Bab 3

70.4K 4.7K 35
                                    

Begitu keluar dari lift, ada lobi luas yang menyambut kami. Dan meja marmer hitam mahal, di balik meja berdiri seorang perempuan cantik dengan blazer formil. Namanya Anna, ia salah satu asisten Presdir.

"Selamat siang," Andri sudah lebih dulu menyapa sopan sambil memamerkan senyum lima jarinya. "Kami mau mengantarkan dokumen untuk Pak Presdir."

"Oh, letakkan saja disini. Nanti akan saya berikan."

Aku dan Andri mengangguk mengerti. Untuk ukuran staf kantor rendahan macam kami memang tidak bisa sembarangan ketemu Presdir. Hanya sekelas manager keatas yang bisa bertemu Presdir. Itupun harus ada janji. Jadi kami memberikan dokumen itu pada Anna.

Sebenarnya aku sangat lega dengan hal ini. Aku cuma menyerahkan dokumen pada asistennya tanpa harus bertemu langsung dengan Presdir. Terus terang bila harus bertemu langsung dengan Leo aku belum siap. Aku belum siap dengan reaksi yang akan aku hadapi saat berhadapan langsung dengannya.

Saat kami sudah mau pergi tiba-tiba pintu kantor Presdir terbuka, Shella sekretaris Presdir keluar. Dia langsung melihatku.

"Renjani? Masuk aja, dokumen yang kamu bawa, kamu bawa sekalian. Kamu udah ditunggu Pak Leo."

Hah? Aku cuma melongo bingung. Aku disuruh masuk keruangan Presdir? Aku dan Andri saling pandang.

"Kamu boleh balik." Shella berkata pada Andri saat melihat wajah bingung Andri, yang bingung apa dia disuruh masuk atau nggak. "Renjani aja."

"Oh, oke." Andri mengangguk paham. "Aku duluan, Ren."

Meski bingung kenapa cuma aku yang disuruh masuk, tapi aku tidak bertanya apa-apa lagi. Shella mengetuk pintu dan menyilakan aku masuk.

Leo sedang sibuk bicara di telpon saat aku masuk. Tidak menggubris kehadiranku sama sekali, seakan aku cuma bayangan yang gak penting. Aku diam berdiri sambil memeluk dokumen yang kubawa di depan dada. Tidak bersuara, menunggu ia selesai bicara di telpon. Sepuluh menit kemudian ia menutup telpon.

"Mana dokumennya?" Ia memberi isyarat agar aku mendekat dan memberikan dokumen di tanganku. Aku maju dengan langkah sedikit gemetar, keringat dingin sudah keluar. Aku benar-benar merasakan rasa takut dan gugup bukan main dalam hatiku. Padahal ia sama sekali tidak melihat kearahku. Tatapan matanya sama sekali tidak terarah padaku.

Entah ilusiku atau bukan, aku merasakan elusan di jemariku saat aku memberikan dokumen itu padanya. Aku termangu, apa Leo barusan mengelus jemariku?Itu cuma ilusi kan?

Seakan tidak ada yang terjadi, Leo membolak balik dokumen di hadapannya. Dia tidak menyuruhku pergi, apa aku yang memiliki inisiatif sendiri ya?pikirku.

Karena pikiran itu aku membuka mulutku. "Maaf, Pak. Saya permisi..."

"Siapa bilang kamu boleh pergi?" Suara bariton Leo tiba-tiba terdengar. Ia masih sibuk membolak balik dokumen itu.

"Tapi saya..."

"Saya belum ngijinin kamu pergi."
Kali ini ia menatapku tajam. Ada aura dingin disana.

"Apa Bapak masih ada perlu sama saya?" Aku memberanikan diri bertanya dengan susah payah. Terus terang tatapan matanya yang dingin dan tajam itu sukses membuatku takut.

"Berapa lama ya kita gak ketemu?Delapan tahun?" Leo masih menatapku tajam. Ia kini bangkit dari kursinya, bersandar di meja kantornya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Auranya yang sangat mengintimidasi membuatku tanpa sadar mundur kebelakang. Ia mengernyitkan alis. "Kamu takut sama saya?"

Aku menelan ludah tak menjawab dan kurasa ia juga tidak butuh jawabanku. Dengan sikap dan perkataannya itu, aku sadar ia memang masih mengingatku. "Wajar kamu takut sama saya. Karena sekarang saya atasan kamu kan?"

Ia mengamatiku dari atas sampai bawah, lalu dari bawah sampai atas. "Nasib memang tidak terduga ya? Siapa sangka kita bisa ketemu lagi dalam kondisi yang berbeda. Apa kamu kaget saat tahu kalau saya jadi Bos kamu sekarang?"

Aku masih tidak bersuara. Seakan tenggorokanku tercekik. Yang aku inginkan saat ini adalah segera keluar dari tempat ini dan kalau bisa lari sejauh-jauhnya dari orang ini. Tapi kakiku seakan terpaku di lantai.

"Tapi harus saya akui, kamu tumbuh jadi gadis yang cantik. Dan yang harusnya menonjol, tumbuh ditempat yang tepat." Matanya tertuju pada buah dadaku yang tertutup pakaian formil. Ada kilat liar disana. Seakan-akan tatapannya itu bisa menelanjangiku. Aku bergidik ngeri.

"Kalau Bapak gak ada perlu lagi sama saya, saya permisi.."

"Sudah saya bilang saya belum ngijinin kamu pergi."

Aku nyaris terpekik kaget saat tiba-tiba ia mencengkram lenganku erat. Kapan ia bergerak kedekatku? Aku sama sekali tidak menyadari gerakannya yang begitu cepat saat menghampiriku.

"Gimana kalau kita gak usah sok bersikap formal? Ehm?"

Belum sempat aku bersuara, tiba-tiba saja ia sudah memajukan wajahnya dan menciumku.

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now