Bab 32

52.7K 3.3K 20
                                    

Aku duduk di kursi yang terletak di depan kamar vip tempat Tante Inan dirawat. Kamar vip ini berbentuk paviliun, terpisah dari bangsal-bangsal lainnya. Kursi ruang tunggunya pun empuk. Aku sengaja duduk di luar karena ada Leo yang sedang menemani Tante Inan di kamar. Tiara pulang dulu ke rumah untuk mengambil pakaian salin. Rencananya ia dan Leo akan saling bergantian menjaga Tante Inan.

Tadinya aku juga menawarkan diri untuk menjaga Tante Inan, tapi segera ditolak Leo dan Tante Inan sendiri dengan alasan Della. Kasihan kalau Della ditinggal lama-lama olehku. Apalagi dititipkan pada tetangga, meski Bu Wulan sudah kuanggap seperti keluarga sendiri.

Tapi baik Leo maupun Tante Inan merasa lebih baik kalau Della bersama ibu kandungnya dan tidak ditinggal terlalu lama. Apalagi aku juga baru kembali dari Semarang.

Aku menyeruput avocado kopi yang tadi diberikan Tiara. Karena saat di Bandara Semarang tadi rombongan kami sudah sarapan, jadi aku tidak terlalu lapar. Tapi secangkir avocado kopi cukup enak di lidah. Meski aku bukan pecinta kopi.

Aku menoleh saat merasakan ada gerakan di samping kursiku. Ternyata Leo yang muncul dan langsung duduk di kursi di sebelahku, yang hanya di pisahkan meja kecil.

"Mama tidur," katanya saat melihat mataku yang menatapnya, seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan. "Dokter bilang lusa mama sudah boleh pulang. Dan kita akan mengurus surat-surat pernikahan ke KUA."

Aku tertegun. Sepertinya Leo sama sekali tidak peduli dengan penolakanku yang berkali-kali, kalau aku belum memberikan persetujuan untuk menikah dengannya. Dan sekarang secara sepihak, ia memutuskan untuk mengurus berkas pernikahan kami.

"Kamu mau tema pesta pernikahan seperti apa? Modern atau tradisional? Tapi karena mama asli Jogya dan kamu juga masih keturunan Jawa, aku rasa adat Jogya lebih bagus. Akan ada acara injak telur dan juga cucuk lampah. Aku tahu EO yang bagus untuk menangani acara pernikahan adat Jawa dalam pernikahan kita nanti."

"Leo." Potongku cepat, tidak tahan dengan semua ucapan omong kosongnya barusan. "Kamu mengatakan semua itu tanpa bertanya apa aku setuju atau nggak?"

"Jadi kamu gk suka dengan adat Jawa? Mau tema pernikahan modern dengan jas dan gaun?"

"Adat Jawa lebih bagus... tunggu, maksudku.. siapa yang mau nikah sama kamu?"

"Ya kamu. Siapa lagi?"

"Kapan aku bilang setuju?"

"Kalau nunggu kamu bilang setuju, itu sama aja nunggu hujan uang turun dari langit."

Hah? Perumpamaan macam apa itu?

"Jadi tanpa persetujuanku, kamu putuskan begitu saja? Mengurus berkas pernikahan, menyewa EO dan merencanakan semuanya?"

"Yup! Aku bahkan sudah pesan cincin kawin."

Aku cengo. Apa Leo sudah gila?

"Leo itu pria berakal sehat, Ren. Dia lebih baik menikahi wanita yang melahirkan anak kandungnya daripada menikahi wanita yang telah melahirkan anak dengan laki-laki lain."

Tiba-tiba saja ucapan Tante Inan terngiang di telingaku. Apa itu artinya karena status Safira yang telah menjanda yang membuat Leo urung menikahi Safira?Apalagi Safira yang juga telah memiliki anak?

Dan jika saat ini status Safira single, apakah Leo akan tetap memaksa menikah denganku?

Aku tersenyum pahit. Jawabannya jelas. Jika memang karena status Safira, tidak mungkin Leo ingin menikah denganku bila Safira masih single. Meski ada kehadiran seorang anak diantara kami. Karena di hati Leo, hanya Safira satu-satunya wanita yang ia cintai. Itu juga alasan ia menolak perjodohan kami delapan tahun yang lalu.

"Batalkan."

Leo menatapku bingung.

"Batalkan, Leo." Desisku. "Batalkan semua apapun yang kamu rencanakan saat ini."

"Nggak bisa." Leo menatapku tajam. "Kita tetap akan nikah. Dengan atau tanpa persetujuan kamu!"

"Kamu sinting," seruku tertahan, takut bila teriakan kerasku didengar Tante Inan. Meski kami di luar dan pintu ditutup, tapi aku tidak tahu apa Tante Inan bisa mendengar atau tidak bila aku berbicara terlalu keras. "Aku belum bilang setuju dan kamu sudah merencanakan semuanya. Kamu anggap apa aku ini?"

"Ren.." Leo tiba-tiba mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. "Percaya sama aku. Aku akan bikin kamu bahagia. Aku akan membuat pernikahan yang bahagia dan menjadi suami yang baik buat kamu. Please.. Ren, jangan keras kepala lagi, oke?"

"Yang keras kepala itu kamu atau aku? Dari awal kamu yang selalu memaksakan kehendak kamu kan? Kamu sama sekali gak peduli dengan apa yang aku mau. Dan siapa yang dulu nolak perjodohan diantara kita delapan tahun lalu? Siapa orangnya yang pergi dari rumah? Itu kamu, Leo. Kamu!"

"Ren, please.. itu semua memang salahku. Aku ngaku salah, aku bodoh saat itu. Tolong.. ijinkan aku buat memperbaiki segalanya. Semua kesalahan yang aku lakukan sama kamu."

"Kamu.. jujur sama aku, untuk apa kamu melakukan semua ini?Jangan bilang ini karena Della atau tiba-tiba saja kamu mendapatkan pencerahan. Kalau kamu ingin menebus kesalahan, gak perlu harus menikahi aku kan?"

"Kalau aku bilang karena aku jatuh cinta sama kamu, kamu pasti gak akan percaya kan?"

Aku memutar mata dan menarik tanganku dari genggamannya tapi tangannya kuat sekali. Ia tidak melepaskan genggamannya di tanganku. Sial!

"Jangan main-main." Kataku sebal.

"Oke, Ren... aku gak perlu alasan buat nikah sama kamu. Tapi kamu pikirkan lagi, nikah sama aku gak akan seburuk yang kamu pikirkan. Dan dengan ini kita berdua bisa mewujudkan bakti kita sama orang tua. Kamu sudah menganggap mama seperti ibumu sendiri kan? Jadi apa salahnya bila kita membahagiakan beliau di usianya sekarang ini? Mama sudah tua Ren, satu-satunya kebahagiaan mama dan keinginannya sejak dulu adalah melihat kita berdua menikah. Jadi kamu mau kan mewujudkan itu?"

Aku merasa ada yang salah dengan otak Leo, sejak kapan alasan berbakti pada orang tua ia gunakan? Apa ia serius aku bakal percaya?

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now