Bab 20

59.7K 3.8K 19
                                    

Divisi humas kebagian lembur karena proyek superblock ini. Kami harus menyiapkan materi promosi seperti flyer, majalah dan juga pembuatan iklan.

Bekerja di bagian humas memang tidak bisa sesantai divisi lain. Terutama bila ada proyek sebesar ini. Karena divisi humas merupakan wajah dari perusahaan untuk membangun citra baik bagi karyawan maupun masyarakat.

Hari ini aku lembur sampai jam sepuluh malam. Ketiga temanku sudah pulang saat aku menunggu di lobby perusahaan, karena hari ini mobilku masuk bengkel aku terpaksa naik transportasi online. Aku sedang mencari transportasi online saat seseorang menghampiriku.

"Renjani?"

Aku mengangkat wajah, yang menegurku ternyata Aditya. Salah satu arsitek yang bekerja di grup Swara.

"Kamu belum pulang?"

Usia Aditya ini sekitar 30-han. Termasuk salah satu bujangan most wanted di Swara. Bayangkan saja, arsitek, ganteng dan juga berkepribadian ramah. Hanna saja sampai kepincut. Tapi yang ditaksir malah tidak tahu, kasihan Hanna.

"Lembur," kataku. "Pak Adit juga lembur?"

"Aduh, jangan panggil pak dong, panggil Adit saja. Saya belum setua itu kan untuk dipanggil Bapak? Belum ada 30 tahun loh, baru 29. Iya, saya juga lembur. Kok kamu belum pulang? Gak bawa kendaraan?"

"Masuk bengkel. Ini lagi pesan taksi online. Tapi belum datang."

"Ini udah jam sepuluh lewat loh, bahaya kan perempuan secantik kamu malam-malam begini naik taksi online. Gimana kalo saya antar saja?"

Apa dia baru bilang aku cantik?Kalau Hanna dengar pasti bakal cemburu setengah mati.

"Rumah saya di kelapa dua Depok, pak. Jauh loh dari sini. Yakin mau nganterin saya?"

"Kebetulan. Rumah saya di Cimanggis Depok. Kita searah kalo gitu." Katanya. "Renjani, kan sudah saya bilang. Jangan panggil saya Bapak."

"Eh, maaf. Lupa. Beneran rumah Mas Adit di Cimanggis?" tanyaku. Sepertinya aku dapat info baru nih untuk Hanna.

"Baru tiga bulan pindah kesana. Ambil rumah di Depok. Tadinya ikut orangtua di Ciputat. Tapi malu ah numpang melulu. Kepengin mandiri."

"Istri gak mau tinggal sama mertua ya, mas? Makanya Mas Adit beli rumah sendiri?" Pancingku. Aku tahu sih dia masih bujangan, tapi siapa tahu ada info lain yang terlewat. Kasihan Hanna kalau pujaan hatinya sudah punya calon apa lagi istri.

"Istri?? Calon aja belum ada, gimana mau punya istri?" Aditya tampak shock mendengar pertanyaanku. Tapi sepertinya ekspresinya itu cuma dibuat-buat saja. "Ya ampun, gosip apa yang beredar di Swara kalo kamu ngira saya udah punya istri? Bakal jatuh pasaran saya, gak ada yang mau sama saya kalo cewek-cewek single cantik di kantor ini ngiranya saya sudah punya istri!"

"Lebay." Aku tertawa garing. "Jadi beneran nih masih jomlo? Gak ada pacar atau apa gitu?"

"Nggak ada, kenapa? Kamu mau daftar jadi pacar saya?"

"Nggak. Tapi ada yang minat dari divisi humas juga tuh. Gimana?"

"Ck, saya pikir kamu yang minat. Kalau orang lain saya gak tertarik ah."

Ehmm... kenapa sepertinya pembicaraan kami jadi aneh begini ya?

Suara hentakan sepatu yang cukup keras membuat aku dan Aditya menoleh kearah orang yang baru muncul di lobby. Karena lobby lumayan sepi, maklum sudah jauh dari jam pulang kantor maka suara langkah kaki terdengar cukup jelas.

Dari arah lift aku melihat Leo yang baru saja muncul di lobby. Tapi dia tidak sendiri, ada Safira yang berjalan di sampingnya. Malam-malam begini untuk apa Safira masih berada di kantor Leo? Kalau kunjungan biasa harusnya dia bisa datang di siang hari. Bukan malam hari seperti ini. Tapi aku tidak peduli, bukan urusanku juga.

"Selamat malam, pak."

"Kenapa kamu masih di sini?" Leo mengernyit tajam melihatku, sama sekali tidak peduli dengan salam yang diberikan Aditya.

"Lembur."

"Kenapa belum pulang?"

"Ini kami juga mau pulang, pak. Ren, pesanan taksi online-nya sudah kamu batalin kan? Ayo, udah malam ini." Kata Aditya tiba-tiba mencolek lenganku. Aku yang agak kurang mudeng cepat-cepat mengangguk.

"Eh, iya. Udah dibatalin kok."

"Kalian pulang bareng?" tanya Leo lagi. Menatapku dan Aditya bergantian.

"Iya, pak. Rumah kami searah. Kebetulan mobil Renjani masuk bengkel, jadi dia pulang bareng saya." Lagi-lagi Aditya yang menjawab. "Kami permisi dulu, pak. Selamat malam."

Aditya mencolekku memberi isyarat agar kami segera meninggalkan tempat itu. Aku segera mengikuti langkahnya keluar gedung setelah mengangguk sopan pada Leo. Bagaimanapun juga, Leo itu masih atasanku di kantor.

"Fiuh... gak nyangka ya kita bakal mergokin Pak Presdir pacaran." Aditya nyengir setelah kami berada di dalam mobil pajero sport-nya.

"Tahu dari mana kalo Pak Presdir habis pacaran?" tanyaku ikut memasang sabuk pengaman seperti yang Aditya lakukan.

"Terus apa namanya kalo bukan pacaran, malam-malam begini berduaan sama perempuan di kantor? Saya yakin perempuan tadi bukan karyawan Swara. Dandanan-nya terlalu mencolok untuk ukuran seorang karyawan."

"Tapi perempuan tadi cantik banget ya?" kataku yang pura-pura tidak kenal dengan Safira.

"Kamu jauh lebih cantik dari perempuan yang bersama Pak Presdir tadi, Ren."

"Alah, bohong banget. Mas Adit suka gombal ah."

"Beneran, Ren. Saya lebih suka tipe cewek sederhana dengan kecantikan natural kayak kamu dari pada cewek tadi yang pakai bulu mata palsu anti badai."

Aku cuma nyengir mendengar gombalannya Aditya, aku yakin dia cuma sedang ngegombal. Cowokkan biasa begitu.

"Gimana? Kamu udah minat sama saya?"

???

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now