tapi di kehidupan nyata belum pernah liat."

"Tapi kok tumben ya mereka pada makan siang disini? Gak di kantin eksekutif lantai 10?" Aulia mengerutkan keningnya dengan keheranan.

"Mungkin mereka bosan dengan makanan bangsawan, jadi pengen nyoba makanan rakyat jelata kayak kita," kata Hanna.

"Kayak gado-gado dan tempe bacem ini?" tanya Aulia.

"Atau soto ayam dan kerupuk," kataku sambil mencomot kerupuk di piring Risa. "Bagi ya, kerupuk ku habis."

"Tadi ditawarin gak mau. Tuh di meja masih banyak."

"Gak ada duit. Gajian masih lama."

"Dasar pelit."

"Eh, eh, Pak Leo makan rempeyek loh. Dia pesan soto juga kayak aku." kata Aulia girang seperti dapet lotere. Sontak ucapan Aulia membuat kami bertiga ikut melihat kearah meja para petinggi itu. Tanpa sengaja mataku bertabrakan dengan matanya. Sesaat aku bisa melihat tatapan dingin di matanya. Sekejap bahkan sedetik tatapan dingin itu sanggup membuat tulang-tulangku menggigil. Tatapan dingin yang sarat akan kebencian padaku. Membuatku memalingkan wajah, menunduk, kembali menekuri piring gado-gadoku yang sekarang sudah tak menarik lagi. Aku tak sanggup melihat tatapan dingin itu, tidak sanggup melihat sinar kebencian di matanya.

"Kayaknya yang dia makan bukan soto ayam, Aul. Kayak soto daging." kata Hanna.

"Yang penting kan sama-sama soto."

Ketiga temanku malah asyik membahas soal soto yang di makan Presdir kami. Sama sekali tak menyadari perubahanku yang tidak lagi berani melirik atau melihat kearah meja Leo lagi. Tapi meski begitu, aku masih bisa merasakan tatapan dingin membekukan yang diarahkan padaku. Dan aku tahu tatapan milik siapa itu.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now