Bab 11

62.1K 4.1K 5
                                    

Apa Leo memiliki bakat cenayang pada dirinya? Atau dia memasang alat pelacak di tubuhku hingga ia tahu bila aku mau melarikan diri darinya?

Saat jam pulang kantor tadi aku sudah mencoba menghindarinya tapi masih ditemukan. Dengan berpikir bila kantornya dan kantor divisi humas berjarak beberapa lantai, aku sama sekali tidak mempedulikan pesannya. Aku pulang lebih dulu, tapi saat aku sudah masuk mobil siapa sangka Leo sudah berdiri disamping mobilku dan membuka pintu mobil.

"Mau kabur?" tanyanya mengejek.

"Aku bawa mobil. Buat apa ikut kamu?" Aku menantang.

"Mobilmu dibawa supirku. Jangan membantah." Tanpa peduli protesku Leo mencabut kunci kontak lalu menarik tanganku agar keluar. "Bawa mobilnya, pak. Ikuti kami dari belakang."

"Siap,boss." Supirnya mengangguk lalu menerima kunci kontak mobilku dari tangan Leo.

"Aku benci kamu."

"I know." Leo menyalakan mesin audinya. "Tapi aku gak peduli."

"Buat apa kamu nganter aku?Kamu bisa ketemu Della. Bukannya kamu gak mau ketemu Della?"

"Siapa bilang aku gak mau ketemu Della?"

"Kamu gak ngakuin Della sebagai anak kamu, jadi buat apa kamu ketemu sama dia?"

Audi Leo membelah jalan raya. Cuma kami berdua di dalam mobil. Jadi aku tidak perlu berbicara atau bersikap formal padanya. Panggilan Bapak juga tidak aku sematkan.

"Meski aku belum mengakui Della sebagai anakku bukan berarti aku tidak mau bertemu Della," kata Leo. "Belum bukan tidak."

"Aku tidak memaksa kamu mengakui Della. Jadi biarkan kami hidup tenang, Leo."

"Hidup tenang? Hidup tenang seperti apa?" Leo berpaling menatapku. Jalanan macet. Jarak dari kantorku dengan rumahku di Kelapa dua Depok memang cukup jauh. Sekitar dua jam perjalanan. Dan saat ini kami terjebak macet.

"Hidup tenang tanpa gangguan dariku? Itu yang kamu maksud?"

"Syukurlah kalau kamu ngerti."

"Sial!" Leo memukul stir mobil. Kemacetan membuat mobil yang kami tumpangi tidak bisa bergerak. Ia melepas sabuk pengaman dan mendekatiku, tubuhnya condong kearahku.

"Kamu mau apa?" tanyaku panik.
Wajahnya terlalu dekat, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya.

"Menurutmu?"

"Leo... jangan..."

Terlambat. Bibirku sudah dibungkam bibir Leo. Basah, hangat dan asing. Rasa bibir Leo di bibirku. Leo menciumku, memaksa bibirku terbuka menerima ciumannya. Lidahnya menerobos masuk, mencari lidahku.

Tanganku yang mencoba mendorong tubuhnya untuk melepaskan diri ditahan dengan satu tangan. Sementara tangan satunya menarik tengkukku agar ciuman kami semakin intim.

Protesanku kini hanya terdengar seperti gumanan tidak jelas. Dan sialnya di telinga Leo sepertinya gumanan itu layaknya erangan erotis yang membuatnya makin terangsang.

Dia bukan cuma mencium, tapi sebelah kakinya menggesek pahaku yang terbalut rok mini hitam. Otomatis seluruh tubuhnya merapat di tubuhku. Bahkan buah dadaku menempel ketat di dadanya.

Aku berusaha berontak, mencoba menghentikan kegilaan Leo. Tapi sepertinya sia-sia saja. Leo bahkan lebih erat memelukku. Lebih memperdalam ciuman kami.

Tidak peduli saat ini kami berada di dalam mobil, tidak peduli saat ini kami terjebak kemacetan di jalan raya. Dia juga tidak peduli kalau ada penumpang di mobil lain melihat apa yang sedang kami lakukan.

"Bibir yang manis," kata Leo puas setelah melepaskan ciuman kami,
tersenyum melihat wajahku yang berantakan dengan napas tersengal. "Membuatku kecanduan dengan rasanya."

Tanganku melayang hendak menamparnya, tapi Leo lebih cepat menangkap tanganku.

"Tangan ini lebih cocok untuk membelai, sayang. Bukan untuk memukul."

"Bajingan!"

"Aku berubah jadi bajingan hanya padamu, Ren." Leo memasang kembali sabuk pengamannya. "Hapus wajah marah itu atau aku bakal telanjangin kamu di sini sekarang juga. Dan aku pastikan itu bukan ancaman belaka!"

Sialan, Leo! Makiku dalam hati. Bajingan kurang ajar! Ku harap dia ke sambar petir atas semua perbuatan kurang ajarnya padaku! Kenapa aku bisa jatuh cinta pada bajingan seperti dia?

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now