Bab 14

58.6K 4.2K 86
                                    

"Mama, kenapa gak telpon kalau sudah pulang? Untung tadi Bu Wulan dengar suara mobil mama. "Della langsung berlari menghampiriku dan memelukku manja. Untunglah Della tidak melihat kejadian saat Leo tadi hampir menciumku. Dan aku juga sempat menyingkir dari pelukannya.

"Maaf, mama baru aja mau telpon. Kamu udah makan?" aku mengelus rambut Della penuh sayang.

"Udah. Tadi Bu Wulan masak sayur sop sama ayam goreng."

"Enak?"

"Enak. Tapi gak seenak masakan mama."

Tiba-tiba terdengar suara deheman Leo, ia mungkin merasa bete dianggurin.

"Om... om yang waktu itu ketemu di restaurant ya?" tanya Della yang masih memelukku.

"Iya." Leo mengangguk. "Hallo, Della, apa kabar?"

"Baik, om." Della menatapku. "Mama, kenapa om ini ada di sini?"

"Tadi om Leo nganterin mama pulang," jawabku.

"Bukannya mama bawa mobil, kenapa harus diantar om pulang?"

Anak pintar. Kadang aku lupa kalau Della jauh lebih pintar dari anak-anak seusianya. Terkadang ia sering melontarkan pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya.

"Della, kamu kelas berapa?" tanya Leo seakan mengerti aku bingung mau jawab apa. Tidak mungkin aku jawab kalau Leo memaksaku untuk pulang bersamanya kan?Aku juga belum mencari alasan kenapa Leo bisa datang lagi ke rumah kami. Karena tadi ku pikir, Leo akan langsung pulang begitu mengantarku. Ternyata dia malah mampir.

"Kelas dua om." Della memang sekolah di SD swasta jadi usia enam tahun sudah masuk SD.

"Mau naik kelas tiga ya? Della sudah besar ya. Kalau sudah besar Della mau jadi apa?"

"Wanita karir kayak mama." jawab Della mantap.

"Kenapa wanita karir kayak mama? Della gak mau jadi Dokter atau pengacara mungkin?"

"Karena mereka gak ada yang sehebat mama. Sejak papa gak ada, mama yang ngerawat Della. Jagain Della dan kerja cari duit buat Della."

"Memang papa Della kemana?"

"Kecelakaan pesawat. Pesawatnya jatuh di laut, penumpangnya nggak ada yang selamat. Termasuk papa Della."

Leo melirikku saat mendengar ucapan Della. Ada rasa tidak suka di wajahnya saat mendengar perkataan Della mengenai ayah kandungnya. Tapi aku sendiri pura-pura tidak lihat.

"Della pernah ke makam papa Della?"

"Nggak pernah." Della menggeleng. "Kata mama, jenazah papa gak bisa ditemuin. Tenggelam di laut, jadi gak bisa di makamin."

Leo lagi-lagi melihatku dengan tatapan tajam dan tidak suka. Tapi aku tidak peduli.

Akhirnya malam itu aku membuat spaghetti untuk makan malam. Meski Della sudah makan di rumah Bu Wulan, ternyata dia mau makan lagi saat tahu aku bikin spaghetti.

Dan Leo juga ikut makan malam. Dia nampak asyik mengobrol dengan Della. Bertanya soal sekolah, teman-teman dan juga pelajaran. Aku tidak mengerti buat apa dia sok akrab dan dekat begitu dengan Della.

"Jadi om Leo anaknya eyang Inan?" tanya Della saat Leo membantunya mengerjakan pr. Bukannya langsung pulang sehabis makan malam, Leo malah ikut duduk di ruang tamu menemani Della belajar. "Kenapa Della gak pernah liat om kalau Della main ke rumah eyang uti?"

"Karena selama ini om kuliah dan tinggal di Amerika. Jadi gak pernah pulang. Baru beberapa tahun ini om pulang."

"Amerika? Tempat negaranya Sponge bob berasal? Tempat film frozen dibuat?" Wow, Della memang pintar.

"Iya. Della mau ke Amerika? Mau kuliah di sana?"

"Mau, mau. Della mau ketemu Sponge bob." Mata Della nampak berbinar, Sponge bob memang kartun kesayangannya. "Emang bisa Della ke Amerika?"

"Bisa dong. Belajar yang rajin. Om jamin, suatu hari nanti kamu bakal bisa kuliah ke Amerika."

Aku mengernyitkan kening. Leo bicara apa sih? Kenapa dia bisa ngomong kasih jaminan segala kalau Della bisa kuliah di Amerika? Apa dia pikir kuliah di Amerika itu segampang ucapan?
Ah, aku lupa. Bagi seorang Leo, tidak ada yang tidak mungkin. Yah, seambisius itulah seorang Leo Dewangga.

"Sudah hampir jam sembilan, kamu gak pulang?" tanyaku. "Della juga udah ngantuk. Besok sekolah kan? Ayo, udah selesai belum belajarnya?"

"Udah, mah." Della mengangguk. "Della beresin dulu ya ma peralatan sekolah Della."

"Iya, anak pintar."

"Della, om pulang dulu ya. Bolehkan om sering-sering datang kemari nengokin Della?"

"Boleh, om. Om kan anaknya eyang uti Inan. Jadi om Leo itu om-nya Della juga. Sama kayak Tante Tiara. Juga tantenya Della."

Leo terlihat tercenung mendengar ucapan Della. Tapi kemudian mencium pipi Della lembut dan memberi isyarat padaku agar mengantarnya keluar.

"Ternyata kamu pembohong yang ahli ya, bilang sama Della papanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat. Dan jasadnya gak bisa ditemuin," kata Leo sinis, saat kami sudah berada di luar rumah, menuju mobilnya yang terparkir. Jas kerjanya sudah dia lepas. Dasinya ia masukan ke saku celananya. Kemeja putihnya digulung sampai siku dan dua kancingnya dibuka. Menampakan otot-otot maskulin di tanganya. Bahkan aku bisa melihat bulu-bulu halus yang mengintip di dada bidang Leo.

"Cuma itu alasan yang bisa aku berikan saat Della nanya tentang papanya. Dia itu anak yang pintar, kalau aku gak bilang jasad papanya gak bisa ditemukan, dia pasti memaksa untuk melihat makamnya."

"Jadi di mata Della aku sudah mati."

"Kamu sudah gak ada di mata kami berdua."

"Tsk, kenapa harus mengatakan pada Della kalau aku sudah mati?
Apa kamu gak bisa ngasih alasan lain?"

"Alasan apa?" tanyaku bingung. "Aku gak mungkin bercerita yang sebenarnya kalau kelahiran dia karena sebuah ketidak sengajaan. Kalau dia bukan anak yang diinginkan ayah kandungnya. Lebih baik aku mengarang cerita soal kecelakaan pesawat yang menimpa ayahnya kan? Jadi dia gak punya pandangan buruk tentang ayah kandungnya."

"Bagaimana kalau ayah kandungnya kemudian muncul?Apa yang mau kamu katakan saat 'dia' yang kamu bilang mati ternyata masih hidup? Bagaimana kamu menjelaskan kebohongan kamu selama ini?"

"Karena itu ku harap 'dia' tidak pernah muncul. Ku harap 'dia' tidak pernah menampakan dirinya di hadapan kami."

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now