Bab 17

56.3K 3.6K 1
                                    

Ini kali kedua aku menginjakan kaki di kantor Leo. Masih lantai yang sepi, karpet yang mahal dan marmer yang dingin.

Saat melangkahkan kaki menuju kantor Leo, aku mengingat-ingat lagi kejadian di malam ulang tahun Tante Inan seminggu yang lalu.

Malam itu setelah menyiram Leo dengan es lemon tea, aku langsung pulang bersama Della yang ternyata diajak Tiara membeli cemilan di mini market dekat rumah. Leo kelihatan cemberut sebelum pergi untuk ganti baju, sedangkan Tante Inan yang ku pikir bakal menegurku karena sudah menyiram Leo, cuma senyum simpul. Seakan setuju dan tidak kaget lagi kalau anaknya itu bakal disiram minuman. Sinar matanya bahkan terlihat geli melihat Leo basah kuyup.

Dan sekarang aku dipanggil lagi ke kantornya. Bu Elvina yang menyampaikan pesan tadi. Diiringi pandangan heran dan kepo ketiga temanku, aku pergi menemui Leo. Dijamin bakal ada sesi interogasi nanti, kenapa Presdir memanggil aku yang jelas-jelas tidak memiliki kepentingan apa-apa.

Aku duduk di kursi di depan kantor Leo, karena menurut sekretarisnya saat ini Leo sedang ada tamu. Aku terpaksa menunggu meski agak kesal. Kalau memang ada tamu, kenapa dia memanggil aku untuk datang ke kantornya? Apa dia tidak tahu pekerjaanku saat ini menumpuk?
Untuk apa dia memanggilku? Mau menuntutku karena melakukan penyiraman tempo hari? Tapi itu kan sudah seminggu, kalau mau minta tanggung jawab kenapa tidak langsung hari itu juga? Paling aku cuma membawa bajunya yang kotor itu ke laundry.

Sedang asyik dengan pikiranku sendiri tiba-tiba pintu kantornya terbuka. Seorang wanita cantik bergaun kuning gading keluar diikuti Leo. Mereka terlihat dekat dan akrab.

Aku tertegun, wanita cantik dengan rambut digelung itu... Safira. Meski sudah delapan tahun berlalu, aku masih ingat wajahnya. Kulit putih, hidung mancung dan mata sebening telaga. Bahkan waktu delapan tahun ini, kecantikannya tidak berubah. Ia malah terlihat makin cantik dan mempesona.

"Oke, Leo. Kapan-kapan kamu gak boleh nolak ajakanku makan malam bareng ya. Kita belum pernah pergi berduaan selama kamu pulang dari USA." Tangan Safira menyentuh pipi Leo. Tentu saja pemandangan itu dapat aku dan Shella, sekretarisnya lihat dengan jelas.

Aku dan Shella cuma saling pandang.

"Aku lihat jadwal aku dulu ya, Saf. Kalau ada waktu luang dan pekerjaan aku gak banyak nanti aku hubungi kamu. Oke?" Leo tersenyum tapi matanya melirikku dan Shella yang sedang saling pandang, seakan bicara lewat telepati soal tindakan Safira tadi yang mengusap pipi Leo.

"Oke." Safira juga tersenyum. Matanya mengikuti pandangan Leo dan terlihat terkejut melihatku. "Renjani?"

Beuh... sudah kuduga dia bakal mengenaliku. Dilihat dari cara dia memandangku sepertinya perihal perjodohanku dan Leo delapan tahun lalu dia sudah tahu. Mungkin Leo yang memberi tahu. Ia menatapku dengan kilat kebencian di matanya. Wajar sih, karena gara-gara aku hubungan asmaranya dengan Leo kandas. Meski itu bukan mauku. Karena perjodohan itu sendiri dibuat tanpa sepengetahuanku.

"Hai, Safira. Apa kabar?" Aku mencoba bersikap tenang meski jantung bertalu-talu.

"Kamu kerja di sini?" Safira tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya padaku. Dia malah tidak meladeni basa basiku yang bertanya kabarnya.

"I..iya." Kenapa aku jadi gugup begini? Seperti perempuan yang ketahuan selingkuh dengan suami orang. Dih!

"Renjani kerja di bagian humas Swara grup, Saf. Dia sudah lebih dulu kerja di sini dari aku." Leo menjelaskan. Sepertinya dia takut Safira salah paham. Ah, tentu saja. Safira itu mantan kekasihnya yang paling dia cinta, tentu dia harus menjelaskan. Mantan? Mungkin sebentar lagi sebutan itu tidak akan ada lagi. Sebagai perempuan dewasa, aku paham kenapa Safira tiba-tiba saja ada di kantor Leo. Bukan hanya pertemuan dua orang kawan lama yang baru bertemu lagi, dari gesture tubuh mereka saja aku sudah paham kok. Mereka lebih dari sekedar kawan lama.

"Oh, begitu." Safira tidak bicara lagi, setelah melirikku sekilas dengan lirikan tajamnya ia pamit dengan Leo. Tidak lagi menggubrisku, aku dan Shella saling pandang lagi melihat Safira pergi dengan anggunnya.

"Ayo, masuk." Leo memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar aku masuk ke kantornya. Melihatku dan Shella bergantian. "Nggak usah bikin gosip."

Emm... apa dia tahu bahasa telepati yang aku dan Shella gunakan?

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang