Bab 16

57.3K 3.7K 15
                                    

"Safira itu udah nikah, ma. Kenapa jadi Safira dibawa-bawa?"

"Kamu patah hati?"

"Leo bukan remaja labil yang masih bisa patah hati, ma."

"Apa patah hati mengenal batasan umur?"

"Ma, tolong jangan memojokan Leo. Leo hanya menganggap Renjani seperti adik sendiri. Tolong jangan paksa Leo untuk menikahi Renjani."

"Tapi Della..."

Aku tak sanggup lagi. Aku tak sanggup lagi menguping pembicaraan mereka. Niatku untuk memberikan susu hangat pada Tante Inan urung. Aku kembali ke dapur, meletakkan susu hangat itu begitu saja di meja makan.

Untuk menenangkan diri aku menuju teras belakang. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Pemandangan teras belakang terlihat lumayan meski tidak seindah siang hari. Karena di sini Tante Inan banyak menanam bunga-bungaan, mungkin untuk mengisi waktu luang atau mengusir rasa sepinya.

Rumah ini memang terlalu besar bila hanya ditempati dua orang plus satu pembantu. Aku bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Tante Inan bila Tiara pergi kerja. Tapi aku juga tidak mau menerima tawarannya untuk tinggal di sini, karena bagaimanapun aku menyadari kalau aku bukan bagian dari keluarga mereka. Aku hanya orang luar.

Aku duduk di kursi teras dan menatap taman belakang yang disinari lampu taman. Saat menguping pembicaraan Tante Inan dan Leo tadi aku sama sekali tidak menyangka bila Tante Inan masih menginginkan perjodohan itu. Ia masih berharap aku menikah dengan Leo.

Kenapa Tante Inan masih menginginkan hal yang mustahil akan terjadi? Kenapa harus Della yang menjadi alasannya?

Aku sendiri sudah tidak menginginkan perjodohan itu, jauh semenjak aku sadar bila Leo tidak mencintaiku dan tidak akan pernah mencintaiku.

Lalu kenapa sekarang Tante Inan malah mengungkit kembali perjodohan lama itu? Untuk apa dia melakukannya? Apa beliau tidak takut jika Leo kembali marah dan memutuskan untuk tidak kembali ke rumah selamanya? Padahal hubungan mereka baru saja membaik.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Sebuah suara menyentakanku dari lamunan. Aku menoleh dan melihat Leo muncul dengan segelas es lemon tea di tangannya.
Dengan santainya ia duduk di kursi di sampingku yang hanya terpisahkan meja kecil. Gelasnya ia letakan diatas meja. "Aku mencarimu ternyata kau bersembunyi di sini."

"Kenapa kau mencariku?" tanyaku heran. "Aku tidak bersembunyi, aku hanya mencari udara segar."

"Syukurlah, aku pikir kau sengaja menghindariku. Sedari tadi kau mengacuhkanku, tidak berbicara padaku."

"Bukankah kita memang harus saling menghindari? Karena tidak ada alasan bagi kita untuk saling bicara atau menjadi akrab."

"Wow, sinis seperti biasanya." Leo terkekeh geli, seakan kemarahanku hal yang lucu di matanya. "Bahkan saat merengut gitu bibirmu masih terlihat sexy."

"Berhenti melecehkanku, Leo. Apa kau tidak punya malu?"

"Apa memuji sexy itu termasuk pelecehan? Bibirmu benar-benar sexy kok."

"Cih, jangan harap aku bakal tersanjung. Aku tahu betul apa yang sedang kau mainkan." Aku menatapnya geram, ia cuma menaikan satu alisnya. "Aku mendengar semua yang kau katakan pada Tante Inan tadi."

"Kau menguping?"

"Aku tahu perasaanmu padaku, jadi tolong jauhi aku dan hentikan perbuatanmu yang tidak menyenangkan itu padaku."
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena memang tidak perlu. "Aku bukan obyek sexualmu, Leo. Kau bisa mendapatkan wanita mana saja yang kau inginkan, tapi hentikan memperlakukan aku seperti perempuan gampangan yang bisa kau perlakukan seenaknya!"

"Aku mungkin bukan perempuan yang masih suci, tapi itu bukan berarti kau bisa memperlakukan aku seenaknya. Seakan aku bonekamu, aku bukan perempuan yang haus sex!"

Tanpa sadar air mataku menitik. Aku benci Leo, tapi aku juga benci pada diriku sendiri kenapa bisa terlihat lemah di matanya.

"Ku mohon... jangan perlakukan aku seperti itu."

Leo nampak tertegun melihatku.

"Benci saja aku sepuasmu, tapi tolong jangan rendahkan aku seperti itu.."

"Bagaimana jika aku tidak bisa?" Leo menatapku menantang, sepertinya air mataku tidak berpengaruh padanya. "Bagaimana jika aku ingin tetap memeluk, mencium dan bahkan... menyentuhmu?"

"Kau bajingan!" geramku marah. "Kau bisa melakukan itu pada perempuan yang tidak kau cintai? Menjijikan."

"Aku mungkin tidak mencintaimu. Tapi bukan berarti aku tidak memiliki ketertarikan sexual padamu..."

"Kau... kau benar-benar menjijikan. Bajingan menjijikan."

"Kau tidak akan berkata seperti itu jika sudah merasakannya. Tapi... kau pernah merasakannya kan? Kalau tidak bagaimana Della bisa lahir?"

Rasanya aku ingin sekali membunuh Leo detik ini juga. Nada bicaranya yang arogan dan meremehkan sungguh membuatku jijik. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil gelas berisi es lemon tea diatas meja dan menyiramkannya ke wajah Leo.

"Ahh.." Suara seruan tertahan terdengar. Itu bukan teriakan Leo tapi suara Tante Inan yang sudah berdiri diambang pintu dan melihatku yang menyiram anaknya dengan segelas minuman.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now