Bab 43

46.5K 2.6K 34
                                    

Aku baru berenang satu putaran, saat mendengar seseorang terjun ke dalam kolam renang. Menimbulkan riak. Lalu aku merasakan pelukan di pinggangku, Leo berenang membawaku ke pinggir kolam renang.

"Pagi-pagi begini, kamu sengaja mau ngegodain aku ya?" Leo melirik bikini yang aku pakai. Tangannya masih memeluk pinggangku. "Seksi banget."

"Pagi-pagi udah ngegombal. Seksi dari mananya? Kalau kamu lupa, aku ini udah pernah ngelahirin anak satu. Kata orang, perempuan yang udah pernah melahirkan itu, badannya berubah. Banyak yang kendor."

"Tapi buktinya kamu nggak. Dadamu masih kencang, bokongmu seksi dan rasanya.. masih rapet.. kayak perawan..." Bibir Leo menempel di telingaku. Panas dan basah. Aku mendorongnya menjauh, tidak tahan dengan godaan seduktifnya.

Ia tertawa terbahak. Tapi saat aku mau berenang menjauh, dia malah menangkap pinggangku. Memelukku erat.

"Aku gak lagi ngegombal, aku ngomong kenyataan, Ren." Lalu bibirnya menciumku. Panas, basah dan liar. Ia menatapku setelah melepas ciuman kami. "Apa kamu bahagia?"

Aku menatapnya.

"Kamu bahagia menikah denganku kan, Ren? Aku udah bikin kamu bahagia dengan pernikahan kita kan?"

Hal yang paling ingin aku dengar dari mulutnya adalah ucapan 'aku mencintaimu'. Tapi Leo tidak akan pernah mengatakan hal itu. Hanya pertanyaan yang selalu ditanyakannya berulang 'Apa kamu bahagia?'

Seakan ia takut bila aku merasakan ketidak bahagiaan bersamanya. Haruskah ia selalu menanyakan hal itu? Padahal dengan ucapan aku mencintaimu, itu saja. Sudah membuatku bahagia.

Tidak tahukah dia, ucapan itu yang selalu kutunggu bahkan dalam hitungan milenia. Tapi ia tidak pernah mengatakannya.

Apakah aku bahagia? Ya, tentu saja aku bahagia. Aku memiliki pernikahan yang diimpikan semua wanita. Suami yang tampan dan kaya. Rumah besar dan kendaraan pribadi. Tidak kekurangan ekonomi. Dan memiliki anak yang cantik dan sehat.

Aku bisa membeli skincare merk terkenal, barang-barang bermerek. Bisa makan di restoran mana saja yang aku inginkan. Dan aku bahkan tidak perlu melihat harga barang bila pergi berbelanja ke mall. Aku juga bisa menikmati perawatan salon kecantikan nomor satu, tanpa takut tagihan yang membengkak. Bahkan aku bisa berlibur kemana saja yang aku inginkan. Semua itu karena aku menjadi nyonya Leo Dewangga. Apalagi yang kurang?

Sebagai suami, Leo juga begitu penuh perhatian dan penyayang. Ia suami yang baik dan luar biasa.

Ironis memang, pernikahan yang kami bangun tanpa cinta, hanya bermodal janji setia dan akan membuat pernikahan yang bahagia. Nyatanya kami memiliki kehidupan pernikahan yang harmonis. Bukan hanya masalah urusan ranjang, tapi juga di luar itu.

Leo begitu bersungguh-sungguh menjalani pernikahannya. Tapi kata yang ingin kudengar tak pernah terucap. Mungkin itu memang tidak penting, pikirku sambil menatapnya yang masih menunggu jawabanku.

Keputusan Leo untuk bersamaku, bukankah itu yang terbaik yang aku inginkan? Aku tidak boleh serakah, perhatian Leo dan kasih sayangnya sudah lebih dari cukup. Daripada kata-kata cinta yang ingin kudengar.

"Tentu aku bahagia. Kenapa aku tidak bahagia menikah denganmu?" ucapku tulus. Berusaha menekan perasaan yang meluap. Aku akan lebih bahagia, bila kaupun mencintaiku. Seperti aku mencintaimu.

