Bab 2

76.6K 4.7K 12
                                    

Aku menatap layar komputer di depanku dengan tatapan kosong, baru 10 menit yang lalu kami selesai makan siang dan sekarang kembali disibukan dengan pekerjaan.

Tapi pikiranku tidak ke pekerjaan, melainkan melayang pada ingatan di kantin tadi. Delapan tahun, delapan tahun kami berpisah. Bukan waktu yang singkat tapi seakan baru kemarin kejadian itu terpampang di depanku.

Malam yang gelap, hujan yang deras dan petir yang menggelegar. Masih jelas diingatanku, malam itu hujan turun dengan derasnya seperti ditumpahkan dari langit, suara petir dan kilat sesekali terdengar. Tapi ada badai yang lebih besar di dalam rumah.

Aku meringkuk di bawah tangga, di sampingku ada Tiara. Gadis remaja berusia 17 tahun yang dua tahun lebih muda dariku. Ia memelukku erat, melihat wajahku yang pucat dan tubuhku yang gemetaran melihat pertengkaran antara Leo dan kedua orang tuanya.

"Aku gak mau dijodohin sama Renjani, mah. Aku udah punya Safira! Aku cinta sama dia! Aku gak mungkin nikah sama Renjani!
Aku gak ada perasaan apa-apa sama dia!"

"Leo, anak mamah. Dengarkan kami nak. Kami banyak hutang budi sama orang tua Renjani. Hutang budi yang gak akan bisa kami balas. Kamu tahu kan Renjani itu yatim piatu. Dia udah lama tinggal sama kita, sudah gak punya siapa-siapa lagi. Sekarang kalian berdua sudah dewasa, kami ingin kalian menikah. Tidak langsung menikah, tunangan saja dulu. Setelah Renjani selesai kuliah, baru kalian menikah. Mau ya nak?"

"Nggak mah, aku gak bisa. Aku gak bisa ninggalin Safira."

"Leo! Gak peduli kamu mau apa gak. Pokoknya kamu harus nikah sama Renjani!" itu suara om Raharjo. Tegas, dingin dan berwibawa.

"Nggak! Aku bilang nggak, nggak!Papah sama Mamah gak bisa maksa aku. Kalau kalian berhutang budi, kenapa harus ngorbanin hidup aku? masa depan aku??"

"Ini semua demi kebaikan kamu!Apa kurangnya Renjani hah? Dia cantik, baik, dia bakal jadi istri yang sempurna buat kamu!" Om Raharjo mulai emosi, aku bisa mendengar dari nada suaranya.

"Tapi aku gak cinta sama dia!Kalau kalian tetap memaksa, aku bakal pergi dari rumah ini!"

"Lancang!"

Plak

Aku melihat om Raharjo melayangkan pukulannya ke wajah Leo. Lalu suara tangis tante Inan terdengar.

Entah apalagi yang terjadi, tapi malam itu, malam dingin dan gelap itu, Leo membuktikan ucapannya. Dia pergi dari rumah, tanpa membawa apa-apa, tubuh jangkungnya tertelan gelapnya malam dan derasnya hujan.

Tante Inan menangis, aku juga menangis dipelukan Tiara. Kenapa? pikirku pilu. Kenapa keluarga yang begitu bahagia dan hangat ini harus hancur gara-gara aku? Kenapa mereka harus kehilangan anak laki-laki kebanggaan mereka karena aku?

Tidak, aku juga tidak ingin dijodohkan dengan Leo. Kami sudah kenal dari kecil, aku juga sudah menganggap dia sebagai kakakku sendiri. Aku tidak ingin menghancurkan keluarga ini karena perjodohan ini. Leo, dia hanya ingin mempertahankan gadis yang dicintainya.

Kalau sekarang dia membenciku itu wajarkan? Aku penyebab dia pergi dari rumah. Aku penyebab dia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya, adik tersayangnya dan rumah yang hangat tempat ia dibesarkan.

Mengingat tatapan benci yang tadi ia layangkan di kantin padaku, itu memang wajar. Aku pantas dibenci. Karena aku yang menyebabkan penderitaannya selama delapan tahun ini. Dan bila ia bisa melayangkan tatapan benci padaku, itu artinya dia masih ingat aku kan?

Aku tertawa miris dalam hati. Tentu saja dia ingat, siapa orang yang bisa lupa dengan orang yang kita benci? Meski dia tidak pernah menyapaku, tapi aku yakin ia masih mengingat aku.

