Bab 23

55.5K 3.8K 30
                                    

Hari ini aku lembur lagi. Dan sialnya, hanya aku satu-satunya yang lembur dari semua orang di divisiku. Aku melirik jam dinding yang ada di ruanganku. Jam tujuh lewat lima belas. Sepertinya aku bakal pulang larut lagi malam ini.

Rencana mau mengambil mobilku di bengkel tertunda lagi. Mungkin baru besok bila aku tidak sibuk lembur.

Lembur?

Sebuah pesan teks masuk. Aditya.

Iya

Balasku cepat.

Aku belikan makan, ya? Pizza mau?

Apa Aditya juga lembur malam ini?

Boleh. Apa saja. Aku gak nolak.

Aku memang agak lapar, karena terakhir makan tadi saat makan siang. Dan karena pekerjaanku masih banyak jadi tidak ada salahnya mengganjal perut dengan makanan.

Oke.

Jawabannya singkat saja. Sambil menunggu kedatangan pizza yang dipesankan Aditya, aku memutuskan ke pantri untuk membuat kopi. Segelas kopi adalah senjataku saat lembur seperti ini.

Dan saat aku kembali ke ruanganku, aku dibuat tertegun karena Leo ada di sana. Duduk disalah satu kursi seakan memang sengaja menungguku. Dia masih mengenakan jas lengkap. Apa dia juga lembur?

"Duduk," katanya sebelum aku sempat bicara apa-apa. Ragu aku duduk di kursiku, karena ia duduk di kursi Hanna jadi kami duduk bersebelahan. Aku meletakkan cangkir kopi di meja.

Tanpa bicara lagi ia meletakkan map coklat di depanku.

"Buka."

"Apa ini?" tanyaku bingung.

"Lihat."

Aku mengambil map itu, mengeluarkan isi di dalamnya. Isinya ternyata akte jual beli, disitu tertulis namaku untuk pembelian satu unit apartemen senilai tiga milyar rupiah! Cash!Dan itu unit apartemen dari superblock grup Swara.

"Apa ini? Kenapa AJB ini atas namaku? Aku gak merasa beli apartemen."

"Rumah kamu terlalu jauh dari kantor. Lingkungan di apartemen ini bagus dengan fasilitas yang mendukung dan dekat dengan sekolah. Ada tiga kamar tidur, kamu bisa mempekerjakan nanny untuk menemani Della kalau kamu pergi kerja."

"Kamu ngasih apartemen ini buat aku?"

"Di situ tertulis namamu. Tentu saja itu milikmu. Kedepannya AJB itu bisa kamu bikin sertifikat."

"Aku gak mau." Aku memasukan kembali AJB itu ke dalam map coklat dan menyerahkannya pada Leo.

"Kenapa?"

"Sudah berapa kali aku bilang?Aku gak mau terima apapun dari kamu. Aku sudah punya rumah sendiri. Buat apa kamu kasih apartemen? Ini namanya pemboroson!"

"Ren. Bisa gak sih kamu gak keras kepala? Aku kasih apartemen ini buat Della. Aku mau dia tinggal di lingkungan yang layak. Ada nanny yang tersedia 24 jam untuk nemani dia, bukan cuma tetangga yang biasa kamu titipin Della kalau kamu kerja. Keamanan di tempat ini jg bagus. Cctv, security 24 jam. Dan gak sembarangan orang bisa masuk. Aku mau anakku dapat jaminan yang layak."

"Leo! Apa selama ini kamu pikir lingkungan tempat tinggal Della itu tidak layak? Bagaimana kamu bisa berpikir kalau apartemen itu jauh lebih layak untuk tempat tinggal seorang anak dari pada rumah tapak?

"Di tempat tinggal kami yang sekarang, Della punya banyak teman. Dia bisa bebas berlarian dan bermain dengan teman sebaya tanpa perlu capek-capek turun naik lift. Tiap bangun tidur begitu buka jendela, yang dia lihat halaman rumah dan udara segar. Bukan tembok tinggi seakan dia hidup di dalam kotak!"

Sumpah, aku tidak bermaksud mengatai orang yang tinggal di apartemen itu tidak bagus. Aku hanya ingin menolak pemberian Leo. Kenapa dia jadi ikut campur dengan kehidupanku dan Della sih?

Pertama ingin memberiku tunjangan bulanan, meski itu memang kewajibannya sebagai ayah Della. Lalu sekarang memberiku apartemen seakan aku dan Della tunawisma yang tinggal di rumah kardus.

Meski rumahku terletak di pinggiran Jakarta, jauh dari kantor. Tapi rumah itu ku beli dari hasil keringatku sendiri, meski masih kredit di Bank.

Tapi di jaman sekarang, yang bahkan banyak orang susah untuk membeli rumah, sudah sepantasnya aku bangga dan bersyukur karena aku yang single parent bisa membeli rumah sendiri. Tidak mengandalkan warisan atau uang orang tua. Murni dari hasil keringatku sendiri.

Dan sekarang, Leo sepertinya meremehkan pencapaianku ini. Bagi dia yang memiliki jabatan tinggi dengan gaji super besar, tentu saja sebuah rumah kecil sederhana di pinggiran Jakarta tidak berarti apa-apa di matanya. Bahkan harga mobilnya saja jauh lebih mahal dari harga rumahku.

"Kalau gitu, kamu pindah ke rumahku."

Aku memandangnya seakan dia orang paling bodoh sedunia. Pindah ke rumahnya? Dia bercanda ya?

"Kamu di suruh pindah ke rumahku gak mau, di kasih apartemen gak mau. Mau kamu apa sih, Ren?" tanya Leo kesal yang sepertinya paham dengan arti dari pandangan mataku yang menghinanya barusan. "Kamu jangan lupa. Della itu juga anakku. Jadi aku juga punya hak untuk mengurusnya!"

"Hak apa? Kamu yang nolak Della sebagai anak kamu. Kamu yang ngotot gak mau ngakuin dia, karena takut karir kamu bakal terancam. Sekarang kamu ngomong soal hak kamu atas Della. Jangan bikin aku tertawa, Leo!"

"Kamu maksa aku tinggal di rumah kamu, ngebeliin apartemen padahal aku gak butuh dan juga gak minta. Sekarang aku yang balik nanya sama kamu, mau kamu apa sih Leo? Aku udah ngejauhin kamu, bersikap sebatas atasan dan bawahan. Tapi kamu yang malah datang ke ruanganku, nyuruh aku menghadap kamu di kantor hanya untuk membicarakan urusan pribadi. Aku benar-benar gak ngerti sama jalan pikiran kamu. Mau kamu apa sebenarnya?"

Leo terdiam mendengar kata-kataku barusan. Hanya matanya menatapku tajam. Dan sinar asing yang tidak aku pahami.

"Aku mau kita bertiga jadi keluarga, Ren."

???

Begitu suara Leo jatuh mendadak terdengar suara kaki tersandung. Kami berdua sontak menoleh ke pintu dan melihat Aditya berdiri di ambang pintu dengan sekotak pizza di tangannya.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now