Bab 47

35.5K 2.1K 13
                                    

Pada bulan keenam kehamilanku, Tiara melangsungkan pertunangan dengan Ismail. Akhirnya, setelah ribuan purnama. Ismail juga yang nyantel. Padahal Tante Inan berharapnya langsung lamaran saja, tapi Tiara yang menolak buru-buru. Dia bilang ada beberapa hal yang harus diurus dulu, sebelum melanjutkan kejenjang pernikahan.

Aku tidak ikut campur, keduanya sudah dewasa. Pasti sudah memikirkan semuanya. Hanya berharap yang terbaik buat mereka. Semoga jodoh sampai ke pelaminan.

Tante Inan dan Tiara juga sudah tinggal bersama kami. Yang senang tentu saja Della. Dia jadi sering diajak jalan-jalan kemana-mana sama Tiara dan Ismail. Saat kutanya Tiara, kenapa dia senang banget bawa Della pacaran. Apa gak ganggu. Dia bilang memang sengaja. Della bisa jadi tameng dia, kalo Ismail mau macem-macem sama dia. Macem-macem apa? Ya yang bersifat nakalnya cowoklah.

Meski aku kadang heran sih, memang cowok kalem kayak Ismail bisa 'nakal' juga sama Tiara? Ehm... kayaknya bisa. Namanya cowok, mirip kucing. Ada ayam goreng di depan mata, masa gak disamber? Jangankan ayam goreng, ikan asin aja doyan.

"Della ke mana, Ren?" tanya Leo saat dia baru saja pulang kerja. Heran, karena biasanya kalau pulang kerja disambut Della. Tapi hari ini nggak.

"Diajak pergi Tiara ke PI. Katanya mau makan sama Ismail."

"Pacaran ngajak Della apa gak ganggu?"

"Nggak katanya."

Leo duduk di sofa ruang tengah. Memelukku dan menaruh kepalanya di pangkuanku.

"Aku capek banget, Ren. Kerjaan lagi banyak. Maaf ya, rencana bulan madu ketunda lagi kayaknya."

"Lagi hamil begini, mau bulan madu kemana? Bawa perut aja sudah susah."

"Kapan mau periksa kandungan lagi?"

"Lusa."

"Ingetin aku ya. Biar gak lupa nganter kamu periksa kandungan."

"Kalo kamu capek, biar aku diantar mama. Nggak apa-apa kok." Aku membelai-belai rambut Leo yang hitam dan tebal. Akhir-akhir ini Leo memang terlihat sangat kelelahan. Sering ia melewatkan makan malam karena sudah keburu ketiduran. Bahkan saat sarapan juga tidak terlalu banyak.

Nafsu makannya kembali menurun. Ia kelihatan kurusan. Bahkan celana kerja yang biasa ia pakai, terlihat kebesaran. Kemejanya terlihat gombrong. Ia mungkin kehilangan berat badan lagi beberapa kilo. Saat aku memintanya kedokter, untuk diresepkan vitamin. Leo menolak.

"Banyak minum vitamin juga gak bagus buat ginjal, Ren. Mending makan vitamin yang asli dari buah-buahan atau sayuran."

Tapi meski aku menyediakan banyak buah dan sayur, Leo tetap makan cuma sedikit.

Dan saat inipun aku bisa merasakan tulang-tulang Leo, yang menonjol dibalik kemejanya.

"Kenapa badanmu tulang semua sih? Berapa kilo turunnya?"

"Nggak tahu."

"Kamu harus banyak makan,Leo. Kenapa gak mau kedokter sih? Minum vitamin atau penambah nafsu makan."

"Aku cuma kecapekan, Ren. Biasanya kalo kecapekan, aku gak nafsu makan."

"Ngurusin pekerjaan gak dilarang, Leo. Itu memang tanggung jawabmu. Tapi kamu juga harus memperhatikan kesehatanmu. Kalau kamu mengabaikan jadwal makanmu, lama-lama kamu bisa sakit. Badan kamu bukan mesin. Masih bisa ngerasain capek dan lapar."

"Tapi aku beneran nggak apa-apa kok, Ren. Oke, oke, aku janji begitu kerjaan aku beres. Aku ambil cuti sehari atau dua hari buat istirahat di rumah."

Lalu Leo bangkit dari tidurannya.
"Aku mau mandi dulu. Terus makan."

Aku memperhatikan langkah Leo yang terseok menuju kamar kami. Ia kelihatan benar-benar letih. Tidak bersemangat. Tubuhnya yang memang jangkung jadi nampak melengkung karena kehilangan banyak berat badan. Hanya karena ia rajin fitness, yang masih menyisakan otot-otot di tubuhnya.

Tapi tadi saat aku pegang, tulang-tulang di tubuhnya masih terasa. Bahkan saat buka baju, tubuh kurusnya tidak bisa disembunyikan. Matanya pun kuyu.

"Leo sudah pulang, Ren?" tanya Tante Inan yang sedang sibuk membantu Bi Rum menyediakan makan malam.

"Sudah, ma. Mau mandi katanya. Sebentar lagi juga turun." Aku duduk di meja makan. Bertopang dagu.

"Ada apa?" tanya Tante Inan melihatku.

"Leo, Ma. Makin kurus. Gak nafsu makan. Katanya kecapekan."

"Di kantornya lagi banyak kerjaan?"

"He-eh. Tapi Ren khawatir, ma.."

"Khawatir kenapa?"

"Selama ini Leo juga sibuk. Banyak kerjaan. Tapi gak pernah sampai kayak gini. Setiap hari juga capek, tapi tetap mau makan. Tapi akhir-akhir ini nafsu makannya menurun lagi..."

"Lagi? Memang pernah kayak gini?"

Aku mengangguk. "Waktu kami mau liburan ke puncak. Leo sempat demam, tapi dikasih obat dokter Rully sembuh. Nafsu makan lagi. Tapi sekarang, nafsu makannya anjlok lagi. Mama lihat gak, badan Leo makin kurus? Ren ajak ke dokter gak mau, katanya nggak kenapa-kenapa."

"Dari kecil Leo memang gak suka minum obat. Tapi kalau kamu khawatir, mending kedokter. Atau panggil dokter Rully ke rumah. Biar nanti mama bantu bujukin Leo." Tante Inan melihat jam dinding. "Kok Leo belum turun juga, Ren? Kamu panggil sana. Nanti ketiduran lagi kayak kemarin."

"Iya, ma." Aku mengangguk.Lalu bergegas menuju kamar tidur kami. Begitu membuka pintu kamar, kulihat Leo yang sedang tidur di kasur.

Ternyata benar, dia ketiduran lagi. Bahkan kemeja kerjanya belum ganti, pasti belum mandi juga. Aku menghampiri Leo.

"Leo, bangun yuk. Mama sudah nungguin buat makan malam bareng tuh."

Aku menyentuh lengannya, saat itulah aku melihat hidung Leo mengeluarkan darah dan suhu tubuhnya yang panas. Saat itu juga aku tahu, Leo tidak baik-baik saja....

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang