Bab 49

34.6K 2K 15
                                    

Anak kedua kami lahir di bulan februari. Laki-laki, beratnya tiga koma dua kilo dan panjangnya lima puluh centi meter. Aku melahirkan secara cesar. Dan untuk pertama kalinya, Leo menangis haru sambil memeluk bayi lelaki kami.

" Tuhan begitu baik sama aku, Ren. Dia masih ngijinin aku buat ngeliat anakku. Memeluknya. Terima kasih Tuhan. Terima kasih, sayang."

Sejak di diagnosa dokter, menderita leukemia kronis. Leo memang sering bolak balik ke rumah sakit. Ia ditangani oleh dokter Said, di bagian haematologits, medical onkologist yang specialis menangani penyakit kanker darah. Dan juga specialist kemoterapi penyakit kanker.

"Penyakit kanker darah pak Leo baru tahap kronis. Dengan penanganan yang tepat dan cepat, untuk sembuh cukup besar. Yang penting pak Leo harus rajin berobat dan menerapkan pola hidup sehat." Dokter Said memberi keterangan saat kunjungan kami yang entah keberapa, ke kamar prakteknya.

"Berarti harapan saya untuk hidup masih besar kan dok? Saya belum akan mati?"

Dokter Said tersenyum bijak." Umur itu ditangan Tuhan pak Leo. Banyak orang yang sehat-sehat saja bisa mendadak meninggal. Sedangkan yang sakit-sakitan bertahan hidup cukup lama. Saya bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seseorang. Yang penting sebagai manusia, kita harus terus berdoa dan berikhtiar."

"Kamu dengar apa kata dokter kan Ren? Aku masih ada harapan. Jadi kamu jangan cepat berharap untuk menjadi janda." Gurau Leo saat kami keluar dari kamar praktek dokter. Aku tidak tahu mesti kesal atau menangis mendengar gurauan Leo yang garing begitu.

"Ya, ya. Akupun belum mau menjadi janda."

" Begitu aku sembuh, kita akan pergi ke Venesia. Akan kubawa kau naik gondola. Bertemu tukang gondola yang ganteng, dan aku bisa kencan dengan gadis Italia berdada besar."

"Mana ada cewek Italia yang mau sama cowok berbadan kerempeng kayak kamu? Disangka mereka kau sudah invalid, paling bagus pasien Tb."

"Oh, jahat sekali kau Ren. Kerempeng begini kau masih suka memelukku kalau tidur kan? Hanya badanku yang kerempeng, tapi wajahku masih tampan. Oke, oke, aku bakal makan yang banyak. Minum susu dan rajin olahraga. Lihat saja nanti kalau aku sudah sehat lagi, kau bakal terpana oleh ketampananku. Aku harus terlihat tampan bila ingin mendapatkan gadis Italia kan? Tentu aku tidak mau kalah denganmu."

"Kalau begitu cepatlah sehat. Agar kau kembali tampan dan aku bisa pamer dengan cewek-cewek Italia."

"Tentu, sayang." Leo menyentuh daguku. "Tapi sekarang aku pengangguran, ah-apa kau tidak malu memiliki suami pengangguran kayak aku, Ren? Kau tidak bisa lagi membanggakan jabatan suamimu ini."

Sejak Leo di diagnosa mengidap leukemia dan harus menjalani pengobatan. Grup Swara memang untuk sementara menon aktifkan Leo dari jabatannya sebagai Presdir. Semua itu keputusan dari dewan direksi, dengan pertimbangan dari pemegang saham grup Swara.

"Mereka memperlakukan aku seolah aku orang invalid yang tidak memiliki kemampuan menjalankan tugasku, Ren." Keluh Leo. "Tubuhku yang sakit. Tapi bukan otakku."

