Bab 4

70.1K 4.6K 18
                                    

Leo pasti sudah gila! pikirku panik . Kalau tidak kenapa dia tiba-tiba menciumku? Tapi bukan itu intinya, intinya saat ini aku sedang dilecehkan!

Aku bisa merasakan bibir basahnya di atas bibirku, tangannya yang mencengkram pinggangku dan aroma parfum mahalnya.

Lari, Renjani! Kamu sedang dilecehkan! teriakku dalam hati. Dengan sisa kesadaran yang aku punya aku mencoba mendorong tubuhnya menjauh, tapi kenapa cengkeramannya kuat sekali?Gadis setinggi 160 cm seperti aku dengan berat 50 kilo tentu bukan tandingan pria yang tingginya 180 lebih. Apalagi bila pria itu berotot seperti Leo. Dan jalan satu-satunya yang aku punya adalah dengan menggigit lidahnya saat aku merasakan lidahnya mencoba masuk kedalam mulutku.

Leo melepaskan cengkramannya saat aku berhasil menggigit lidahnya dan langsung kulayangkan tamparan ke wajahnya.

"Selain bisa menggigit kamu juga bisa memukul orang ya." Leo menatapku sinis.

"Bapak jangan keterlaluan, ya! Ini namanya pelecehan! Saya bisa lapor polisi karena perbuatan bapak!" seruku marah. Apa yang ada di otaknya saat dia melakukan perbuatan tidak menyenangkan itu padaku? Apa sebagai pelampiasan kemarahannya 8 tahun lalu?Kebenciannya? Rasa frustasinya?
Ya, mungkin itu semua. Tapi kenapa harus seperti itu? Apa melecehkanku dapat memuaskan rasa bencinya padaku?

"Oh, ya? Kamu ada bukti? Ada saksi kalau saya sudah melecehkan kamu?" Satu alis Leo terangkat, sikapnya arogan, sangat menantang dan tak kenal takut. Seakan menantangku untuk membuktikan ancamanku padanya, atas perbuatan yang ia lakukan padaku.

Sialan, Leo! Makiku dalam hati. Dia tahu ucapannya benar. Kasus pelecehan yang sering dilakukan atasan pada bawahannya memang sering terjadi. Dan banyak kasus-kasus yang tidak dilaporkan karena kurangnya bukti atau saksi. Malah terkadang sang pelapor justru yang berbalik menjadi tersangka, dianggap mencemarkan nama baik atau stigma negatif pada perempuan yang menjadi korban pelecehan, sebagai wanita genit atau berpakaian terlalu seksi. Anehnya yang memberikan stigma itu justru kaum perempuan sendiri.

"Saya memang gak punya bukti atau saksi! Tapi jangan bapak pikir saya tidak takut melapor!"

"Silakan kalau kamu mau lapor. Kita bakal lihat, siapa yang lebih dipercaya, atasan loyal dengan kontribusi besar seperti saya, atau bawahan rendahan kayak kamu!"

Aku menahan amarah di dada. Sabar Renjani, sabar.

"Karena memiliki jabatan tinggi yang bikin bapak semena-mena sama saya? Apa sebenarnya yang bapak inginkan?" Entah kemana hilangnya rasa takutku. Mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan seperti ini, sebagai seorang perempuan aku merasa harga diriku tercoreng. Persetan jika dia atasanku, persetan jika dia seorang Presdir. Yang pasti aku harus menjaga harga diriku sebagai seorang perempuan.

"Kamu tanya apa yang saya inginkan? Bagaimana kalau saya bilang, saya mau tubuh kamu?"

"Bajingan!" Aku menggertakan gigi.

"Saya memang bajingan. Tapi saya rasa itu harga yang setimpal buat perbuatan kamu 8 tahun lalu sama saya."

Aku tertegun. Apa yang ia maksudkan dengan perbuatanku 8 tahun lalu? Soal perjodohan itu?
Jadi dia memang menganggapku sebagai duri dalam kehidupannya.

"Maksudmu... soal perjodohan itu?"

"Apalagi?" Ia balik bertanya dengan nada sinis dan dingin. "Jangan lupa Renjani, kamu yang bikin saya pergi dari rumah, kamu yang bikin orangtua saya lebih rela kehilangan anak kandungnya daripada anak pungut! Kamu yang bikin saya terbuang, kamu juga yang bikin saya kehilangan wanita yang saya cintai! Semua gara-gara kamu dan perjodohan konyol itu!"

"Kamu pikir... itu semua karena aku?" Tanpa sadar dua tetes airmata mengalir di mataku.

"Ya. Itu semua salah kamu. Salah kamu yang harus datang di rumah kami. Salah kamu karena gak menolak perjodohan itu!"

"Kamu pikir aku gak nolak perjodohan itu? Kamu pikir aku gak berusaha buat kamu dan Safira tetap bersama? Asal kamu tahu, Leo. Aku juga menolak perjodohan itu. Aku juga gak mau nikah sama lelaki yang gak mencintaiku aku! Yang jelas-jelas mencintai wanita lain. Aku gak segila itu buat menghancurkan hidup aku sendiri."

"Kenapa aku harus percaya omongan kamu? Kalo kamu menolak, orangtua ku gak akan tetap memaksakan perjodohan itu!"

"Mana aku tahu? Terserah kamu percaya atau nggak, tapi aku memang menolak perjodohan itu."

"Kamu ngomong kayak gini agar aku mengampuni kamu?" Tatapan Leo seperti pemburu yang bertemu mangsanya. Membuatku mau tidak mau bergidik. Dia terlihat sangat mengerikan. "Asal kamu tahu, Renjani. Ini cuma awalnya, aku pastiin sama kamu, kalau mulai saat ini hidup kamu gak akan tenang. Sebaiknya kamu mulai berdoa agar kamu gak pernah bertemu denganku."

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now