Bab 13

59.2K 3.8K 5
                                    

Aku turun dari mobil. Setelah terjebak kemacetan dan percakapan menyebalkan dengan
Leo, akhirnya aku tiba di rumah.

"Kenapa rumahmu gelap?" tanya Leo yang ternyata ikut turun dari mobil. Aku sempat bingung kenapa dia jadi ikut turun? Buat apa dia turun dari mobil?

"Di mana Della?"

"Di rumah Bu Wulan."

"Bu Wulan?"

"Tetangga yang aku titipkan Della kalau aku kerja. Sebentar aku telpon du.."

"Kamu nitipin anak kita sama tetangga?"

"Hah?" Aku bingung mendengar nada marah di suara Leo. Dan apa tadi dia bilang? Anak kita?

"Iya. Kenapa?"

"Kamu tanya kenapa? Tetangga, kamu nitipin anak kita sama tetangga, Renjani. Harusnya kamu bisa gaji ART atau Nanny buat jaga Della. Bukan nitip sama tetangga."

"Dengar ya tuan Leo Dewangga. Aku bukan nitipin Della begitu aja sama tetangga, aku kasih beliau gaji. Tapi bedanya Della dititip ke rumahnya karena Bu Wulan gak ada siapa-siapa di rumahnya. Bu Wulan hidup sendiri, anak-anaknya kuliah di luar kota. Jadi dari pada dia kesepian dia bersedia bantu aku jaga Della selama aku kerja. Dia juga udah nganggap Della seperti cucunya sendiri."

"Dan jangan bilang Della anak kita, Della anakku. Jangan lupa itu."

"Terus kenapa kamu gak gaji Nanny aja buat jagain Della?" Leo sama sekali tidak menggubris protesku. "Seorang Nanny profesional yang bisa jaga Della dari pada tetangga kamu itu."

"Kamu tahu berapa gaji seorang Nanny profesional, Leo? Bisa dua jutaan lebih, belum lagi seorang nanny itu harus stay di rumah aku. Itu artinya akan ada pengeluaran extra untuk makan dan toiletries. Gajiku belum cukup untuk itu."

"Gaji kamu besar."

"Ya, tapi aku masih punya cicilan Bank untuk bayar rumah." Lelah sekali rasanya harus menjelaskan hal ini pada Leo. Kenapa dia begitu bebal? "Dan kamu lihat, rumahku cuma punya dua kamar. Dimana nanti nanny tidur? Di dapur?"

Leo diam saja tidak lagi membantah perkataanku. Setelah mengambil kunci mobil dari Pak Sapto, aku segera masuk ke dalam rumah dan menyalakan semua lampu. Tapi yang mengejutkan lagi-lagi Leo ikut masuk ke dalam rumah.

"Kamu ngapain?" tanyaku heran. "Kamu gak pulang?"

"Kenapa? Gak suka aku di sini?"

"Bukan begitu, tapi.."

Leo tiba-tiba menarik tanganku hingga tubuhku membentur dadanya.

"Aku belum puas nyium kamu. Della gak ada kan?" bisiknya serak. Tangannya mengelus bibirku. "Sexy... bibir yang sexy.."

"Jangan.." Aku memalingkan wajahku. "Jangan Leo.."

"Kenapa? Kita kan cuma ciuman, kita bahkan pernah melakukan yang lebih dari ini delapan tahun yang lalu kan? Meski aku gak ingat gimana rasanya, tapi aku gak keberatan buat ngulangin lagi apa yang udah kita lakukan delapan tahun lalu.."

"Tapi aku keberatan."

"Kenapa? Ayolah, Ren. Kita berdua sama-sama dewasa, kita berdua sama-sama punya kebutuhan. Ini bukan pertama kalinya kamu ngelakuin ini kan?Selama delapan tahun ini pasti banyak pengalaman kamu dengan laki-laki lain kan?"

Aku membeku mendengar kata-katanya. Dan sepertinya Leo menyadari tubuhku yang menegang kaku.

"Kamu..." Dia terbelalak. "Jangan bilang kalau..."

"Ya." Kataku cepat sambil mendorong tubuhnya menjauh. Kali ini dia tidak melawan doronganku atau mencoba menahan tubuhku. Membenarkan apa yang dia akan ucapkan.

Aku balas tatapannya dengan tegas. Dia terlihat agak syok.

"Jadi... selama delapan tahun ini... aku... cuma aku satu-satunya yang tidur sama kamu?"

"Apa kau pikir aku sama kayak kamu? Yang bisa tidur dengan sembarang orang yang kamu temui?"

"Aku tidak pernah tidur dengan sembarang perempuan yang ku temui , Ren. Lagi pula kami melakukan itu atas dasar suka sama suka. Tanpa paksaan. Dan aku selalu cek kesehatan hingga aku tahu kalau sampai detik ini aku bersih. Tidak ada penyakit."

"Mengesankan sekali ya?" ejekku sinis.

"Tsk, aku juga selalu pakai kondom bila berhubungan intim dengan perempuan mana saja. Itu sebabnya aku kaget saat kamu ngasih tahu aku kalau Della anakku."

"Kebetulan sekali ya?" Aku masih mengeluarkan nada sinis mengejek.

"Renjani." Leo nampak kesal mendengar nada sinis dan mengejekku. Dia menatapku tajam. "Berhenti menatap jijik padaku."

"Kamu sadar ternyata. Ya, aku memang jijik sama kamu, aku jijik dicium kamu yang entah sudah berapa puluh wanita kamu cium dengan bibir kamu itu, aku jijik kamu peluk dengan tangan yang juga kamu pakai untuk meluk wanita lain. Aku bahkan jijik dengan wangi parfum kamu yang juga nempel di tubuh perempuan lain."

Tidak, aku tidak jijik. Yang sebenarnya adalah aku marah. Marah karena ternyata bukan aku satu-satunya wanita yang dia peluk, yang dia cium. Marah ternyata ada begitu banyak wanita dalam hidupnya, tapi cuma dia satu-satunya lelaki dalam hidupku. Marah karena ternyata selama delapan tahun ini aku hanya hidup dengan harapan palsu. Harapan bila suatu hari nanti Leo akan kembali dan jatuh cinta padaku.

Tapi itu cuma harapan yang semu. Leo memang kembali, tapi bukan untukku. Dia juga tidak jatuh cinta padaku. Alangkah pahitnya kenyataan, pikirku getir.
Bagaimana bisa dia bersenang-senang dengan banyak wanita selama ini, tapi aku malah terus berharap padanya?

Aku memang bodoh, aku perempuan naif yang bodoh. Awalnya ini cuma sebuah perjodohan, lalu kenapa aku harus jatuh cinta padanya?Kenapa aku harus memilih jalan yang justru menghancurkan hatiku sendiri? Terlalu berharap yang akhirnya dihancurkan dengan kenyataan pahit.

Leo tidak akan pernah mencintaiku. Tidak akan pernah!

"Mama!" Tiba-tiba saja teriakan Della membangkitkanku dari kesadaranku sendiri. Bocah perempuan itu berdiri di ambang pintu rumah. Menatapku dan Leo dengan mimik bingung.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now