Bab 53

41.5K 1.9K 36
                                    

Karena usaha agrobisnis Leo makin besar dan maju, ia jadi sering bolak balik Jakarta- Cisarua. Sekarang kemana-mana ia di antar Pak Amir. Semenjak tidak bekerja lagi di perusahaan, Pak Sapto tidak lagi menjadi supir Leo. Sebab Pak Sapto itu merupakan fasilitas yang diberikan perusahaan. Ia sudah ditarik kembali ke perusahaan dan melayani Presdir yang baru.

Aku juga ikut membantu Leo menangani pembukuan perusahaan miliknya. Akhirnya berguna juga ilmu yang  kupelajari di bangku kuliah dulu. Aku memang anak akuntansi yang nyasar kebagian humas. Meski sama Leo dilarang terlalu forsir, karena prioritasku mengurus Della dan Cello.

Saking sibuknya Leo, terkadang sampai lupa makan. Kalau begitu aku yang suka ngomel-ngomel. Tapi terkadang Leo suka bandel, hingga aku gemas sendiri.

Seperti hari ini ia berangkat ke Cisarua karena ada panen cabai. Dan mesti mengawasi pengiriman cabai ke perusahaan besar. Ia pulang sudah hampir jam sembilan malam, kehujanan dan belum makan dari siang!

Esok harinya dia demam, batuk dan pilek. Aku memaksa Leo tetap berbaring di kasur. Berusaha membujuk dengan lembut agar ia mau ke dokter.

"Cuma batuk pilek, Ren. Minum obat juga sembuh." Sebagai gantinya ia malah minta obat warung. Aku mengalah, tidak ingin berdebat dengan Leo yang minta ampun keras kepalanya. Tapi dengan perjanjian, kalau dua hari belum sembuh juga. Ia harus ke rumah sakit.

Tapi belum dua hari, mimisan Leo kambuh lagi. Aku yang panik, tidak mau lagi mengalah. Segera membawa Leo ke rumah sakit. Kali ini, Leo tidak bisa lagi membantah.

Ia yang mengetahui kecemasanku, kali ini menurut saja. Kami kembali bertemu dokter Said.

Melihat raut wajah dokter, aku tahu pemeriksaan kesehatan Leo tidak baik-baik saja. Akhirnya bom waktu itu muncul juga. Pemeriksaan lab darahnya tidak memuaskan. Bahkan fatal! Sel-sel darah sudah berkurang dengan sangat mencolok.

Jumlah leukosit dan LED meningkat. Sementara jumlah trombosit menurun. Penyakit Leo lebih parah dari yang pertama.

Meski aku sudah mempersiapkan diriku sejak lama, agar tegar saat mendengar berita buruk tentang penyakit Leo. Tapi tak urung aku tetap syok mendengarnya. Seakan semua harapan yang aku gantungkan selama ini, menguap entah kemana.

Manusia memang bisa mati setiap saat, aku sadar itu. Tapi jika melihat keadaan Leo selama beberapa tahun ini, bolehkah aku berharap bila penyakit Leo benar-benar akan menghilang? Dan tidak akan pernah muncul lagi.

Tapi kabar itu mematahkan harapanku. Sesak rasanya melihat orang yang kita cintai, lambat-lambat dibawa pergi dari samping kita. Melihat orang yang kita cintai menderita sendirian. Oh, andaikan aku bisa tawar menawar dengan Tuhan. Aku rela menderita demi menggantikan Leo menanggung semua sakitnya.

Biarlah aku yang sakit. Biarlah aku yang menjalani semua pengobatan itu.

Aku mengawasi profil Leo yang sedang berbaring di ranjang. Semakin hari ia semakin kurus saja. Kini semua pekerjaan dihandle orang kepercayaannya. Ia tidak bisa lagi mengawasi perkebunannya. Bahkan Ismail, terpaksa resign dari pekerjaannya untuk membantu mengelola usaha Leo. Berdua dengan Tiara, mereka saling bahu membahu.

Leo harus dirawat di rumah sakit dan menjalani kemoterapi. Wajahnya begitu pucat dan tubuhnya semakin kurus. Kemana perginya semua vitalitas yang ia miliki? Keceriaannya? Wajah berserinya?

Leo, aku cinta padamu. Berapa lama lagi waktu yang kita miliki untuk bersama? Sehari? Sebulan? Setahun?

Leo, tahukah kau, dokter sudah menjatuhkan vonis padamu? Bahwa hidupmu sudah dihitung-hitung olehNya! Adakah hari tua bagi kami berdua? Adakah hari di mana Leo akan dapat menyaksikan pernikahan kedua anak kami? Sampai mereka memberi kami cucu yang manis-manis.

Kalau saja aku bisa memohon keajaiban untuk Leo. Tuhan, tolonglah. Biarkan Leo sembuh. Ijinkan kami tetap bersama sampai nanti kami tua.

Airmataku mengalir tanpa dapat kucegah. Seharusnya aku tidak boleh menangis di depan Leo. Bagaimana jika ia bangun dan melihat mataku yang basah? Ia pasti akan sangat sedih sekali. Sedangkan dokter bilang, aku harus tetap tegar. Tetap gembira. Agar Leo tidak depresi. Tidak tertekan karena penyakitnya.

Cobalah untuk membuatnya bahagia. Leo, Leo, bagaimana aku bisa tetap tersenyum di depanmu? Padahal aku tahu, kau sedang menanggung rasa sakitmu seorang diri. Tak lama lagi kita akan berpisah. Untuk selamanya. Kita tidak akan pernah bertemu lagi di dunia ini.

Jika saat itu tiba, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku bisa menanggung perpisahan denganmu?

Aku berusaha mengejap-ngejapkan mataku, mencegah airmata semakin deras mengalir. Diam-diam kuseka air mata dengan punggung tanganku...



SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now