Bab 37

51.1K 3.1K 9
                                    

"Kuenya, mah." Aku meletakan sepiring kue putu bertabur kelapa parut di meja di depan Tante Inan. Sejak menikah dengan Leo, Tante Inan memang membiasakan aku untuk memanggilnya mama. Di atas meja dapur, ya saat ini aku dan Tante Inan memang sedang berada di dapur. Tepatnya duduk di meja makan juga ada sepiring bakpia dan wingko babat.

Acara ulang tahun Della memang baru saja selesai. Teman-teman Della juga sudah pulang, meski ada satu dua yang masih tinggal ditemani nanny mereka. Dan masih bermain-main dengan Della di taman belakang tempat acara ulang tahun itu diadakan.

Kebetulan dapur merangkap ruang makan ini juga ada di belakang dekat taman belakang yang dipisahkan dinding kaca. Dari ruang makan aku bisa melihat Della yang masih bermain-main dengan beberapa temannya yang belum pulang, Tiara yang sedang menemani Della dan Leo yang sedang berbincang dengan beberapa koleganya yang kebetulan anaknya juga diundang ke pesta ulang tahun Della.

Sedangkan tidak ada satupun temanku yang datang. Yah, sejak menikah dengan Leo, ia memang membatasi pergaulanku. Duniaku kini hanya seputar Leo dan Leo saja, kadang aku merasa sesak dengan sikap posesifnya itu. Memutus pergaulanku dengan teman-teman kantorku dulu bukankah itu sangat keterlaluan?

Tapi bila aku mulai mencoba menghubungi mereka sekedar ingin mengajak hang out bareng atau keluar makan, maka mereka semua menghindariku. Baik Risa, Hanna maupun Aulia. Otomatis aku yang pada dasarnya memang sangat sedikit memiliki teman, jadi tidak memiliki teman sama sekali. Boleh dibilang semenjak menikah dengan Leo, aku jadi kurang pergaulan.

Dan bila aku sudah mengeluh mengenai kebebasanku dalam berteman yang terampas, Leo hanya menanggapinya dengan santai.

"Kamu kan bisa pergi hang out denganku, Ren. Kamu mau kemana? Ke mall? Jalan-jalan ke kota tua atau keluar negeri sekalian? Kamu bisa melakukannya denganku."

"Jalan dengan teman dan suami itu beda, Leo."

"Apa bedanya?"

"Tidak bisa bergosip. Hang out dengan teman kami bisa membicarakan apa saja.Skin care terbaru, baju yang sedang trend, film konyol yang bahkan bisa masuk box office, atau ngomongin bujangan mana lagi yang sedang hot di Swara. Hal-hal yang gak mungkin aku bisa gosipin sama kamu."

"Genit." Leo mencubit pipiku pelan. "Sudah bersuami tapi masih gosipin bujangan yang sedang hot di Swara? Apa suamimu ini bukan mantan bujangan paling hot di Swara?Memangnya kamu pikir siapa lagi bujangan paling hot di Swara?Ah,kalau kamu mau menyebut nama Aditya ku beritahu ya. Sekarang dia sedang dekat dengan anak dari divisi HRD. Dia sudah move on tuh dari kamu."

"Ih, siapa yang mau menyebut namanya? Lagipula aku gak percaya kalau dia secepat itu bisa move on. Apalagi beritanya dari kamu. Eh, kamu kok bisa tahu Aditya dekat sama anak dari divisi HRD? Apa diam-diam kamu memata-matainya ya?"

"Kalau iya kenapa?" Leo bersedekap menantang membuatku melongo. "Kamu keberatan?"

"Apa seorang Presdir sepertimu punya begitu banyak waktu luang untuk jadi mata-mata?"

"Apa sulitnya jadi mata-mata?Jangan pikir aku tidak tahu ya, kamu masih menyimpan nomornya di ponselmu kan?Aku juga bisa lihat pandangannya padaku kalau kami bertemu, seolah-olah aku sudah mengambil pacarnya saja. Cih, padahal kalian jadian saja belum. Tapi ia bersikap seolah aku mencuri kekasihnya."

Aku tidak tahu mesti tertawa atau menangis melihat sikap Leo saat membicarakan Aditya. Apa mereka berdua terlibat perang dingin di kantor? Gara-gara aku?

"Dia itu bukan sainganku. Dia salah mengira kalau bisa bersaing denganku yang jauh lebih tampan dan kaya darinya. Yang lebih menyebalkan, berani sekali dia menyindirku saat aku mau memindah tugaskan dia ke kantor cabang di luar kota. Dia menyindir urusan pribadi sebaiknya tidak dibawa-bawa ke pekerjaan. Kalau tidak ingat dia arsitek kompeten Swara, sudah kutendang jauh-jauh pantatnya. Sialan, bikin jengkel saja!"

"Astaga, kamu kan bukan anak kecil lagi Leo. Kamu juga tidak bisa menyalah gunakan wewenang yang kamu miliki untuk memindahkan orang seenaknya ke kantor cabang Swara di luar kota. Apa Aditya berbuat salah dengan pekerjaannya? Tidak kan?"

"Ren, apa kau masih memikirkannya?" Leo tiba-tiba memegang lenganku. Memaksaku menatapnya. "Apa kamu menyesal menikah denganku? Jika saat itu aku tidak memaksamu menikahiku, apa kau akan menikah dengan Aditya?"

"Leo, kamu ngomong apa sih? Kok mendadak jadi bertanya kayak gini?"

"Jawab saja, Ren. Please.."

"Leo, kamu sudah janji kan akan membuat pernikahan kita bahagia? Akan menjadi suami dan ayah yang baik untuk aku dan Della? Jadi untuk apa kamu bertanya kayak gitu?"

"Jadi kamu gak nyesal kan nikah sama aku?"

"Kita udah nikah, apa yang harus disesali?"

"Jawab dulu pertanyaan aku, Ren."

"Nggak, aku gak nyesal nikah sama kamu, Leo." Aku jawab juga meski agak bingung dengan sikap Leo ini. Apa Aditya sebagai pemicunya? "Apa kamu yang nyesal nikah sama aku?"

"Nggak. Aku sama sekali gak nyesal nikah sama kamu. Jadi karena kamu gak nyesal nikah sama aku, kamu gak perlu hang out sama teman-teman kamu kan? Cukup sama aku saja."

Melihat sikap Leo yang tadi seperti bocah, marah gak jelas seperti tadi membuat aku terpaksa mengangguk. Meski diam-diam berencana untuk menelpon teman-temanku, membujuk mereka agar mau hang out bareng aku lagi. Tentu saja tanpa sepengetahuan Leo!

SERENADA BIRU (End)Onde histórias criam vida. Descubra agora