Delapan tahun... gumanku sedih.
Tak menyangka kami akan bertemu lagi. Saat dua hari yang lalu ada pemberitahuan tentang Presdir yang baru, yang ditarik dari kantor cabang, aku tak menyangka bila orang itu adalah Leo. Leo Dewangga.

Dia menjadi atasanku sekarang, melihat pencapaiannya saat ini sungguh luar biasa. Leo memang selalu menakjubkan, dia pintar luar biasa. Bahkan waktu kuliah arsitektur dia dapat beasiswa. IPK nya tidak pernah kurang dari 3,8.

Dari grup email perusahaan mengenai profilnya yang kubaca dan juga bisa dibaca semua karyawan, ternyata dia lulusan S2 Harvard university. Dan yang kudengar lagi, dia masuk Hardvard dengan jalur beasiswa.
Ah, dia memang luar biasa.

"Ren, tolong antar dokumen ini ke ruang pak Presdir dong. Beliau butuh ini cepat." Lamunanku terputus oleh suara Bu Elvina. Manager humas yang merupakan atasanku langsung dari divisi humas tempatku bernaung. Menaruh file dokumen di atas mejaku.

"Saya bu?" tanyaku heran. Seingatku Bu Elvina tidak pernah menyuruhku mengantar dokumen sendiri ke kantor Presdir, biasanya dia sendiri yang mengantar sebagai pertanggung jawabannya sebagai manager humas.

"Iya. Sudah cepetan sana. Sudah ditungguin dokumennya."

"Oh iya, bu." Aku meraih dokumen yang beliau berikan. Lalu melangkah keluar. Dari dua puluh lantai yang ada di gedung ini, kantor presdir ada di lantai paling atas. Selama empat tahun kerja di Swara, salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia, baru satu kali aku ke ruangan Presdir. Ini untuk kedua kalinya aku ke ruangan
Presdir. Aku agak gugup juga. Apalagi yang mau aku temui Leo. Orang yang paling membenciku di dunia ini.

Di lift aku bertemu Andri dari bagian keuangan. Divisi keuangan memang satu lantai di bawah divisi humas.

"Ei, Ren. Mau kemana?" tanyanya basa basi. Kami memang saling kenal, karena sering ketemu kalau ada acara-acara kantor.

"Ke ruangan pak Presdir, antar dokumen."

"Oh, sama dong. Aku juga mau keruangan beliau. Antar dokumen juga," katanya. "Eh, liat gak kehebohan di kantin tadi?Cewek-cewek histeris liat Presdir yang baru makan siang di kantin.
Kejadian langka, banyak yang foto diam-diam."

"Udah kayak seleb aja," komentarku.

"He-eh, Pak Presdir ganteng sih. Makin nambah aja saingan."

"Tenang aja, kalo jodoh mah gak lari kemana," kataku memberi semangat. "Gak semua cewek di kantor kita silau sama wajah ganteng dan jabatan mentereng.
Kesempatan kamu masih terbuka lebar, ndri."

"Emang ada jaman sekarang ada cewek yang gak silau sama wajah ganteng dan jabatan mentereng, Ren? Apalagi di kantor kita. Ayo sebutin kalo ada."

"Ya aku gak bisa nyebutin karena gak tahu. Tapi pasti adalah." Aku gak berani bilang kalau cewek itu aku. Bukannya kepengin ditaksir Andri, aku malah gak kepengin ditaksir dia. Lagi pula mana berani aku silau sama wajah ganteng dan jabatan mentereng pak Presdir? Ada juga aku penginnya kabur jauh-jauh dari dia, gak sanggup kalau harus berhadapan dengan aura kebenciannya padaku.

Obrolan kami terputus saat sudah tiba di lantai 20, tempat ruangan pak Presdir. Satu lantai ini memang cuma khusus untuk pak Presdir. Selain kantornya, aku juga lihat ada tempat gym pribadi dan ruang pertemuan yang khusus untuk para eksekutif kantor. Kalau ruang meeting staf antar divisi ada di lantai 5.

Bahkan karpet lantainya aja beda, pikirku saat keluar dari lift bersama Andri. Karpet tebal berbulu yang selalu dibersihkan setiap hari. Tiba-tiba saja aku merasa gugup setengah mati.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now