"Mereka melakukan ini hanya demi kebaikanmu, Leo. Mereka ingin kamu fokus pada pengobatan. Lagipula ini hanya sementara kan? Begitu kamu sembuh, kamu bisa kembali lagi." Aku mencoba menghiburnya. Kata sementara itu tidak tahu sampai kapan, mungkin sebulan, setahun atau mungkin bertahun-tahun. Tidak ada kepastian apa mereka akan menepati janji dengan mengembalikan posisi Leo, saat nanti ia sehat. "Lihat sisi baiknya. Kamu punya banyak waktu untuk bersamaku. Bersama Della, Cello, mama dan Tiara."

"Kamu benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku? Untunglah aku menikah denganmu, kau tidak perlu takut akan kelaparan, Ren. Meski sekarang aku pengangguran. Aku masih banyak uang. Kita masih punya hotel dan villa, masih ada perkebunan. Ah, jangan lupakan sahamku di Swara. Ya, ya. Meski pengangguran, aku ini pengangguran kaya raya kan?" Wajah Leo nampak berseri-seri, mirip Della bila mendapatkan apa keinginannya. Aku cuma tertawa. Leo tidak ubahnya seperti anak kecil.

"Sungguh kau tidak malu memiliki suami pengangguran seperti aku kan, Ren?"

"Tidak, Leo. Aku tidak malu. Aku senang memiliki suami pengangguran kaya raya seperti kau."

Aku hanya ingin kau hidup lebih lama, kataku dalam hati. Bertahun dan bertahun-tahun lagi. Di malam aku menemukan Leo yang tidak sadarkan diri, hatiku hancur. Mendengar Leo di vonis leukemia, meski dokter mengatakannya dengan begitu tenang. Tapi bagiku seperti mendengar suara bom atom. Kehancurannya lebih dahsyat dari bom Hiroshima dan Nagasaki.

Aku membeku, Tante Inan pingsan dan Tiara hanya mulutnya yang  terbuka dan menutup. Seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ada yang menyangkut di tenggorokan.

"Apa.. apakah ada harapan bagi suami saya untuk sembuh, dok?" Aku mengerjapkan mataku yang mendadak basah. Dokter Said tersenyum, lembut sekali.

"Leukemia yang diidap Pak Leo dalam tahap kronis, belum akut. Meski kelihatannya Pak Leo sudah lama menderita penyakit ini, tapi rupanya fisik Pak Leo kuat. Hingga beliau tidak merasakan apa-apa. Itu memang sering terjadi.

"Tapi ilmu kedokteran sekarang sudah lebih maju. Ada kemungkinan kanker darah bisa disembuhkan. Asal dengan pengobatan yang tepat. Penyakit Pak Leo bisa sembuh.

"Tapi saya juga tidak bisa menjanjikan hal yang muluk-muluk. Semua tergantung kondisi pasien. Meski bisa sembuh, tidak ada kepastian bila penyakitnya tidak akan muncul kembali. Bisa saja dia menghilang dan baru kambuh lagi setelah bertahun-tahun kemudian. Yang penting jangan membuat suami anda depresi, ibu harus kelihatan gembira."

"Cobalah untuk membahagiakan suami ibu. Yang terpenting sekarang adalah membuatnya bahagia. Bukan seberapa lama beliau bisa hidup. Ibu tidak boleh putus asa apalagi hilang harapan. Kalau ibu ingin membahagiakan suami ibu, ibu tidak boleh bersedih. Jangan kehilangan semangat. Penyakit apapun selalu punya kemungkinan untuk sembuh. Yang dibutuhkan Pak Leo saat ini adalah dukungan dan semangat hidup dari orang-orang yang mencintainya."

Aku mengangguk-angguk dengan hati terajam pisau. Sukar sekali menahan airmata yang mau tumpah. Leo, hari-harimu kini tinggal hitungan angka-angka. Kenapa harus kau? Kenapa bukan aku?

Tapi meski seribu kenapa aku ucapkan di hati, aku tetap tidak menemukan jawabannya...

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now