Bab 50

36.2K 2K 6
                                    

Leo begitu semangat menjalani pengobatannya. Rasa optimisnya menulari semua orang. Tante Inan yang semula syok mendengar kabar mengenai penyakit Leo, kini sudah mulai bisa tersenyum lagi. Tiara makin jadi adik yang penurut dan tidak lagi sering tengkar mulut dengan Leo. Hanya Della yang tidak terpengaruh dengan perubahan yang ada. Ia memang sengaja tidak kami beritahu.

Dan aku masih sering menangis diam-diam. Rasanya sulit melihat orang yang kita cintai menderita sendiri karena penyakitnya. Leo begitu energik. Ia selalu penuh gairah hidup. Melihatnya menjalani segala pengobatan itu, meski bibirnya tersenyum. Tapi aku tahu betapa menyakitkannya semua kemoterapi dan radioterapi yang ia jalani.

Hanya keinginannya yang sekuat bajalah, yang membuat ia begitu bersemangat. Leo yang anti rumah sakit dan segala bau-bauannya, kini harus sering bolak balik ke rumah sakit. Aku setia mendampinginya. Meski terkadang Leo menolak, menyuruhku agar menjaga Cello saja. Karena Cello masih butuh ASI. Tapi siapa yang tega meninggalkan ia sendiri menjalani semua pengobatan itu? Sebagai jalan keluar, aku memompa asi banyak-banyak untuk persediaan Cello. Dan karena sekarang ada Tante Inan, aku tidak terlalu khawatir meninggalkan Cello untuk menemani Leo berobat.

Di bulan kedelapan pengobatannya, keadaan Leo sudah lebih baik. Wajahnya sudah mulai kemerahan, tidak sepucat dulu lagi. Nafsu makannya membaik. Dan yang menggembirakan, hasil pemeriksaan darahnya menunjukan peningkatan.

Hasil pemeriksaan kadar HB, HT dan jumlah eritrosit normal. Melihat itu wajah Leo berseri-seri.

"Sudah kubilang, aku pasti bisa mengalahkan penyakitku ini, Ren. Suamimu ini hebat bukan? Ayo beri aku pujian."

"Ya, Leo. Kau hebat. Kau luar biasa." Aku tentu saja senang dengan hasil itu. Sepertinya Leo benar-benar sudah sembuh. Tapi bila teringat kembali ucapan dokter, mau tidak mau rasa was was kembali muncul. Meski ada kemungkinan bisa sembuh, tapi tidak ada jaminan penyakit ini tidak akan kambuh lagi. Karena ini bukan ilmu pasti. Penyakit Leo bisa saja menghilang, tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia akan menghilang selamanya? Atau sewaktu-waktu bisa kambuh lagi?

"Yang terpenting bukanlah seberapa lamanya beliau bisa hidup, tapi seberapa lamanya ia bisa bahagia."

Tante Inan ingin mengadakan acara selamatan untuk kesembuhan Leo. Tentu saja hanya aku yang tahu faktanya, bila penyakit Leo ibarat bom waktu yang bisa kambuh kapan saja.

Ismail sudah melamar Tiara. Rencana pernikahan mereka sempat tertunda karena penyakit Leo. Dan karena kini Leo sudah sehat, rencana itu kembali terealisir. Tidak ada alasan lagi untuk menunda.

Tiara juga sudah berkompromi dengan pekerjaan Ismail. Dia tidak keberatan ditinggal bila Ismail harus pergi bertugas berbulan-bulan. Ia bisa tinggal bersama kami, dan balik kerumahnya sendiri bila Ismail pulang.

Ia akan menempati rumah di Tebet. Meski Ismail sudah memiliki rumah sendiri. Tapi demi calon istri tercinta, ia tidak keberatan mengikuti maunya Tiara. Terpaksa rumah yang dibeli Ismail yang dikontrakan.

"Kenapa semakin besar, Cello jadi makin mirip Bang Leo?" tanya Tiara saat sedang dirias untuk acara lamaran yang jadi satu dengan acara selamatan kesembuhan Leo. Ia menggoyang-goyangkan tangan mungil Cello yang sedang ku gendong. "Della, Cello.. gak ada yang mirip kak Ren."

"Kalau mirip orang lain justru berabe. Mirip papanya kok kamu heran." Celetuk Tante Inan yang hari ini berdandan cantik sekali. Mengenakan kebaya hijau mint dan kain batik. Sedangkan Tiara kebaya warna magenta, sarimbitan sama kemeja batik Ismail.

"Katanya kalo wajah anak-anak kita mirip suami, itu artinya yang mendominasi di ranjang pihak suami. Berarti Bang Leo yang mendominasi ketimbang kak Ren."

Aku ternganga mendengar omongan Tiara, sementara Tante Inan pura-pura batuk kecil. Si mbak perias malah sudah ketawa sejak tadi.

"Anak kecil ngomongin urusan ranjang," hardik Tante Inan pura-pura marah.

"Anak kecil dari mananya. Sudah mau dilamar ini.." ucap Tiara cuek.

Acara lamaran yang dilanjut dengan acara selamatan untuk kesembuhan Leo berjalan lancar. Wajah Tiara dan Ismail kelihatan sumringah. Senang acara berjalan lancar, dan tanggal pernikahan juga sudah ditentukan.

Tamu-tamu yang kebanyakan dari keluarga dekat belum banyak yang pulang. Mereka membentuk kelompok dan mengobrol sambil makan cemilan. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Leo yang sedang asyik berbincang-bincang dengan orangtua dan keluarga dari pihak Ismail.

Ia mengenakan batik warna hijau mint dengan corak yang sama dengan laki-laki dari pihak keluarga Ismail. Rupanya Tiara memang sengaja membuat seragaman untuk acara lamarannya ini. Wanitanya kebaya hijau mint dengan bawahan kain batik yang senada dengan baju batik laki-laki.

Melihat Leo yang terlihat sehat dan penuh vitalitas, siapa yang mengira bila beberapa bulan yang lalu ia masih harus menjalani pengobatan yang menyakitkan? Aku tidak putus-putusnya bersyukur dengan kondisi Leo saat ini. Dan berharap bisa melihat Leo seperti ini terus. Sehat, energik dan penuh semangat.

"Bang Leo emang ganteng kok, gak usah diliatin terus Kak Ren." Tiara yang duduk di sampingku menggodaku. Lalu menggenggam tanganku erat. "Kak Ren, terima kasih ya. Terima kasih sudah memaafkan Bang Leo, terima kasih sudah mau menikah sama dia. Dan terima kasih sudah bikin Bang Leo bahagia."

Aku menatap Tiara bingung. Mendadak saja anak ini mengucapkan kata-kata kayak gini. Tapi saat aku melihat sinar di matanya. Aku tahu ia tulus dan bersungguh-sungguh.

Ia pasti sangat menyayangi Leo. Hingga harus berterima kasih atas namanya. Ia yang mengetahui sejarah kami berdua, terlihat begitu bersungguh dengan kata-katanya.

Tiara, kau tidak perlu berterima kasih. Akupun bahagia menikah dengan Leo. Kebahagiaan yang belum tentu kudapatkan bila aku menikah dengan orang lain.

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang