Bab 52

36.1K 2K 18
                                    

Semenjak pulang liburan dari Italia, stamina Leo sepertinya makin melimpah. Ia semakin disibukan dengan bisnisnya. Apalagi sekarang, usaha agrobisnisnya berhasil mendapatkan kontrak dari perusahaan besar yang memproduksi saos botolan untuk menjadi pemasok cabe dan tomat.

Bukan itu saja, malahan produksi sayuran dan buah-buahan dari perkebunannya, menjadi pemasok keberbagai supermarket dan hotel di Jakarta. Hingga ia harus menambah armada truknya untuk melakukan pengiriman.

Leo sepertinya sangat menikmati pekerjaannya yang sekarang ini. Perkebunan tehnya yang join dengan salah satu temannya, lebih banyak diurus oleh temannya itu. Sedangkan hotelnya di Bali, diurus manager profesional yang ia pekerjakan. Hanya sesekali saja ia mengecek ke Bali.

"Aku suka jadi petani. Dulu aku membangun gedung, sekarang aku menanam sayuran," kata Leo saat suatu waktu mengajakku melihat perkebunan sayur dan buahnya di Cisarua. Ia ingin menambah lahan baru lagi untuk perkebunannya. Dan rencananya mau ditanami bunga. Kenapa bunga? Agar ia bisa memberiku bunga setiap hari, begitu jawabnya sok romantis.

"Yah.. aneh saja, seorang arsitek sepertimu jadi petani. Kurasa kau mengambil ilmu yang salah waktu kuliah."

"Apa salahnya jadi petani? Ini pekerjaan yang mulia. Tahukah kau, Ren. Apa jadinya kita kalau tidak ada petani? Tidak akan ada nasi dan sayuran di atas meja makan. Kalau semua orang hanya mau jadi orang kantoran, lalu siapa yang akan menanam padi dan sayuran? Tapi petani masih dipandang sebelah mata. Bahkan nasibnya tidak jelas. Oh kasihannya petani, mereka yang memberi makan kita. Tapi kita tidak pernah menghargainya."

"Leo, apa kau tidak ingin kembali bekerja di Swara?"

"Kenapa? Apa kau malu karena memiliki suami seorang petani seperti aku, Ren?" Leo menoleh menatapku lembut. "Aku sekarang tidak bisa kau banggakan bukan? Bila ada temanmu yang bertanya, apa pekerjaan suamimu. Kau hanya bisa bilang suamimu ini seorang petani. Bukan Presiden Direktur kayak dulu. Itu pasti memalukan bagimu."

"Ah, jangan konyol. Aku sama sekali tidak malu. Lagipula kau itu cuma mengaku-ngaku sebagai petani. Apa kau sendiri yang mencangkul tanah, menanam bibit atau memetik hasil bumi? Semua dikerjakan anak buahmu. Kau sendiri cuma ongkang-ongkang kaki mengawasi. Terima beres dan dapat uang!"

Leo tergelak mendengar sindiranku. "Pintar sekali kau mengejekku. Ya, ya, kau benar, Ren. Aku cuma ongkang-ongkang kaki terima beres. Tapi aku yang mencari klien, melakukan negosiasi bisnis dan mendatangkan uang untuk membayar gaji semua pekerja di sini. Jasaku sangat besar kan?"

Leo memelukku dan mencubit pipiku pelan. "Aku senang dengan pekerjaanku sekarang, Ren. Setidaknya aku tidak lagi bekerja dibawah tekanan dewan direksi dan juga para pemegang saham. Aku bertanggung jawab atas usahaku sendiri. Tidak ada campur tangan orang lain. Meski pekerjaan yang kugeluti sekarang tidak sesuai dengan bidang ilmu yang kupelajari. Tapi aku menikmatinya. Banyak orang yang bekerja tidak sesuai bidang ilmu yang mereka pelajari.

"Insinyur pertanian malah jadi pegawai Bank. Atau sarjana pendidikan yang bekerja jadi akuntan. Tapi mereka banyak yang sukses dan berhasil dibidangnya."

Aku terdiam mendengar kata-kata Leo. Jadi ia sungguh menikmati pekerjaannya sekarang ini. Aku yang semula berpikir ia akan menyesal, karena menggeluti usaha di luar bidang pendidikannya tidak lagi merasa khawatir. Kalau ia bahagia, akupun bahagia. Melihat orang yang kita cintai bahagia itu anugerah terindah untuk kita bukan?

Terkadang jika melihat binar-binar kebahagiaan di matanya. Suara tawanya yang membahana, aku berharap bila penyakit Leo telah menghilang untuk selamanya. Penyakit itu tidak akan kambuh lagi. Hingga Leo bisa hidup lebih lama lagi.

Aku harap prediksi dokter salah. Leo sudah sehat. Penyakit itu sudah menghilang dari tubuhnya. Ia begitu penuh semangat dan penuh vitalitas hidup.

Jika sudah memikirkan hal itu, tanpa sadar aku suka melamun. Dan Leo yang pernah memergoki aku melamun, menyentuh lenganku lembut.

"Apa yang kau lamunkan, sayang? Kau sampai tidak mendengar apa yang aku tanyakan."

"Oh, kau tanya apa, Leo? Maaf, aku hanya sedang berpikir. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Della sudah mau masuk SMP, dan tahun ini Cello mau masuk Tk. Aku sudah semakin tua. Sudah ada kerutan di wajahku, rambutkupun sudah beruban. Aku sudah tidak secantik dulu lagi."

Leo yang semula menatapku dengan pandangan curiga, langsung tergelak mendengarnya. Ia mungkin percaya dengan kata-kataku barusan. Kecurigaan di matanya menghilang.

"Dasar cewek, bertambah tua seakan dunia mau kiamat. Kau bahkan belum empat puluh, tapi sudah khawatir uban dan keriput. Percaya padaku, kau masih cantik dan sexy. Wajahmu masih kencang, rambutmu masih hitam. Seandainya kau sudah tua dan keriputpun, itu bukan masalah. Aku akan tetap mencintaimu. Bukankah kita sudah berjanji setia sehidup dan semati?

"Tapi jika aku mati duluan, aku tidak mau kau ikut mati bersamaku, Ren. Kau harus menjaga anak-anak. Lagipula tidak ada cinta sehidup semati, itu cuma kata-kata. Hei, hei, kenapa kau menangis? Apa kau sedih karena kata-kataku? Aku belum akan mati besok. Jadi kau tidak perlu menangis begitu."

"Kau bicara sembarangan." Aku memukul dadanya pelan, main-main. "Kau tahu aku paling takut kalau kau ngomong soal kematian. Leo, apa kau tidak pernah check up lagi? Kau harus memeriksakan kondisimu."

"Buat apa?" Leo mencibir. "Ini sudah berapa tahun? Aku sehat, Ren. Tidak ada yang salah dengan diriku. Kalau aku kecapekan, itu wajar kan? Apa aku tidak boleh capek? Tidak boleh terkena flu? Batuk atau demam? Berhentilah berpikir berlebihan, Ren. Penyakit itu sudah hilang. Aku baik-baik saja sekarang."

Ya, akupun berharap begitu. Aku berharap kau baik-baik saja, Leo. Aku berharap penyakitmu sudah menghilang untuk selamanya.

Aku mengulas senyum lembut di bibir. Berusaha menepis firasat buruk yang tiba-tiba saja datang...

SERENADA BIRU (End)Where stories live. Discover now