Bab 45

44.2K 2.3K 47
                                    

Pernikahan Aulia jadi ajang kumpul anak-anak Swara. Meski yang diundang bukan cuma anak-anak Swara saja. Tapi juga dari karyawan rumah sakit tempat suami Aulia bekerja. Dan juga beberapa koleganya. Tapi yang mendominasi ya tetap, anak-anak Swara.

Hanna datang ngegandeng pacarnya yang kini sudah meningkat statusnya jadi tunangan. Pacarnya yang beda perusahaan tapi baru kali ini di go public. Risa ngegandeng cowok bermata sipit yang nama awalannya Park, Park gitulah. Katanya asli Korea, kabarnya salah satu petinggi di Hyundai. Nggak tahu bisa kenal di mana dia. Tapi keren, bisa ngegaet ikan hiu. Bahasa inggrisnya lumayan oke, meski bahasa Indonesianya masih belepotan. Namun herannya, Risa santuy saja berkomunikasi dengan cowok yang dia akui sebagai gebetan baru. Ngerti juga ya dia, si oppa ngomong apa.

Sepertinya acara pernikahan ini juga jadi ajang pamer pasangan. Aku juga lihat Shella ngegandeng cowok bule yang mirip-mirip Tom cruise versi muda. Ganteng banget. Mana pakai kemeja batik lagi. Bukannya kelihatan aneh, malah tambah ganteng.

Ya, maklum saja sih. Meski orang kantoran, kan jarang-jarang dapet undangan ke pernikahan di gedung seelit Smesco. Dengan tamu-tamu kelas kakap seperti ini. Jadi kapan lagi bisa pamer gandengan? Padahal menurutku, ini ajang cari jodoh harusnya. Lihat saja, banyak dokter-dokter ganteng yang berseliweran. Kok tahu mereka dokter, soalnya waktu ngobrol rata-rata manggil nama jabatan. Seperti hallo dok,apa kabar dok. Ya yang dipanggil sudah pasti dokter kan?

Harusnya sih aku bisa haha hihi bareng teman-temanku. Secara sudah lama gak ketemu. Sayangnya, kehadiran Leo di sampingku justru membuat teman-temanku segan. Berusaha menjaga image di depan Presdir. Ya kali di depan Presdir,meski ini bukan jam kantor, mereka pada petakilan. Karena itu saat Leo pergi sebentar, untuk menyapa seorang pejabat yang wajahnya sering nongol di tv. Mereka leganya bukan main. Persis anak sekolah yang lega karena guru galak sudah keluar kelas. Ha..ha..

"Kok elu bisa ngajak suami lu sih, jadi gak enak kita ngobrolnya," kata Risa yang disambut tabokan Hanna di bahu.

"Ya kali, Renjani pergi kondangan sendiri, padahal udah punya laki. Lah elu aja bawa gandengan." semprot Hanna. "Tapi keren ya Aulia. Bisa nikahan di gedung. Mudah-mudahan gue juga bisa ya."

"Aamiin.." kataku mengamini ucapannya.

"Sibuk apa lu sekarang, Ren?Kayaknya nih badan tambah gemuk. Banyak duit, badan tambah subur."

"Sibuk ngabisin duit laki," jawabku asal dengan pertanyaan Hanna.

"Dih, sombong."

Obrolan kami terpotong saat tiba-tiba dari belakangku, sebuah sapaan suara bariton terdengar.

"Hai, Ren. Lama ya kita gak ketemu? Apa kabar?"

Ternyata Aditya yang menyapaku. Dia pakai baju batik lengan panjang, menggandeng perempuan cantik di sampingnya. Aku pernah lihat perempuan itu juga. Salah satu karyawan Swara. Sering ketemu di  kantin.

Begitu Aditya muncul, kedua temanku langsung kasak kusuk. Cih, pasti bakal jadi bahan gosip baru nih.

********

"Ciee... yang baru ketemu mantan. Kelihatannya senang banget." Leo kelihatan kesal. Padahal kami baru sampai rumah. Tapi mulutnya sudah gatal buat kasih komentar.

"Aditya bukan mantan, cuma teman. Apa kamu lupa tadi dia dateng gak sendiri? Cewek cantik di sebelahnya kamu anggap apa?Hantu?"

"Sudah punya pacar tapi ngeliat bini orang matanya berbinar-binar begitu. Apa dia lupa kamu sudah bersuami? Pakai ngomong kangen segala!Diam-diam buaya, untung kamu gak jadi sama dia! Bisa makan hati kamu Ren, kalau jadi istrinya. Kalau setiap ketemu mantan bilang kangen!"

Mau tidak mau aku tertawa geli mendengar nada bicara Leo yang sinis begitu. Apalagi melihat raut wajahnya yang kecut.

"Kenapa ketawa? Aku ngomong bener kan? Diam-diam ternyata dia berbakat playboy juga. Sudah punya pacar, tapi masih suka genit sama istri orang. Oh, aku sih gak peduli kalau dia mau genit sama perempuan mana saja, asal jangan sama kamu !"

Genit dari mananya? Aditya tadi cuma ngobrol basa basi. Cuma percakapan biasa seperti dua teman lama yang baru ketemu. Leo terlalu berlebihan menanggapinya.

"Aditya gak kayak gitu, Leo. Kamu salah paham sama dia."

"Oh, jadi kau membelanya? Kau lebih membela lelaki lain daripada suamimu sendiri? Iya?"

Duh, bisa berabe kalau diteruskan. Entah Leo kerasukan setan apa. Niatku yang mau menenangkan bakal  gak mempan, kalau moodnya sudah jelek begitu.

"Oke. Aku salah. Lain kali aku gak bakal menanggapi sapaannya, kalau ketemu lagi sama Aditya. Bakal menghindar jauh-jauh."

"Jadi kamu ada niat buat ketemu dia lagi?" Nah kan salah lagi.

"Nggak. Siapa yang mau ketemu sama dia lagi? Lagian buat apa sih aku ngeladenin cowok lain, kalau suamiku saja sudah ganteng begini?"

"Pokoknya kamu gak boleh sok akrab sama dia, Ren. Aku tahu dia masih ada rasa sama kamu. Bukan cuma dia doang, tapi cowok-cowok lain juga gak boleh. Ingat! Kamu sudah punya suami, sebentar lagi mau punya anak dua." Lalu Leo memelukku. Mengelus perutku yang belum terlalu besar, karena usia kandunganku memang baru enam minggu. Teringat bagaimana girangnya Leo waktu tahu aku hamil. Meski kemudian dia agak mengkal, karena untuk sementara gak dapat jatah. Tapi demi si debay, dia bisa apa?

"Iya. Aku tahu. Eh.. Leo, hidungmu kenapa? Astaga, kamu mimisan!" Aku cepat-cepat melepaskan pelukannya dan mengambil tissu. "Seka darahnya pakai tissu. Aku telpon dokter Rully."

"Nggak usah, Ren. Ini sudah malam. Aku nggak apa-apa. Kayaknya gara-gara kebanyakan minum air es, aku jadi mimisan. Sebentar lagi juga berhenti mimisannya. Sudah sering kok kayak gini. Tadi kan aku banyak minum soda pakai es."

Leo mencegahku menelpon dokter Rully. Dia bersikeras gak perlu memanggil dokter. Dan meski cemas setengah mati, melihatnya bersikeras seperti itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti maunya. Untungnya tidak lama mimisannya berhenti.

"Kamu yakin gak apa-apa? Gak perlu panggil dokter?"

"Nggak apa-apa, manis. Lihat. Mimisannya juga udah berhenti, buat apalagi panggil dokter? Kamu pikir suamimu ini sedang sekarat? Biasa kok kayak gini, kalau kamu gak percaya. Kamu bisa tanya mama."

Meski Leo terlihat baik-baik saja, malah sempat menertawai kecemasanku. Entah kenapa aku masih was was. Apa benar kebanyakan minum air es bisa bikin mimisan? Kok aku baru dengar? Apa Leo mencoba membodohi aku?

"Sebaiknya kita istirahat. Sudah larut, besok aku harus bangun pagi-pagi. Ada rapat sama staf direksi." Leo mencium keningku. "Sudah, jangan khawatir berlebihan kayak gitu. Aku baik-baik saja. Oke?"

Aku cuma mengangguk. Dan perdebatan berakhir begitu saja. Meski rasa was was dan cemas masih bersarang di hati.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now