Bab 10

67.2K 4.2K 15
                                    

Moodku hancur gara-gara Leo. Dan aku tidak habis-habisnya mengutuk kenapa harus bertemu Leo saat di lift tadi. Yang lebih menyebalkan aku juga satu lift sama dia! Dan mendapatkan poin keterlambatan sepuluh menit dari bagian HRD yang akan di akumulasikan saat kenaikan gaji nanti. Biasanya kenaikan gaji terjadi dua kali dalam setahun. Di bulan Juli dan Januari. Tapi bila banyak poin maka say good bye dengan kenaikan gaji.

Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah aku satu lift dengan Leo. Dan kami cuma berdua saja di lift itu. Meski tidak banyak yang melihat tapi mereka dengan jelas melihat Leo yang menarikku ke dalam lift. Meski mereka tidak tahu kalau di dalam lift ternyata Leo mengkonfrontasiku masalah Della.

Bohong kalau aku tidak sedih dengan sikap Leo yang menolak mengakui Della. Bagaimanapun Della anak perempuan. Dia juga butuh status yang jelas. Meski selama ini ia tidak bertanya mengenai keberadaan ayahnya karena kebohongan yang ku buat,
tapi Della anak yang cerdas. Saat dia bertambah dewasa ia tidak akan puas hanya dengan jawaban yang aku berikan.

Tapi melihat sikap Leo saat ini aku pesimis Leo akan mengakui Della. Baginya karir yang ia miliki saat ini lebih penting ketimbang seorang anak yang di lahirkan dari wanita yang tidak dia cintai.

Dia takut kehadiran Della akan merusak image dan karirnya.

Aku menghela napas berat. Mungkin mulai sekarang aku harus mencari pekerjaan baru, agar aku dan Della tidak perlu bertemu lagi dengan Leo. Agar ia tidak lagi menganggap kami berdua sebagai duri pengganggu dalam hidupnya.

"Bu, satu gado-gado lontong yang pedes ya. Minumnya es teh tawar."

"Jadiin dua bu. Tapi gado-gado saya jangan pedes."

Aku menoleh saat mendengar suara serak bariton di sampingku.
Leo berdiri di sampingku ikut memesan gado-gado. Kenapa dia ada di kantin karyawan lagi? Apa dia sudah kecanduan makan di kantin karyawan? Agak jauh dari kami, berjarak dua konter makanan Pak Faisal Direktur keuangan sedang memesan nasi rawon. Sepertinya kali ini dia datang bersama Direktur keuangan.

"Jadi dua puluh lima ribu mbak Ren."

Aku menyodorkan uang tapi tanganku di tahan di konter, Leo menyodorkan selembar lima puluh ribuan.

"Tolong antar ke meja saya ya bu."

"Nggih, Pak Presdir."

Tanpa menoleh lagi, Leo segera pergi. Bu Juminten menatapku bingung, lalu bolak balik antara aku dan Leo.

"Mbak Ren, ada hubungan apa sama Pak Presdir? Kok makan sampai di bayarin?"

"Nggak ada hubungan apa-apa. Jangan mulai gosip deh bu. Ntar rame satu gedung Swara."

"Maaf, mbak."

Aku berjalan ke meja tempatku dimana sudah ada ketiga temanku yang sudah mulai makan. Untung saja kantin ini luas jadi kejadian Leo yang membayariku makan tidak ada yang tahu selain aku, Leo dan Bu Jum. Semoga saja mulut Bu Jum gak ember, gawat kalau jadi bahan gosip. Lagi pula apa Leo tidak mikir kalau tindakannya itu berpotensi menimbulkan gosip?

Pertama kejadian di lift tadi pagi,
lalu siangnya membayariku makanan. Cih, apa dia pikir aku tidak punya uang untuk sekedar membayar makan siangku sendiri?

"Kenapa ya akhir-akhir ini gue liat Pak Presdir sering makan di kantin karyawan? Apa makanan di lantai 10 emang ngebosenin gitu sampai dia pindah haluan?"
Risa membuka percakapan.

"Itu namanya merakyat. Mungkin aja lidahnya Pak Presdir emang lidah rakyat," ucap Hanna santai.

"Mungkin ada yang dia incer di antara karyawan biasa kayak kita." Aulia membuka hipotesanya.
Sepertinya impian dia buat jadi nyonya Presdir belum hilang. "Gue rasa dia lagi naksir salah satu karyawan biasa, kalo gak mana mungkin dia rajin makan di kantin?"

"Jangan ngaco deh lu. Gue pernah liat ada cewek bule cantik banget yang datang ke kantor Pak Presdir. Gosipnya itu pacar Pak Presdir," kata Hanna. Aku yang asyik makan ikut nguping juga mendengar omongan Hanna.

"Cewek bule cantik?" tanya Risa penasaran.

"Iya. Kalian tahu Monica kan?Sekretaris Pak Faisal? Dia itu kan temen kuliah gue. Nah waktu gue sama Monica nongkrong bareng di starbuck, dia cerita kalo bule cantik itu memang pacar Pak Presdir waktu sama-sama kuliah di Harvard. Namanya Katherine Nolan. Katanya sih anak pengusaha properti di Chicago. Saingannya Donald Trump."

"Gila sih bos, gebetannya gak kaleng-kaleng. Kita mah apa atuh," kata Rissa geleng-geleng kepala. "Calon mertuanya aja sekelas Donald Trump."

"Beuh, lulusan Harvard gitu loh. Yang gue denger lagi dari ceritanya Monica, yah dia juga tahu dari sekretaris Presdir sih, Pak Leo itu sebelum kerja di Swara sempat dapat tawaran dari salah satu perusahaan elite sana yang kantor pusatnya di Silicon valley." Hanna nampak semangat sekali menceritakan tentang Leo, seperti fans fanatik yang serba tahu tentang idolanya. "Tapi di tolak. Gila, guys. Tawaran menggiurkan gitu dia tolak coba."

"Itu cerita sekretaris Pak Presdir?"
tanyaku menyela meski sedari tadi tekun jadi pendengar yang baik.

"Pak Leo itu lulusan terbaik Harvard. Pantaslah jadi rebutan perusahaan besar," ucap Hanna.

"Luar biasa emang calon suaminya Aulia."

"Ngimpi." Risa melempar potekan rempeyek ke arah Aulia. "Ketinggian lu!"

"Sirik!" balas Aulia melempar potekan kerupuk udangnya ke arah Risa.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke pesan whattsapp ku. Ku lihat pesan dari Leo.

Hari ini kamu pulang bareng aku

Aku mengerutkan kening, darimana dia tahu nomorku?Pertanyaan bodoh, jika dia tahu biodataku tentu saja dia juga tahu nomor telponku. Dan apa maksudnya pulang bareng dia?Aku bawa mobil sendiri, buat apa nebeng mobilnya?

Aku tidak membalas pesan itu, malas. Tapi saat tanpa sengaja mataku melihat ke arahnya, Leo sedang menatapku tajam. Sorot matanya seakan berkata 'kamu jangan mengabaikan saya'

Tiba-tiba saja tubuhku merinding.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now