Bab 24

56.1K 3.6K 46
                                    

Aditya berdiri di ambang pintu dengan wajah dungu? Sepertinya suara tadi ditimbulkan darinya yang tersandung meja. Aku bertanya-tanya apa dia mendengar semua percakapan kami barusan? Kenapa kami tidak mendengar kedatangan Aditya?

"Ada apa?" tanya Leo dengan wajah dingin andalannya, bahkan sebelum aku sempat buka suara. Leo menatap Aditya tanpa menutupi rasa tidak sukanya.

"Maaf, pak. Saya ganggu. Saya mengantar pizza untuk Renjani. "Wajah Aditya nampak serba salah. Ia mungkin tidak menyangka melihat seorang Presdir di ruanganku. Karena sangat mustahil rasanya seorang eksekutif tertinggi perusahaan ada di ruangan karyawan biasa seperti aku. Berdua pula. Apa yang ada di pikiran Aditya saat ini? Aku tidak berani memikirkannya.

"Untuk apa kamu mengantar pizza untuk Renjani? Kamu sekarang jadi tukang pizza?"

Ya ampun, Leo. Mulutmu! Apa minta disumpal bakiak?

"Saya janji makan malam sama Renjani, pak."

Hah?

"Benar?" Leo balik menatapku.

"Eh, iya." Aku terpaksa mengangguk. Dari pada Aditya terkena masalah karena bohong, aku anggukin ajalah. Padahal kapan aku ada janji makan malam dengannya?

"Tapi saya lagi bicara sama Renjani. Bisa kamu tinggal dulu?Giliran kamu nanti kalau saya sudah selesai sama Renjani."

???

Kenapa ucapan Leo terdengar begitu ambigu?

"Saya tunggu di luar kalau begitu, pak." Aditya mengangguk, lalu keluar ruangan.

"Ada hubungan apa kamu sama dia?" tanya Leo begitu Aditya pergi dari hadapan kami. "Kamu sering makan malam bareng dia?"

"Mas Aditya? Cuma teman. Nggak ada hubungan apa-apa."

"Mas? Kamu manggil dia mas?"

"Usianya lebih tua dari aku kan?Wajar kan aku panggil dia mas?"

"Lalu aku?"

"Kamu kenapa?" tanyaku bingung.

"Aku juga lebih tua dari kamu. Tapi kamu gak manggil aku mas. Leo just Leo."

Serius? Dia mempermasalahkan soal panggilan itu?

"Tapi aku panggil kamu Bapak."

"Karena aku atasan kamu. Kalau kita cuma berdua saja kayak gini, kamu cuma panggil nama."

"Leo, apa kita bakal terus berdebat kayak gini sampai pagi?" tanyaku yang mendadak lelah. Lelah menghadapi sikap Leo yang terasa aneh bagiku. "Kenapa cuma nama panggilan saja dipermasalahkan sih?"

"Kamu kelihatannya dekat banget sama dia ya."

"Namanya Aditya, Leo. Dan dia juga salah satu bawahan kamu."

"Dia yang malam itu nganter kamu pulang kan? Terus makan siang di kantin juga bareng."

Dari mana Leo tahu aku tadi siang makan siang bareng Aditya? Apa cctv kantin juga terhubung ke ruangannya?Karena setahuku tadi, Leo tidak makan siang di kantin. Kalau iya pasti kantin sudah heboh seperti biasa bila Presdir ikut makan siang di kantin.

Bujangan paling dicari abad ini kata Hanna.

"Jam berapa kamu selesai lembur?" tanya Leo lagi.

"Nggak tahu, kerjaan masih banyak."

"Malam ini gak usah lembur. Aku telpon Elvina biar kamu gak perlu lembur malam ini. Kamu pulang bareng aku. Aku antar, sekalian mau ngomong penting sama kamu."

"Tapi Aditya.."

"Ada apa dengan dia? Kan kamu yang bilang kamu gak ada hubungan apa-apa sama dia kan?Cepet beresin barang-barang kamu. Kita pulang sekarang. Biar aku yang ngomong sama Aditya."

Aku benci kalau Leo sudah mengeluarkan aura kediktatorannya. Memerintah seenaknya, tapi aku juga benci diriku yang tidak berani membantah selain menuruti apa maunya. Mungkin sifat memerintahnya ini juga merupakan daya tariknya tersendiri.

Leo kelihatan keren bila dalam mode pemimpin yang tidak bisa dibantah kayak gini. Ya ampun Renjani, otakmu konslet ya?

Leo keluar ruangan saat aku mau tidak mau memberesi barang-barangku. Saat keluar Aditya ternyata sudah tidak ada. Apa Leo mengusirnya?

"Dia balik ke ruangannya. Malam ini dia lembur." Leo memberi penjelasan saat aku keluar dan tidak mendapati Aditya di sana. Padahal aku mau minta maaf karena batal tidak jadi makan pizza bersamanya. Leo memang menjengkelkan.

"Kamu mau ngomong apa sih?Apa sepenting itu sampai tidak bisa ditunda nanti-nanti saja? Aku juga gak enak kan sama Bu Elvina, sampai gak jadi lembur gara-gara kamu. Nanti beliau pikir aku tidak mau lembur padahal pekerjaan masih banyak."

"Dia gak akan berani bilang begitu sama kamu. Aku yang nelpon dia langsung tadi. Ayo pergi."

Aku terpaksa mengikuti langkah Leo meninggalkan kantor. Kami berjalan menuju lift. Suasana kantor sudah sepi karena semua karyawan sudah pulang dari jam 4 sore tadi. Kecuali karyawan yang kebagian jatah lembur.

Saat pintu lift terbuka dan kami berdua masuk ke dalam lift tiba-tiba Leo memeluk pinggangku. Merapatkan tubuhku di dinding lift, aku yang kaget setengah mati tidak sempat berteriak saat tiba-tiba Leo menciumku.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now