Bab 42

47.3K 2.7K 23
                                    

Leo sepertinya memang menginginkan liburan ini. Terbukti dia bersemangat sekali mempersiapkan semuanya. Bahkan dia yang membereskan pakaian kami, menempatkannya dalam satu tas. Pakaian ganti selama tiga malam kami berdua nginap di villa.

Karena kami cuma nginap tiga malam. Aku tidak mau membawa pakaian banyak-banyak. Lagi pula di villa ada mesin cuci. Baju kotor bisa langsung dicuci. Dengan catatan kalau tidak turun hujan, baju bisa langsung kering. Tas travel lebih praktis ketimbang koper yang harus digeret ke mana-mana.

"Bawa bikini ya. Aku juga bawa celana renang. Nanti kamu mau mau berenang kan di villa?"

"Bikini? Baju renang aja. Ngapain bawa bikini?" Aku melihat bikini warna pink di tangan Leo. Pipiku mendadak panas. "Terlalu seksi. Badanku kan gak bagus."

"Siapa bilang? Badan seksi begitu dibilang gak bagus. Kalo badan kamu gak seksi, mana bisa aku nafsu tiap malam sama kamu?"

Bisa gak sih sehari saja Leo gak ngomong vulgar kayak gitu?Hobbi sekali bikin wajah memerah. "Lagian ngapain malu?Aku udah liat semuanya. Apalagi yang perlu disembunyiin? Kita kan udah sering telanjang satu sama lain. Hampir tiap malam malah."

Tanpa persetujuanku lagi, Leo menjejalkan bikini warna pink itu kedalam tas. "Di villa nanti cuma ada kita berdua, Ren. Kalau kamu gak mau pake baju, cuma aku yang bakal lihat!"

Oke, daripada ucapan Leo makin ngawur. Lebih baik aku gak protes lagi. Terserah dialah.

Kamis malam, kami berangkat sekitar jam tujuh. Aku berharap jalur ke puncak gak terlalu macet biar kami gak kemalaman sampai di villa. Secara tiga hari libur. Biasanya orang Jakarta lari ke puncak semua buat refreshing. Dan menimbulkan kemacetan berjam-jam.

Meski bilangnya mau gantian nyupir, tapi ternyata Leo sendiri yang pegang kemudi. Aku cuma duduk manis di sampingnya. Nemenin ngobrol atau ngasih cemilan kalau dia iseng.

Hari ini Leo bawa xpandernya buat ke puncak. Meski punya jabatan mentereng, tapi Leo bukan penggemar mobil mewah. Mobilnya yang paling mahal Audi. Aku sendiri masih pakai Agya yang memang sudah kumiliki sejak jaman masih gadis. Mobil yang sering dipakai ngantar Della, juga sekelas toyota rush. Xpander ini yang biasa dia bawa kemana-mana kalau pergi keluar sama keluarga. Itu juga tanpa supir. Ia seringnya nyetir sendiri kalau pergi sama aku dan Della.

Di garasi nggak ada tuh mobil sekelas Ferarri atau porche. Buat apa? Begitu kata Leo sambil mencibir. Mobil murah juga sama aja, bannya bulat. Ada acnya juga. Yang penting bisa buat jalan kemana-mana dan gak mogok. Lagipula, mobil mewah itu pajaknya mahal. Sayang duitnya. Mending ditabung atau buat investasi. Buat apa makan gengsi?Gak bakal kenyang.

Aku sendiri gak mempermasalahkan mau mobil mewah atau nggak kok. Cukup kagum dengan prinsip yang dianut Leo. Meski aku tahu, Leo jauh lebih mampu untuk membeli mobil-mobil mewah itu.

Dan meski teman-teman main golfnya membawa mobil mewah keluaran eropa, yang harganya milyaran. Leo santai saja membawa xpander atau bahkan mobil sekelas avanza buat main golf.

Dia bahkan santai saja, waktu aku ajak berburu bahan ke pasar baru atau tanah abang. Ternyata jabatan mentereng gak bikin dia besar kepala atau gengsi.

Kami tiba di villa hampir jam sebelas malam. Setelah mandi dan makan malam yang tertunda akibat kena macet, kami berdua langsung tidur. Lagipula suasana juga gelap. Malam begini apa yang mau dilihat di sekeliling villa?

Untungnya villa bersih dan rapi. Keadaannya terawat. Mungkin karena Leo memang mempekerjakan orang sini, untuk membersihkan villa setiap hari. Jadi villa, sama sekali gak kotor. Kami bisa langsung tidur di kamar tanpa takut debu.

Aku bangun lebih dulu sebelum Leo bangun. Melihat air kolam yang jernih, karena baru dibersihkan dan diganti airnya sebelum kami datang. Aku tergoda buat berenang. Udaranya memang masih dingin, meski puncak sekarang gak terlalu dingin banget kayak dulu. Mungkin akibat polusi yang dibawa dari Jakarta. Tapi pasti enak sarapan setelah berenang.

Berhubung aku cuma bawa bikini, yang dijejalkan Leo dengan paksa kedalam tas. Aku terpaksa pakai itu. Nggak mungkin aku berenang pakai daster. Sempat malu juga memakainya. Aku gak pernah pakai bikini, sadar diri kalau tubuh nggak lagi seksi. Bikini ini juga Leo yang beli. Entah buat apa ia membeli bikini ini.

Untung saja di villa gak ada orang. Tidak akan ada orang lain juga yang datang, sampai nanti kami kembali ke Jakarta.

"Anggap saja kita bulan madu," kata Leo sebelum kami berangkat ke villa. "Kita belum pernah bulan madu. Maaf ya, Ren. Karena kesibukan aku, aku bahkan gak ngajakin kamu buat bulan madu. Tapi aku janji, begitu proyek di NTT itu selesai. Aku bakal bawa kamu bulan madu."

"Kamu pengin ke Venesia kan? Itu kota impian kamu, yang kepengin kamu datangin kan?"

"Dari mana kamu tahu, kalau Venesia kota impian yang kepengin aku kunjungi?"

"Dulu kan kamu sempat ngomong waktu jaman-jaman SMA. Waktu itu kamu kagum banget, ngeliat brosur wisata ke Venesia. Kamu juga bilang, sekali seumur hidup kamu harus pergi ke sana."

Jadi Leo ingat, pikirku takjub. Padahal waktu itu aku ngomongnya sama Tiara. Memang ada Leo saat itu, tapi aku gak nyangka ia bakal memperhatikan obrolan kami.

"Itu karena aku kepengin nyoba naik gondola, sambil dinyanyiin lagu o sola mio. Apalagi kalau abang gondolanya ganteng, bonusnya double."

"Cih, suamimu ini lebih ganteng dari abang gondola. Apa kamu pikir cowok Italia itu ganteng semua? Kalo ganteng tapi jarang mandi buat apa?"

"Biar jarang mandi yang penting ganteng. Pemain sepak bolanya saja ganteng-ganteng. Nggak percaya kalau nggak ada tukang gondola yang ganteng."

"Kalau gitu aku sama cewek Italianya. Kudengar cewek Italia berdada besar-besar."

"Boleh. Nanti kita double date." Aku gak mau kalah.

"Gimana bisa double date, kalau kamu kencan sama tukang gondola yang kere? Kamu pikir suamimu ini sudi membayari acara kencanmu? Nah, gimana. Masih lebih baik suamimu ini kan, sudah ganteng, kaya dan banyak duit. Masih mau nyari tukang gondola yang cuma menang tampang doang?"

Aku tak bisa berkata-kata mendengarnya. Leo memang paling ahli membuat orang mati kutu!

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now