Leo mengajakku sarapan di luar. Sekalian jalan-jalan, katanya. Padahal di kulkas penuh bahan makanan. Yang diisi penjaga villa kami. Aku bisa memasak sendiri. Tapi Leo bersikeras membeli sarapan di luar. Aku menurut saja.

Habis sarapan ia membawaku keperkebunan teh di daerah itu. Mengajakku turun dari mobil. Ia bersandar di pintu mobil, aku ikut bersandar di sampingnya.

"Ini milikku, Ren."

Aku menoleh mendengar ucapannya. Ia menunjuk dengan dagunya.

"Perkebunan teh ini milikku."

"Sejak kapan kamu bercita-cita jadi petani teh?"

"Perkebunan teh ini kubeli tiga bulan yang lalu. Investasi bareng teman." Leo menjelaskan. Tidak menanggapi candaanku. "Juga perkebunan sayur dan buah seluas 5000 hektar di Cisarua. Ini salah satu investasi masa depanku."

Aku tertegun.

"Selain ini, aku juga pemegang saham di Swara. Memang tidak besar, hanya lima persen. Aku juga ada hotel dan villa di Bali. Beberapa properti berupa apartemen yang masih disewakan dengan para ekspatriat. Ada deposito dan tabungan emas di Bank. Nominalnya lumayan."

Aku tahu Leo kaya. Tapi tidak menyangka ia memiliki banyak usaha dan berinvestasi dimana-mana. Selama ini, aku memang tidak tahu berapa banyak harta yang Leo miliki. Atau investasi apa saja yang ia punya. Selain karena takut menyinggung, aku pikir itu harta pribadi milik Leo sendiri. Yang ia kumpulkan dari hasil kerja kerasnya selama ini. Aku tidak berhak mengusiknya.

Milik pribadiku sendiri hanya rumah di Depok dan mobil agya,yang enggan kuganti meski Leo menawarkan. Rumah yang kukontrakan pertahun, setelah aku menikah dan pindah ketempat Leo. Motor vario juga masih ada. Yang lebih sering dipakai Pak Amir, karena Leo melarangku naik motor.

Dan sekarang, Leo memberitahuku semuanya. Semua aset dan investasi miliknya.

"Gimana? Suamimu kaya kan?"

"Banget."

"Dan itu bakal jadi milik kamu dan Della, juga anak kita kelak kalau kita memilikinya lagi. Saat aku mati."

Aku tersentak kaget mendengar ucapannya.

"Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Usiamu bahkan belum tiga puluh lima! Tapi sudah bicara soal kematian. "Aku memberengut tidak suka.

"Tapi semua orang kan bakal mati, Ren. Kita gak tahu umur orang kan? Hari ini sehat, besok hari kita gak tahu."

"Tapi gak sekarang. Kita baru setahun nikah, tiba-tiba kamu ngomong kayak gitu. Apa kamu kepengin aku jadi janda?"

"Kalau kamu jadi janda, aku bakal ngijinin kamu kawin lagi. Kamu bisa nikah sama cowok mana saja yang kamu mau. Asal dia sayang dan setia. Sama Aditya juga gak apa-apa." Ucapan Leo makin melantur. "Kamu bakal jadi janda kaya, Ren. Aku yakin bakal banyak yang antri buat jadi suami kamu."

"Gak lucu! Siapa yang mau jadi janda diusia muda? Umurku belum tiga puluh. Kamu udah mau membuat aku jadi janda?" Tanpa sadar suaraku meninggi. "Aku gak suka kamu ngomong kayak gitu, Leo! Kamu gak akan mati, umur kamu bakal panjang dan kita.. kita.. bakal tua bersama."

Kenapa Leo bicara aneh begitu?Apa ia tidak tahu, ini pembicaraan yang paling tidak aku sukai. Tanpa sadar airmataku mengalir. Leo terlihat kaget melihat aku menangis. Lekas-lekas dipeluknya aku.

"Jangan nangis, jangan nangis. Maafkan aku, Ren. Aku cuma bercanda. Maafin aku, ya?"

"Bercanda kamu keterlaluan. Aku gak suka!"

"Ya, ya. Aku salah. Aku gak akan bercanda kayak gitu lagi. Maaf, maaf."

Benarkah Leo cuma bercanda?pikirku yang masih terisak dipelukannya. Kenapa hatiku mendadak gelisah? Kegelisahan yang aku tidak tahu dari mana asalnya...

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now