Bab 51

33.7K 2.2K 30
                                    

Meski kondisi Leo sudah membaik, tapi Leo tidak berniat kembali bekerja di Swara. Meski tidak lagi bekerja di Swara, bukan berarti ia tidak lagi sibuk. Ada hotel dan perkebunan yang harus ia urus. Dan villa-villa di Bali yang disewakan oleh turis-turis yang berniat liburan lama di Indonesia. Karena ia juga salah satu pemegang saham di Swara, setiap tahun ia ikut rapat umum pemegang saham. Serta menerima keuntungan deviden dari saham yang ia miliki.

Della sekarang sudah kelas enam SD. Dan Cello sudah berusia tiga tahun. Tiara juga sedang mengandung anak pertamanya. Ismail sudah tidak terlalu sering tugas di luar kota. Dengar -dengar sudah jadi orang kantoran. Tidak lagi tugas di pengeboran minyak lepas pantai. Melainkan di belakang meja.

Suatu malam saat mau tidur, Leo menunjukan dua tiket kelas satu padaku. Aku yang sedang membersihkan masker wajah di depan meja rias terkejut melihatnya.

"Ren, ayo kita ke Italia. Kamu pengin ke Venesia kan? Lihat, aku sudah beli tiketnya. Sudah pesan hotel dan akomodasi lainnya. Minggu depan kita berangkat."

"Beneran?" Tanyaku tidak percaya. "Kamu kenapa gak bilang-bilang kalau mau ngajak aku pergi liburan? Gimana sama anak-anak? Kerjaan kamu dan.."

"Anak-anak bisa dititip sama mama. Mama juga sudah tahu kok, kamu gak usah khawatir. Kerjaan aku bisa dikerjakan anak buahku, apa gunanya mereka aku gaji kalau Boss mereka gak bisa liburan? Di rumah ini juga banyak pembantu yang bisa nolongin mama buat jagain Della dan Cello."

"Kamu sudah ngatur semuanya ya? Jadi kita tinggal berangkat saja?"

"He-eh. Gimana Tuan Putri? Maukan liburan ke Italia bareng aku?"

*******************************

Venesia memang seperti kota-kota terkenal lainnya di Italia. Memiliki deretan toko-toko ekslusif dari berbagai merek terkenal di dunia, yang memanjakan mata juga membuat kantong kosong melompong.

Baju, sepatu, tas dan ikat pinggang buatan Italia memang sudah terkenal kualitasnya di dunia.

Tetapi aku ke sini tidak tertarik untuk belanja, Leo pun tahu itu. Karena itu dua hari setelah kedatangan kami ke Venesia. Ia mengajakku naik gondola.

Leo mendekapku erat. Laki-laki Italia yang tegak di buritan mengayuh gondola, mulai berdendang menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Italia.

Tubuh laki-laki penganyuh gondola itu tegap, wajahnya sangat tampan. Dengan wajah klasik khas Italia. Aku yakin, kalau si tukang gondola ini dibawa ke Indonesia. Pasti bakal laku jadi pemain sinetron. Atau kalau jalan-jalan ke mall bakal banyak cewek yang terpikat, dengan lirikan matanya yang sangat menggoda itu.

Sayang di Italia dia cuma jadi tukang gondola. Meski gak yakin juga kalau jadi penganyuh gondola ini, merupakan pekerjaan tetapnya.

"Sudah puas mandangin si abang tukang gondola? Ingat Ren, di sampingmu ini suamimu yang ganteng." Leo duduk merapat, merangkul tubuhku yang duduk rapat di sebelahnya. Dengan manja, aku menyandarkan kepala di bahu Leo.

"Kamu lucu kalau sedang cemburu begitu."

"Emang gak boleh cemburu?"

"Boleh. Harus malah. Tapi kamu gak usah khawatir. Aku gak bakal kepincut cowok lain. Karena aku cintanya cuma sama kamu."

"Aku tahu."

Gondola yang kami tumpangi menelusuri kanal-kanal sempit dan gelap, tubuh kami makin merapat. Ketika gondola kami lewat di bawah jembatan Rialto yang melintang di atas Grand Canal. Leo mencium bibirku mesra. Kami masih berciuman sampai jembatan Rialto tertinggal jauh di belakang. Dan gondola kami mulai merapat ke tepi.

Kami naik ke darat. Saat si tukang gondola mau membantuku naik ke darat, Leo menampiknya. Ia malah mengangkat tubuhku seorang diri. Seakan tidak mau tukang gondola itu menyentuhku. Mungkin dia sadar kalau sedari tadi, si tukang gondola itu sudah lirik-lirik kearahku.

Tapi demi sopan santun, diberinya juga tukang gondola itu tip. Meski uang sewa gondola sudah dibayar. Tapi wajahnya dingin, membuat si tukang gondola jadi salah tingkah. Aku cuma menahan geli di pinggir.

"Apa dia tidak lihat kau sudah bersuami? Kalau dia tahu kau sudah berbuntut dua, apa dia masih melirikmu? Genit!" Leo menggerutu dalam perjalanan kembali ke hotel. Aku tertawa.

"Resiko punya istri cantik seperti itu, Leo."

"Jangan memancing, Ren. Kalau tidak mau sakit pinggang besok." Ancam Leo. Aku mengerti benar apa yang dia maksud dengan sakit pinggang besoknya. Apalagi kalau bukan olahraga ranjang? Kalau aku tidak mau sakit pinggang, lebih baik tidak memprovokasi Leo. Aku masih sayang pinggangku.

Sehabis mandi dan makan malam kami kembali ke kamar. Baru masuk kamar, Leo sudah menyodorkan amplop merah muda padaku. Warna pink?

"Apa ini?"

"Bukalah." Ucapnya malu-malu.

Sambil menahan senyum aku membuka surat itu. Geli dengan tingkah Leo yang mirip abg sedang kasmaran. Aneh juga ia memberiku surat bersampul pink kayak gini. Kerasukan apa dia?

Mula-mula aku terdiam. Terbelalak tidak percaya. Jantungku berdebur kencang. Nyaris tidak bernapas. Tapi tulisan di kertas itu tidak berubah. Leo hanya menulis sepotong kalimat. 'Ren, aku cinta padamu.'

Aku menatapnya, dan ia balas menatapku dengan segala kelembutan yang ia miliki. Matanya berkaca-kaca, air mataku malah sudah berlinang-linang.

Dan entah sejak kapan, aku sudah berada di dalam pelukannya.

"Aku cinta kamu, Renjani."

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang