Comeback

2.9K 289 0
                                    

Gladiola membenci ini. Membenci perasaannya yang sangat sensitif, yang mudah terbawa suasana oleh apapun yang sedang terjadi pada dirinya. Mau tidak mau, siap tidak siap hari ini tiba. Hari dimana dia akan pergi menuju ke wilayah Sibyl bersama Brian.

Bohong jika dia tidak merasa cemas apa yang akan dia alami setelah mengambil keputusannya ini. Keputusan sembrono nya yang memilih ikut pergi dengan Brian. Dia akui dia memiliki mental yang sangat cupu karena tidak berani mengambil pilihan ekstrim seperti kabur sendirian menjauh dari tokoh-tokoh di novel ini. Dia tidak mampu hidup sendirian dan dia tidak yakin mampu meninggalkan orang-orang yang dia kenal sekarang.

Gladiola benci kesepian dan dia tidak suka dengan sebuah perpisahan. Hal yang sangat sulit untuk dia pelajari sedari dulu adalah mengikhlaskan hal yang akan bersifat pergi atau menghilang. Dia merasa sampai kapanpun tidak akan mampu pergi meninggalkan Brian, Rala dan Vernon. Dan sialnya sekarang dia harus meninggalkan Rala bersama Vernon itu mampu membuat perasaanya kacau.

Sepanjang malam dia terus-terusan memikirkan hal ini sampai sulit tertidur dan berakhir menangis.

"Kau baik-baik saja?" Vernon bertanya agak ragu melihat penampakan Gladiola pagi ini.

"Kau bisa melihatnya sendiri." Gladiola menjawab singkat.

Sedari tadi mata Gladiola terus berlarian ke arah manapun asalkan tidak bertatapan dengan Rala. Anak itu sedari tadi sudah mulai menangis mengantar kepergian Gladiola. Alasan kenapa Gladiola enggan bersitatap dengan Rala adalah dia tidak ingin ikut menangis.

"Aku berniat menggunakan teleportasi. Vernon yang akan mengirim kita ke hutan dekat perbatasan wilayah Sibyl menggunakan tabir teleportasi." Brian menatap Gladiola yang kini terlihat berantakan. Bukan, bukan penampilannya yang berantakan melainkan raut wajahnya.

Gladiola mengangguk untuk menjawab tanpa mengeluarkan suara.

"Kau memiliki sihir?" Tanya Brian lagi, sebenarnya dia tahu kalau Gladiola tidak memiliki sihir karena aura gadis itu tidak memiliki ciri-ciri sihir.

Dan lagi biasanya orang-orang yang memiliki sihir bisa mendeteksi satu sama lain mengenai mana dan Brian tidak menemukan sejumput mana pun pada tubuh Gladiola. Setiap manusia di bekali mana dalam tubuhnya hanya saja manusia yang memiliki kelebihan yaitu sihir memiliki ekstra mana. Itu sebabnya Brian tidak bisa mendeteksi mana Gladiola karena mana gadis itu lemah.

"Tidak." Jawab Gladiola singkat.

"Mungkin kau akan merasakan efek teleportasi seperti pertama kali kau naik kuda." Brian memberitahu.

Gladiola melotot. "Maksudmu aku akan kembali pusing, mual dan semacamnya?"

Brian diam-diam tersenyum melihat Gladiola mulai terdistraksi dengan topik pembicaraannya hingga raut sedih itu mulai mengilang.

Brian mengangguk. "Dan mungkin efeknya akan hilang dalam dua hari."

"Selama itu?! Astaga mati lah kau Ola." Gladiola bergumam pasrah meratapi dirinya sendiri.

"Apa Kak Ola akan baik-baik saja setelahnya?" Kali ini Rala mulai masuk ke percakapan, matanya yang berkaca-kaca kini juga hilang.

"Aku baik-baik saja, karena dia." Gladiola menujuk Brian sembarangan. "Kalau aku sakit aku akan terus merecoki Brian sampai dia frustasi." Gladiola berujar seraya tertawa.

"Mari kita lihat aku atau kau yang frustasi." Jawab Brian dengan tangan yang kini mulai mengelus Pretty.

"Kak Ola selamat tinggal." Mata Rala kembali berkaca-kaca. "Maaf Rala tidak bisa memberi apa-apa." Rala mengulurkan karangan bunga yang di bentuk layaknya mahkota. "Ini untuk Kak Ola. Tidak seberapa tapi Rala harap Kak Ola suka."

PetrichorWhere stories live. Discover now